Apa yang akan Luna lakukan jika dia memiliki kesempatan untuk kembali ke tiga tahun sebelumnya?.
Luna: "Aku akan menjauh dan menghindari pria brengsek seperti Julian."
...
Di pemakaman yang sudah sunyi, seorang wanita menatap kosong tiga nisan milik keluarganya, Ayah, ibu dan kakaknya. Semua telah pergi, meninggalkannya sendiri.
Ini semua karena Julian. Obsesinya pada pria itu menghancurkan segalanya. Ia menyakiti Kirana, tunangan Julian, hingga pria itu membalas dengan menghancurkan hidupnya.
"Ini balasan karena menyakiti Kirana," ucap Julian sebelum pergi.
Luna terisak. Julian benar. Dialah yang salah. Dia mencoba membunuh Kirana demi mendapatkan Julian, tapi sekarang, dia kehilangan segalanya, dan itu semua karena dirinya yang membuat Julian murka hingga pria itu membunuh keluarganya.
Bodoh. Aku bodoh, ratapnya dalam hati.
....
Hai jangan lupa beri like dan dukungan kalian untuk cerita ini ya. 😁
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon waya520, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang musik
Julian menatap kosong ke arah jendela kelasnya. Pagi ini dia melihat sosok wanita yang dulu sering mengikutinya kemanapun hingga dirinya risih lalu membentak wanita itu, memintanya untuk menjauh.
Tapi saat permintaannya di kabulkan, entah kenapa seperti ada yang hilang di hidupnya.
Terlalu gengsi untuk mengatakan bahwa dirinya merindukan keberadaan Luna. Entah sudah berapa lama wanita itu tidak berada didekatnya.
"Julian." panggil teman sebangkunya.
Dia menoleh.
"Itu ada pacarmu di luar." mendengar kata pacar, yang ada didalam benaknya adalah Luna, karena kebiasaan wanita itu yang mengikutinya kemanapun membuat beberapa orang menganggap bahwa wanita itu pacarnya.
Perasaannya membuncah, entah kenapa dia berharap wanita itu kembali mengikutinya. Dia percepat langkahnya hingga akhirnya dia sampai didepan kelas. Terlihat seorang wanita yang sedang membelakanginya.
"Luna." panggilnya lirih, wanita itu menoleh. Seketika wajah Julian mendatar.
"Kenapa kau kesini Kirana, bukankah tubuhmu masih sakit?" tanyanya sedikit kecewa karena wanita itu bukanlah Luna.
Kirana meringis kecil karena dia yang memaksakan diri untuk datang kesini, padahal jarak falkutas managemen bisnis dan fakultasnya cukup jauh.
"kak, aku nanti minta antar ke rumah sakit ya, mau periksa."ucapnya dengan manja. Julian menghela nafas lalu mengangguk.
"Cepat kembali ke kelasmu, nanti ku tunggu di parkiran."
Kirana mengangguk lalu berjalan pelan meninggalkan sosok Julian yang terlihat tidak senang dengan kedatangan wanita itu.
Julian berjalan kembali ke dalam kelas. Tatapan tajamnya mengarah pada temannya tadi. "Dia bukan pacarku, jadi jangan menyebutnya sebagai pacarku." ucapnya ketus lalu duduk di bangkunya.
....
Luna memilih untuk bolos kelas sore ini. Jangan ditiru.
Matanya terpejam, dia sedang menikmati hembusan angin yang cukup sejuk, biasanya kalau menjelang sore, udara terasa panas, berhubung sedang mendung, jadi udaranya terasa dingin.
"Jangan tidur di sini, nanti kau jatuh." sebuah surat mengagetkan Luna yang sedang menikmati ketenangan ini.
Siapa orang yang mengganggu ketenangannya.
"Justin." ujar Luna saat menoleh dan mendapati teman sekelasnya yang sudah duduk ditempatnya, biasa di samping tandon air.
Entah kenapa Justin selalu duduk disana. pria itu meloncat turun lalu mendekat dan duduk tepat disamping Luna.
"Kau ternyata menyukai atap juga." kata pria itu memecah keheningan diantara mereka.
Luna mengangguk. "Dulu aku sering ke atap fakultas managemen bisnis untuk memantau Julian." ucapnya tanpa sadar.
Justin terdiam lalu bertanya. "Kenapa tiba-tiba kau pindah ke fakultas seni?" jujur dia sangat penasaran. Masalahnya mereka sudah mau masuk semester tiga setelah UAS dan wanita itu masuk di minggu ketiga sebelum UAS.
"Sejak dulu aku suka seni, aku suka menggambar, melukis bahkan bermain alat musik." jawab Luna santai.
Kening Justin terangkat sebelah. "Kenapa tidak dari awal kau masuk ke sini?"
Luna memejamkan matanya sejenak lalu dia membukanya lagi. "Anggap saja aku bodoh karena hampir merusak masa depanku dengan asal memilih jurusan."
Alasan utama dia masuk managemen bisnis ya karena Julian, kemanapun pria itu pergi, dia akan mengikutinya dan bodohnya, sampai dia rela mengorbankan dirinya demi cinta sepihak dengan pria itu.
Untung saja tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya sekarang, dia berjanji untuk tidak mengulangi kebodohannya dimasa lalu.
"Kau suka musik?" tanya Justin lagi. Dijawab Luna dengan anggukan kepala.
"Berarti kau bisa bermain piano?" tanya pria itu lagi. Luna mengangguk lagi.
grep....
Luna terkejut saat tangannya ditarik oleh Justin.
"Kenapa kau menarik ku?"
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
Justin terus menarik tangan Luna hingga keduanya terhenti disebuah ruangan yang berada dibelakang fakultas seni.
Klek....
Mata Luna membulat saat melihat ruangan yang cukup besar, ruangan ini terlihat seperti bioskop, hanya saja tidak ada layar besar didepannya. Mata bulatnya terpaku pada sebuah piano besar yang berada di tengah-tengah panggung.
"Ayo kita mainkan sebuah lagu."
Pria itu kembali menarik tangan Luna, dan membawa wanita itu hingga ke depan piano. Justin melepas tautan tangannya dengan wanita itu, dia meraih sebuah gitar lalu kembali mendekat pada Luna yang sudah duduk di bangku piano.
Keduanya saling bertatapan. "Ayo kita mulai."
Dengan sedikit malu, Luna mulai menekan tuts piano. Awalnya dia takut jika melakukan kesalahan, tapi Justin terus memberinya semangat hingga akhirnya dia dengan percaya diri memainkan piano itu dengan sangat indah. Justin perlahan mulai memainkan gitarnya.
Paduan suara piano dan gitar selalu menghasilkan komposisi musik yang harmonis dan indah. Keduanya larut dalam suasana yang menyenangkan ini hingga tanpa sadar mereka sudah memainkan tiga lagu sekaligus.
Pria itu menatap Luna dengan tatapan kagum. "Ku akui kau memang hebat Luna." pujinya, Luna tersenyum malu.
"Kau juga hebat Justin."
Keduanya saling memuji satu sama lain.
"Ibuku pasti senang melihatmu bermain piano." ujar Justin yang sibuk mengembalikan gitar itu pada tempatnya.
"Apa ibumu suka bermain piano?" tanya Luna penasaran.
Justin terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Iya, tapi dulu sekali saat beliau masih sekolah."
Sebenarnya Luna masih ingin bertanya perihal orangtua Justin, tapi dirinya terkejut saat melihat jam di ponselnya.
"Astaga sudah sore." Luna segera bergegas keluar dan diikuti oleh Justin.
"Justin aku pulang duluan, terimakasih sudah mengajakku bermain piano." pamitnya lalu segera pergi meninggalkan pria yang menatapnya dengan tatapan sendu.
....
Deon sudah melipat kedua tangannya di depan dada. Tatapan matanya terlihat begitu tajam. Sudah hampir satu jam dia menunggu di tempat parkir.
Kemana adiknya itu.
"KAAAAKKKKK." teriak Luna dari jauh. Deon berdecak kesal saat melihat wajah tanpa dosa wanita itu.
"Kau ini dari mana saja, kau tahu tidak aku sudah berdiri di sini hampir satu jam, satu jam Luna." omel Deon saat adiknya itu sampai didepannya.
Luna memejamkan matanya saat liur kakaknya muncrat ke arahnya.
"Mana kuncinya?" pria itu mengadahkan tangannya ke arah Luna. Menunggu kunci mobilnya yang memang disimpan adiknya itu.
Dengan tergesa-gesa, Luna membuka tasnya, mencari keberadaan kunci mobil milik kakaknya. Setelah ketemu dia dengan cepat menyerahkan benda itu pada pemiliknya.
Tanpa bicara apapun, Deon langsung mengambil kunci itu lalu membuka pintu mobilnya diikuti oleh Luna.
Keduanya sama-sama diam di dalam, Deon yang moodnya buruk dan Luna yang merasa bersalah karena dirinya, kakaknya itu marah.
astaga menakutkan sekali.
"Kau ini dari mana, aku sudah mencari mu dikelas, di kantin dan di atap."
Luna meringis saat mendengar Omelan pria itu lagi. "Aku di ruang musik tadi." jawabannya lirih.
"Ruang musik?" Deon mengulang kembali perkataan adiknya.
"Bagaimana bisa kau masuk kesana sedangkan hanya orang-orang tertentu yang boleh kesana." lanjutnya yang mengira Luna tengah berbohong saat ini.
Sekarang Luna yang terlihat kebingungan.
semangat terus 😍😍😍😍
dan terimakasih sudah UP kakak 😍
makin seru 😍
lanjut up lagi thor