Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 17
"Maaf, Pak, Bu ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi semua ... memang kembali lagi pada kehendak Yang di Atas." Pria berseragam hijau itu tidak berani menyampaikan informasi secara jelas. Ia tahu, kalau berita duka yang mendesak keluar dari bibirnya akan menghancurkan harapan orang-orang di depan matanya.
Tubuh Keisya melemas, terduduk di lantai tepat saat dokter menyampaikan berita buruk. Sedangkan, Pram menepis sendok yang akan disuapkan Kailla padanya. Dari tempatnya dan Kailla duduk, berita duka itu terdengar jelas. Walau dokter tidak mengatakan secara langsung, permintaan maaf dokter di awal sudah cukup menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam ruang operasi.
"Kai, bagaimana dengan Bayu?" ucap Pram lirih. Kedua tangannya memeluk erat Kailla, menatap nanar ke arah Keisya. Gadis muda itu sedang terpukul. Tertegun di lantai dingin dan meratapi kepergian ayahnya.
Kailla mematung dengan tangan masih memegang kotak bekal. Ia bisa merasakan beban berat yang dipikul Pram. Suaminya menjatuhkan kepala di pundaknya, seakan meminta dikuatkan.
"Pasti baik-baik saja." Kailla mengusap punggung Pram berusaha menenangkan.
"Kasihan Kinar dan putri mereka. Aku tahu ... semua ini kelalaian Bayu, tetapi Bayu sudah seperti keluargaku. Dia bekerja denganku ... dan aku juga harus ikut bertanggung jawab." Pram berkata lirih.
"Tidak perlu dipikirkan, Sayang. Pasti baik-baik saja." Sentuhan lembut tangan Kailla begitu menenangkan.
"Bagaimana aku harus mengabarkannya pada Kinar dan Mama. Aku pikir, kalau korban sembuh seperti semula ... dengan sedikit santunan ... aku bisa berdamai dengan keluarga korban dan hukuman Bayu akan jadi lebih ringan. Dan sekarang ...." Pram tak sanggup berkata-kata. Matanya terpejam, tidak sanggup membayangkan alur hidup ke depannya.
***
Rumah duka, kediaman keluarga Keisya di sebuah kontrakan sederhana. Akses untuk menuju ke sana, hanya bisa dengan berjalan kaki atau kendaraan bermotor. Tampak Pram menggenggam tangan Kailla menyusuri jalan setapak untuk mencapai ke kontrakan Keisya. Seharian ini, pria itu sibuk mengurusi prosesi pemakaman Ayah Keisya sampai tidak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Wajah lelahnya tampak sedikit pucat dengan beban pikiran memenuhi otak. Ia bahkan belum pulang ke rumah sejak dari Bandung, hanya meminta Donny membawa pakaian ganti.
"Permisi ...." sapa Pram, begitu tiba di depan rumah kontrakan yang pintunya terbuka lebar. Terlihat beberapa ibu-ibu duduk beralas tikar berkumpul di ruang tamu sederhana dengan pakaian hitam. Mereka berusaha menguatkan keluarga Keisya yang sedang berduka atas kepergian sang kepala keluarga.
Donny dan Sam tampak mengekor di belakang pasangan majikannya dengan menenteng kantong-kantong belanjaan berukuran besar, berisi barang-barang kebutuhan rumah tangga. Hari menjelang sore, saat Pram dan Kailla memutuskan mengunjungi kediaman korban kelalaian Bayu. Mereka baru saja pulang dari mengunjungi Bayu yang ditahan pihak kepolisian setelah pulang dari pemakaman.
Pram bahkan tidak memiliki waktu beristirahat. Beruntung Kailla berada di sampingnya sepanjang hari. Ibu si kembar itu terpaksa meninggalkan putranya pada pengasuh dan hanya mengirim asi perah melalui Sam.
“Permisi ... selamat sore, Bu.” Pram menyapa ulang.
Tidak ada jawaban dari pemilik rumah, hanya seorang ibu paruh baya keluar ke teras rumah untuk mencari tahu maksud kedatangan Pram dan Kailla.
"Aku ingin bicara dengan istri dan putrinya almarhum. Ada yang perlu aku sampaikan," jelas Pram. Sejak berita duka disampaikan dokter, Pram belum berkesempatan bicara secara pribadi.
"Masuk, Pak, Bu." Ibu itu mempersilakan.
Pram yang masih belum mau melepas pertautan jemarinya dengan Kailla tampak menarik istrinya itu ikut masuk ke dalam rumah. Suasana duka dan kesedihan terasa nyata saat Pram melangkah masuk ke ruang tamu kontrakan. Di salah satu sudut ruangan, terlihat Keisya dan Ibunya duduk di lantai beralas tikar dengan mata sembab karena terlalu banyak menangis. Duka itu masih kentara. Sebenarnya Pram berat membahasnya sekarang, di saat tanah kubur sang tumpuan keluarga masih basah dan berjejak air mata. Namun, ia berharap apa yang akan disampaikannya akan meringankan beban keluarga.
"Maaf, aku datang ke sini untuk membahas beberapa hal dengan Ibu." Pram memilih duduk bersila tepat di hadapan Ibu dan putrinya. Kailla yang juga ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Pram terus menggenggam erat tangan suaminya.
Para ibu-ibu yang tadinya mengisi ruangan perlahan membubarkan diri bersamaan dengan Sam dan Donny yang ikut masuk ke dalam rumah, meletakan setumpuk baranr belanjaan di sudut rumah.
Tidak ada jawaban, kedua lawan bicara Pram tak bereaksi. Mengunci rapat bibir, menatap dengan berurai air mata.
"Aku Reynaldi Pratama dan ini istriku Kailla.” Pram mengulurkan tangannya pada Ibu Keisya, diikuti Kailla. Perempuah dengan wajah berhias keriput itu menyambut uluran tangan Pram dan Kailla dengan wajah datar.
Aku mewakili sopir keluargaku meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kehilangan Ibu. Sama seperti Ibu, kami juga tidak menginginkan semua ini. Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik, tetapi Tuhan memilih jalan lain. Bahkan Bapak tidak sanggup melewati meja operasi. Aku minta maaf atas kelalaian Bayu. Dia sudah ditahan pihak kepolisian atas kelalaiannya semalam.” Pram membuka suara.
Tetap tidak ada jawaban, tangis Ibu Keisya semakin terdengar jelas. Sesekali ia menghapus air matanya dengan sapu tangan lusuhnya.
“Ibu tidak perlu khawatir ... mengenai biaya ... em ... ke depannya, aku akan bertanggung jawab. Termasuk biaya pendidikan Keisya. Aku akan membiayai putri Ibu sampai menamatkan S1-nya.” Pram menegaskan.
Keisya mengangkat pandangannya. Setitik kebahagiaan tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Ia memang bersedih dengan kepergian ayahnya, tetapi ucapan Pram membuatnya menjadi bersemangat. Kuliah. Satu kata yang bahkan tidak diizinikannya muncul di dalam angan-angannya. Ia mengerti, terlahir dari keluarga sederhana. Teramat sederhana sampai untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi membayangkan bisa menempuh pendidikan sampai ke bangku kuliah. Tentu saja ucapan Pram bagai penyemangat hidupnya.
Ibu Keisya mengukir senyuman tipis di tengah tangisannya. “Terima kasih.” Ia menerima semua ini sebagai musibah di dalam hidupnya. Suaminya yang seorang pedagang asongan di perempatan lampu merah harus pergi dengan cara tragis. Namun, pertanggungjawaban Pram cukup membuat sebagian beban di pundaknya terangkat. Sebelumnya, ia sudah membayangkan bagaimana hidupnya dan Keisya ke depan. Ia yang seorang buruh cuci gosok dan sakit-sakitan tidak akan sanggup membiayai hidupnya dan Keisya.
“Putrinya sudah kelas berapa, Bu?” tanya Pram, kembali bersuara saat melihat lawan bicaranya mulai membuka diri.
“Kelas XI SMK, Om.” Keisya menjawab dengan mimik wajah lebih bersahabat dibanding sebelumnya.
“Ya sudah, mengenai biaya sekolahmu, Om akan menanggungnya.” Pram mulai terbiasa menyebut dirinya Om di depan Keisya. Sejak semalam, gadis kecil itu selalu memanggilnya Om.
Tampak Pram mengeluarkan kartu namanya dan menyodorkan di hadapan keduanya. “Panggil aku, Pram. Jika membutuhkan sesuatu, kalian bisa menghubungiku langsung di nomor ini. Atau bisa juga menghubungi sekretarisku di perusahaan. Sebisa mungkin aku akan membantu.” Terlihat Pram melirik ke arah Kailla, wanita miliknya itu hampir tumbang, bersandar manja di lengannya. Mata terpejam, dengan napas teratur itu menandakan sebentar lagi Kailla akan berlayar dan mengarungi alam mimpi.
Sejak tadi diam dan menyimak, Kailla menyimpan kantuknya seorang diri. Semalaman tidak tidur dan menemani suaminya, Kailla masih harus menemani Pram ke sana kemari sepanjang hari ini. Suami dewasanya itu tidak mengizinkannya menjauh sedikit pun, menggandeng tangannya dengan erat melewati hari yang bagaikan mimpi buruk.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set