Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Wanita dalam Sangkar
Ruang kerjanya sunyi, hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas. Catherine duduk tegak di kursinya, ditemani aroma teh hitam yang masih mengepul tipis. Wajahnya seperti biasa, dingin, anggun, dan tak tersentuh.
Beatrice berdiri di seberang meja, menyerahkan dokumen tambahan hasil rapat tadi. “Selebihnya berjalan sesuai rencana, Mrs. Hanya ada satu masukan … dari Nyonya Ivy.”
Catherine yang semula fokus membaca, perlahan mengangkat alisnya. “Ivy?” nada suaranya datar, nyaris terdengar ragu. “Dia memberi masukan?”
“Ya.” Beatrice mengangguk sopan. “Tentang lounge lobi. Ia mengusulkan agar suasana dibuat lebih hangat, bukan hanya sekadar elegan. Menurut saya pribadi, sarannya cukup relevan.”
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Catherine menutup map dokumen dengan lembut, namun sorot matanya menajam.
Ia mengenal menantunya hanya sebatas gosip Gadis cantik dari keluarga berada yang tiba-tiba masuk ke hidup putranya karena sebuah perjodohan bisnis. Selama ini, yang Catherine tahu, Ivy hanya pandai berpenampilan dan menghabiskan uang.
Kini, mendengar bahwa Ivy berani menyampaikan pendapat dalam forum resmi, ada secercah ketidakpercayaan di matanya.
“Menarik,” gumam Catherine akhirnya. Bukan pujian, hanya pengakuan dingin atas sebuah fakta. “Kupikir dia tidak mengerti apa pun selain memilih gaun pesta.”
Beatrice tersenyum kecil, sekilas. “Mungkin Nyonya Ivy ingin menunjukkan dirinya lebih dari yang orang kira.”
Catherine menyandarkan punggungnya, jari-jarinya mengetuk pelan meja kayu mahoni. “Atau sekadar ingin membuktikan sesuatu di hadapan Calix.”
Nada suaranya tetap dingin, tetapi jelas ada sedikit perubahan. Ivy sudah keluar dari bayangan ‘perempuan manja tak berguna’ di pikirannya.
Namun Catherine tidak pernah menunjukkan kelembutan, bahkan untuk pengakuan kecil semacam ini. “Apa pun alasannya, selama sarannya tidak merusak keseluruhan konsep, masukkan saja dalam pertimbangan," katanya tegas.
“Baik, Mrs,” jawab Beatrice, menunduk hormat.
“Sekarang bagaimana kau bertindak saja. Aku sudah memberimu kesempatan.”
Suara Catherine terdengar tenang, tapi tegas seperti biasa.
Beatrice menunduk, jarinya menggenggam ujung berkas di pangkuannya. Ada getir yang sulit ia sembunyikan.
“Sepertinya … kesempatan itu sudah lama hilang, Nyonya,” gumamnya pelan.
Alis Catherine berkerut tipis. “Hilang? Bukankah saat ini juga kesempatanmu?”
Beatrice mengangkat wajahnya. Ada perih yang memancar dari matanya.
“Nyonya … apa Anda benar-benar berpikir mereka berpura-pura? Apakah rencana kita saat ini — adalah hal yang tepat? Bagaimana jika saya justru mengacaukan keadaan?”
Catherine menatapnya lama, dingin, penuh kalkulasi. Baginya, semua ini sederhana. Calix berhak bahagia, dan Ivy berhak kembali pada kebebasan yang ia sukai. Namun, Beatrice melihat sesuatu yang berbeda.
“Apa maksudmu?” Suara Catherine merendah, seolah ingin menguji.
Beatrice menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak saat mengingat pemandangan tadi. Calix menoleh, sekilas, pada Ivy. Ada sesuatu di tatapannya.
“Saya pikir … mereka tidak berpura-pura. Bukan lagi, setidaknya. Meski sakit mengakuinya, saya melihat cinta itu di mata Calix. Tatapan yang dulu pernah ia arahkan pada saya … sekarang, hanya untuk Nyonya Ivy.”
Hening menyelimuti ruangan. Catherine menegakkan punggungnya, ekspresi wajahnya tetap dingin, tapi sorot matanya sedikit meredup. Ia tidak mengira menantunya bisa menembus dinding hati Calix yang selama ini ia pikir tak tergoyahkan.
“Kalau benar begitu …” bisiknya, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri. “… maka aku yang salah menilai.”
Beatrice menunduk lagi, suaranya hampir pecah. “Saya tidak ingin menjadi orang yang menghancurkan mereka, Nyonya. Mungkin … kesempatan itu memang sudah tidak ada.”
