udihianati sahabat sendiri, Amalia malah dapat CEO.
ayok. ikuti kisahnya ☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Malam telah lama jatuh, tetapi kamar itu masih menyimpan hawa panas dari amarah yang barusan meledak. Di lantai, ponsel yang sudah hancur berkeping-keping menjadi saksi dari kekerasan yang baru saja terjadi.
Lia duduk di pojok ruangan, memeluk lutut, matanya tak lepas dari ponsel yang kini tak lagi bisa ia gunakan untuk meminta pertolongan. Nafasnya tersengal, dada masih sesak oleh sisa tangis yang tertahan.
"Itu satu-satunya... yang tersisa," bisiknya lirih. "Sekarang... aku benar-benar sendirian."
Pikirannya berpacu. Ia harus keluar malam ini. Sebelum semuanya terlambat.
Ia merangkak pelan menuju pintu. Dicoba diputar, didorong, bahkan digedor. Masih terkunci. Tentu saja.
"Dia tidak akan membiarkanku lepas semudah itu..." desis Lia, menggigit bibirnya sendiri menahan gemas.
Matanya menyapu ruangan dan tertumbuk pada jendela kecil di dinding sebelah kiri. Jendela yang nyaris tak terjangkau... tapi bukan tak mungkin. Lia menyeret bangku kecil, menaikinya dengan tangan yang gemetar.
"Sedikit lagi... sedikit lagi..."
Ketika tubuhnya berhasil keluar jendela, "Ayo Lia, kau pasti bisa."
Kaki Lia berpijak pada tanah, namun, suara keras menggema dari balik bayangan.
“Hei! Berhenti!”
Lia menoleh dengan cepat. Dua pria bertubuh besar muncul dari balik tembok. Salah satunya langsung berlari mendekat.
"Gawat!" Lia coba kabur, berlari, namun ia sudah tertangkap.
“Jangan sentuh aku! Lepaskan!” teriak Lia panik.
“Kau pikir bisa kabur semudah itu?” cibir pria berkumis tebal itu sambil menarik Lia dengan kasar.
"Lepaskan aku! Lepas!"
Lia meronta, berusaha menendang, mencakar, apa pun. Tapi sia-sia. Kedua pria itu lebih kuat. Mereka menyeretnya masuk ke dalam rumah seperti binatang buruan yang tertangkap.
Di ruang tamu, Basuki duduk di sofa, menghadap meja yang dipenuhi berkas.
"Iya, tentu saja, semua sesuai kesepakatan. Kau sudah lihat bagaimana wajahnya, dia memang gagal menikah, tapi tenang saja, kali ini tidak akan gagal," kata Basuki pada seseorang di seberang sana yang sedang bertelepon dengannya.
Basuki diam sejenak seolah sedang menyimak apa yang lawannya sampaikan.
"Ya, ya, siapkan saja beberapa untuk jaga-jaga. Dia terlalu banyak pria yang mengantri, hahahaha. Bahkan Jono saja masih mengejar... Hahaha, ya, sudah pasti."
Ia menoleh saat Lia dilempar ke lantai. Ia melirik dingin, lalu menutup sambungan telpon.
"Nanti aku hubungi lagi. Baik."
Klik!
"Dia berusaha kabur, Tuan Basuki," lapor salah satu pria berwajah sangar yang menangkap Lia.
Wajah Basuki berubah merah. Ia lempar ponselnya ke meja.
“Kau benar-benar membuatku muak, Li,” katanya dengan nada datar yang menakutkan.
Lia bangkit perlahan, lututnya bergetar. “Aku nggak mau menikah sama orang yang bahkan nggak aku kenal… Jangan mengatur hidupku, Basuki!”
Basuki bangkit dari duduknya, menghampiri dengan langkah berat. "Basuki!? Aku papamu, Li!"
Cuiih!
Lia meludah tepat di wajah Basuki. "Kau bukan papaku!"
Mata Basuki memejam, ia mengusap bekas ludah Lia. Dan mata itu, terbuka dengan sorot menyalang.
"Kurang ajar!"
Plak!
Tubuh Lia terhuyung oleh pukulan keras Basuki.
"Sial! Aku harus menjaga wajah ini demi pesta besok!" umpat Basuki menahan amarahnya. "Katakan pada penata rias, untuk menutupi. Mereka tidak boleh tau ada lebam di wajahnya."
"Siap, Tuan."
Lia tersenyum sinis, "Oh, luar biasa. Kau benar-benar harus menjaga barang jualanmu, ya, Basuki!?"
"Aku tak perduli apa yang kau katakan. Besok, kau harus menikah!" tegas Basuki, lalu kembali duduk."Jangan banyak bertingkah. Kau tak punya pilihan."
“Aku punya hak atas hidupku sendiri!” Lia berteriak, menatap balik penuh keberanian yang hampir padam.
“Kau tidak punya, Li!"
"Kenapa aku?"
"Masih bertanya? Kau sudah membuat kekacauan, dan kami harus selesaikan semua!" geram Basuki, menggertakkan giginya. "Jangan berani-beraninya kau membantahku! Besok kau menikah, dan kau akan diam menjalani itu. Titik!”
Lia menahan air mata, menoleh perlahan. “Dimana mama? Kalian bilang dia sakit.”
Basuki mengerutkan dahi. “Dia memang sakit! Dia tak bisa menemui mu. Dan kalau kau benar-benar peduli padanya, kau akan tutup mulut dan tidak membuat kekacauan lagi!”
“Aku cuma mau tahu… di mana mama sekarang?” bisik Lia. “Kenapa aku nggak boleh lihat dia?”
Basuki mendekat, menunduk di depan Lia.
“Dia lemah. Dan dia tidak butuh lihat anak gadisnya bertingkah seperti pemberontak. Aku menjaga dia dari rasa malu. Kau mengerti?!”
Lia menahan napas. Ia ingin berteriak, memaki, menghantam wajah Basuki. Tapi tubuhnya terlalu lelah dan pikirannya terlalu penuh.
Basuki menatap ke dua pria tadi. “Kunci dia. Jangan beri dia celah satu inci pun.”
Mereka menyeret Lia kembali ke kamarnya. Kali ini lebih kasar. Salah satu dari mereka bahkan menendang pintu keras-keras setelah mengurungnya.
Kamar kembali hening.
Lia terjatuh ke lantai. Napasnya berat. Tapi tak ada air mata.
Ia merapatkan dirinya ke dinding, seperti berusaha menyatu dengan dinginnya tembok.
“Ini belum selesai…” gumamnya dalam hati. “Besok... aku harus cari cara. Apa pun itu. Aku nggak akan jadi boneka Basuki.”
Jam dinding berdetak lambat, waktu terasa lebih panjang dari biasanya. Di luar, angin malam berdesir pelan. Tapi di dalam kamar itu, sebuah rencana mulai tumbuh diam-diam di benak Lia.
****