Untuk pertama kalinya, Catherine membisu lebih lama dari biasanya. Dalam hatinya, ia tidak membenci Ivy. Justru ia iba — seorang gadis muda yang ia pikir akan terkekang, ternyata mampu membuat putranya menatap dengan cara yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Keheningan menggantung. Catherine masih duduk tegak, wajahnya tetap dingin, namun jemari tangannya mengepal halus di atas meja. Ada sesuatu yang bergetar samar dalam dirinya.
Namun ia tidak menunjukkan kelemahan itu.
“Aku tidak yakin wanita itu mampu bertahan lama dalam posisi ini. Dia bukan wanita yang dibuat untuk sangkar," katanya akhirnya, suaranya tetap dingin, meski ada sedikit keretakan yang sulit ditutupi.
Beatrice menunduk. Ada penyesalan, ada kepasrahan. Tapi ia juga tahu Catherine tidak mudah digoyahkan, namun ia juga ingin percaya bahwa Calix bisa kembali padanya tanpa harus menyakiti yang lainnya.
Catherine bangkit berdiri, menyambar map di meja dengan gerakan anggun namun penuh kuasa. “Selama aku masih melihat celah, Beatrice, aku akan terus membuka jalan. Demi kebahagiaan Calix … dan mungkin juga demi Ivy. Kau hanya perlu bersiap ketika saatnya tiba."
Beatrice menutup mata sejenak, merasakan pedih sekaligus pasrah. Beatrice pamit pergi, meninggalkan Catherine yang menyisakan udara dingin yang menggantung, namun dalam hatinya sendiri, untuk pertama kalinya — ia bertanya apakah keputusannya kali ini benar?
Catherine menatap kosong ke arah jendela besar kantornya. Dari atas sana, gedung-gedung kota menjulang megah.
“Ivy…” Bukan nada marah, melainkan getir yang samar. “Gadis itu lahir untuk berlari bebas, bukan untuk terpenjara dalam ikatan yang kaku seperti ini.”
Ingatan samar menembus pikirannya — pesta pernikahan yang megah empat tahun lalu. Semua tamu sibuk menilai cincin, gaun, dan kemewahan upacara, sementara Catherine justru memperhatikan mempelai wanita itu.
Ivy tertawa lepas ketika seorang sepupu kecil menjatuhkan bunga di karpet, wajahnya memerah malu tapi matanya tetap berkilat bebas. Saat itu Catherine sudah tahu, gadis ini bukan tipe perempuan yang bisa duduk manis di balik aturan keluarga.
Empat tahun lalu, hari itu begitu jelas diingatannya — pesta pernikahan megah, musik, cahaya lampu kristal, semua orang tersenyum.
Ia menunggu sampai semua tamu bubar sebelum akhirnya menghampiri Ivy yang masih terbungkus gaun putih mahal. Wajah gadis itu cantik, tapi matanya penuh gelisah.
Catherine berdiri tegak di hadapannya, menatap tanpa banyak ekspresi.
“Mulai hari ini, statusmu adalah istri Calix dan bagian dari keluarga Theodore. Aku hanya berharap kau bisa menjaga nama baik keluarga ini.”
Nada suaranya tenang, dingin, tanpa hiasan kehangatan. Ia tidak berniat mengintimidasi, hanya menyampaikan kewajiban sebagaimana adanya. Namun di telinga Ivy yang baru saja masuk ke lingkaran keluarga besar itu, kata-kata Catherine terdengar seperti sebuah penghakiman.
Bagi Catherine, ucapan itu adalah bentuk penerimaan — selama kau tahu tanggung jawabmu, aku tidak akan menghalangi hidupmu.
Tapi bagi Ivy, kalimat itu berarti, kau hanyalah boneka, jangan harap aku menganggapmu lebih dari sekadar pelengkap status.
Sejak saat itu, hubungan mereka tidak pernah dekat. Catherine tidak merasa perlu menjelaskan, sementara Ivy terus memandangnya sebagai sosok dingin yang menunggu kegagalannya.
Kini, duduk di ruangannya, Catherine menghela napas panjang. Ia memang tidak membenci menantunya, tapi juga tidak pernah mencoba meraih lebih jauh. Dalam benaknya, Ivy hanyalah gadis yang terlalu bebas untuk betah lama di dalam sangkar pernikahan ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Rumit ga sih? Tapi baca aja lah ya😜 kalian kan tinggal baca doang, tar yang pusing mah Author nya....
...Dipersilahkan juga yang ingin memberi masukan dengan komentarnya yang beragam. Jika ada kesalahan dalam materi atau tulisan silakan beritahu aku juga ya, insyallah aku perbaiki. ...
respon Calix yg membuatku terdiam thor.
Jangan macam² ya Calix, awas memang km
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu