“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Bayangan dibalik Takdir
Langit Samudra Jaya pagi itu tampak muram meski matahari telah tinggi. Kabut tipis masih menyelimuti taman belakang istana, dan udara terasa lebih berat dari biasanya—seolah hutan di utara membawa kabar buruk yang belum terucap. Burung-burung enggan berkicau, dan para abdi berjalan dengan langkah terburu-buru tanpa berani saling menyapa. Di paviliun timur, Raden Raksa duduk termenung di kursi kebesarannya. Matanya memandangi cawan kosong di hadapannya, bekas jamu yang semalam diantarkan oleh Puspa. Di benaknya, wajah gadis itu terus terbayang—mata jernih yang takut menatapnya, tangan gemetar yang menuang jamu, dan bibirnya yang terasa bagai bayang dalam mimpi.
Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Sejak pertemuan pertama dengan Puspa, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Dulu, ia tak segan mempermainkan siapa pun di istana—entah selir, dayang, atau bahkan putri bangsawan sekalipun. Namun dengan Puspa, semuanya terasa berbeda. Ada sesuatu yang menahannya untuk berbuat lebih jauh.
“Gusti Raden…” suara Sangkara, pengawal pribadinya, membuyarkan lamunannya. Pemuda itu berlutut dengan kepala menunduk. “Hamba mendapat kabar, Tumenggung Wiranegara hendak menghadap untuk menyampaikan sesuatu yang penting.”
Raksa menegakkan tubuhnya, menatap Sangkara dengan sorot tajam. “Suruh dia menunggu di pendapa. Aku akan segera datang.”
Sangkara mengangguk dan segera beranjak pergi. Beberapa saat kemudian, Raksa melangkah menuju pendapa. Tumenggung Wiranegara, seorang lelaki paruh baya dengan sorot mata tajam dan suara berat, telah menunggunya. Ia memberi sembah hormat.
“Ampun, Gusti Raden,” ujarnya, “hamba datang membawa kabar dari perbatasan selatan. Ada sekelompok pengintai asing yang tertangkap oleh pasukan penjaga benteng. Mereka mengaku berasal dari Mandalapura.”
Raksa menaikkan alisnya. “Mandalapura?”
“Benar, Gusti. Mereka tidak membawa senjata, tapi dari pakaian dan dialeknya jelas mereka bukan rakyat biasa. Kami menduga mereka adalah utusan rahasia.”
Raksa mengusap dagunya perlahan. “Apakah ayahanda Prabu sudah mengetahui hal ini?”
“Belum, Gusti. Hamba datang ke sini atas perintah Mahapatih Nirmala untuk memastikan keadaan istana terlebih dahulu.” Raksa mengangguk pelan, namun pikirannya berputar cepat. Mandalapura. Negeri itu bukan nama asing baginya. Bukankah itu kerajaan yang disebut-sebut dalam wangsit untuk menjadi sekutu Samudra Jaya? Tempat di mana Putri Dyah Anindya kelak dijodohkan dengan putra mahkotanya?
Senyum miring terbit di sudut bibirnya. “Jadi mereka datang lebih cepat dari yang kukira,” gumamnya pelan. “Baiklah, Wiranegara. Aku sendiri yang akan memeriksa para tawanan itu malam ini. Pastikan tidak ada seorang pun tahu sebelum waktunya.” Setelah Tumenggung pergi, Raksa kembali ke paviliunnya. Namun langkahnya terhenti di halaman belakang. Di sana, ia melihat sosok yang familiar sedang memetik bunga melati di taman kecil. Puspa. Gadis itu tampak berbeda pagi ini—wajahnya pucat, matanya sedikit sembab. Entah karena lelah atau karena sesuatu yang lain. Raksa berdiri diam di tempat, memperhatikan dalam senyap. Ia tidak tahu mengapa setiap kali melihat gadis itu, dadanya terasa sesak. Seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tak bisa keluar.
“Puspa,” panggilnya pelan. Gadis itu terlonjak, hampir menjatuhkan keranjang kecil di tangannya. Ia segera berlutut memberi hormat. “Ampun, Gusti Raden. Hamba tidak tahu Paduka ada di sini.” Raksa mendekat beberapa langkah. “Bangunlah. Aku tidak suka berbicara dengan seseorang yang menunduk terlalu lama.” Puspa ragu, namun akhirnya bangkit perlahan. Wajahnya masih menunduk.
“Kau terlihat gelisah,” kata Raksa sambil menatap tajam. “Apakah semalam kau memimpikan sesuatu?” Pertanyaan itu membuat Puspa menatapnya cepat, lalu menunduk lagi. “Hamba... tidak tahu, Gusti. Hamba hanya merasa aneh sejak semalam. Dupa di paviliun Paduka... aromanya masih terasa di sini.”
Raksa terdiam. Ia menatap bunga melati di tangan gadis itu. Wangi yang sama. Wangi yang membuat pikirannya tak tenang.
Tanpa sadar, jemarinya terulur mengambil setangkai melati dari keranjang Puspa. “Kau tahu, Puspa… melati adalah lambang kesucian di istana ini. Tapi sekaligus lambang pengorbanan.”
Puspa menatapnya heran. “Pengorbanan, Gusti?”
Raksa menatapnya dalam. “Ya. Karena wangi bunga ini hanya bertahan sebentar. Setelah itu, ia layu.” Puspa terdiam. Ada makna tersembunyi dalam kata-kata itu, tapi ia tak berani menanyakannya. Dalam diam, ia menunduk, lalu berkata lirih, “Hamba hanya ingin melayani dengan sebaik-baiknya, Gusti. Tidak lebih.” Raksa menatapnya lama, tapi tidak menjawab. Lalu mendekat perlahan membuat Puspa semakin gugup pegangan dikeranjang bunga itu semakin erat.
“Tapi dibalik pengorbanan sang melati terselip kenangan yang membuat semua orang jatuh cinta padanya, dan kau tahu cinta itu butuh pengorbanan bahkan pertaruhan nyawa,” kata Raden Raksa lalu mengangkat dagu Puspa dengan pelan menatap manik mata indah itu lalu menyelipkan sekuntum bunga melati ditelinga Puspa sementara gadis itu tak berkedip menatap Raden Raksa. Ada perasaan aneh didadanya, sakit, sesak dan hangat bercampur menjadi satu.
“Itu sangat cantik untukmu, tetaplah seperti ini dihadapanku...hanya untukku,” bisik Raden Raksa tersenyum, senyuman yang terasa hangat lalu berbalik meninggalkan Puspa yang masih terpaku.
Dari kejauhan, sosok Ken Suryawati mengintip dari balik tirai jendela paviliunnya. Matanya menyipit, menatap kedekatan itu dengan tatapan yang menyala oleh api cemburu dan kebencian.
“Puspa... gadis itu benar-benar harus disingkirkan sebelum semuanya terlambat,” bisiknya dingin. “Kalau benar darah bangsawan mengalir dalam dirinya... maka hanya ada satu cara untuk memastikan takdir anakku tetap menjadi milik Raksa—hapuskan dia, sebelum langit sempat memilih.”
Di kejauhan, angin kembali berembus. Dupa yang tersisa di gubuk Nyi Sanem semalam tiba-tiba padam sendiri, meninggalkan abu yang membentuk huruf samar di lantai tanah Takdir tidak bisa dibunuh. Dukun tua itu tersenyum miring lalu terkekeh.
“Khekhekhe.... Suryawati sekeras apa pun kau menghalangi takdir justru kau yang akan masuk ke lubang api itu dan melahapmu hmhmp....hahahaha.....” Dan sejak hari itu, bayangan-bayangan tak terlihat mulai bergerak di Samudra Jaya—antara cinta yang terlarang, darah bangsawan yang tersembunyi, dan ambisi seorang ibu yang menolak tunduk pada kehendak langit.
***
Siang ini Panglima Aruna Melatih prajuritnya seperti biasa tapi hati dan pikirannya sedang tak sejalan, sehingga membuatnya tak bisa berkonsentrasi. Salah satu anak buahnya berbisik-bisik membicarakan Panglimanya.
“Panglima Aruna hari ini kok aneh ya, ndak seperti biasanya?”
“Iya, dari tadi pagi murung terus bahkan tadi beliau melewatkan sarapan,” timpal yang lain.
“Kira-kira ada apa ya?”
“Ssstt...eh....denger-denger Pangalima Aruna sama Putri Dyah Anindya mereka.....” prajurit itu membuat kode mengerucutkan kedua tangannya lalu mematuk-matukkan seperti seekor burung, membuat dua rekannya yang lain spontan melotot kaget.
“Ssssttt! Astaga, mulutmu itu loh, bisa bikin kepala melayang kalau salah dengar orang!” bisik salah satu dari mereka sambil cepat-cepat menepuk tengkuk temannya. Prajurit yang memberi kode itu meringis menahan sakit, mengusap tengkuknya pelan.
“Lho, aku itu cuma ngomong pelan, kok. Tapi kalian ini pura-pura gak tahu aja. Kalian pikir kenapa Panglima Aruna sering dipanggil ke taman belakang istana?” ujarnya setengah berbisik tapi penuh keyakinan.
“Ngawur kau! Itu kan karena beliau pengawal pribadi Putri Dyah, jadi ya wajar kalau sering bertemu,” sahut yang lain mencoba menutupi rasa penasaran. Namun prajurit yang pertama tetap bersikeras, “Heh, aku pernah lihat sendiri waktu itu malam-malam, Panglima Aruna berdiri di taman sendirian. Tak lama, Putri Dyah datang membawakan sesuatu. Dan...,” ia berhenti sejenak, membuat dua rekannya menatap penasaran. “Mereka bicara lama... dan waktu Putri Dyah pergi, wajah Panglima Aruna itu kelihatan kayak orang jatuh cinta. Matanya itu loh, kayak sinar rembulan yang malu-malu.”
“Wooo... mulai ngawur lagi mulutmu,” sergah yang satunya sambil cepat-cepat memberi geplakan keras ke kepala temannya. “Kau kira ini tempat bergosip di pasar? Ini barak latihan, bodoh! Kalau sampai terdengar Tumenggung Wiranegara bisa habis kita semua!” Prajurit itu mengaduh pelan, tapi masih sempat nyengir. “Ya tapi benar, coba saja lihat. Dari tadi Panglima kita itu kelihatan murung terus. Pasti gara-gara si putri.”
Mereka semua serentak menoleh ke arah lapangan, di mana Panglima Aruna tengah berdiri di bawah terik matahari, memegang pedang latihan dengan ekspresi kosong. Gerakannya tidak secepat biasanya, dan beberapa kali ia tampak kehilangan fokus.
“Lihat kan? Biasanya beliau tegas, kalau melatih kita bisa sampai suara seraknya kedengeran dari ujung lapangan. Sekarang malah diam melamun,” ucap salah satu prajurit itu lirih.
“Hmm... iya juga sih,” sahut temannya pelan, mulai terbawa rasa penasaran. “Tapi kalau benar seperti kata kau tadi... ya ampun, itu bisa jadi masalah besar.”
“Masalah kenapa? Kalau saling suka ya biarkan saja toh?” tanya yang lain polos.
“Bodoh!” bisik rekannya cepat. “Kau lupa kalau Putri Dyah itu darah bangsawan? Mana bisa seorang panglima, meski gagah sekalipun, menjalin kasih dengan putri raja! Itu bisa dianggap menodai kehormatan keluarga istana!” Ucapan itu membuat mereka bertiga saling berpandangan, suasana mendadak hening. Hanya suara pedang beradu dari prajurit lain yang masih berlatih terdengar di kejauhan. Setelah beberapa detik, prajurit yang pertama tadi kembali berbisik pelan, “Tapi kalau dipikir-pikir... mungkin memang begitulah cinta. Tak peduli darah atau derajat. Siapa yang bisa melarang hati?”
Dua temannya menghela napas bersamaan. “Sudahlah, jangan bahas lagi. Kalau Panglima dengar, bisa-bisa kita disuruh push-up sampai malam,” ujar salah satu sambil melirik gugup. Mereka pun pura-pura sibuk mengasah pedang dan membereskan peralatan latihan. Namun di kejauhan, Panglima Aruna yang seolah tak memperhatikan sebenarnya mendengar samar percakapan itu. Bibirnya menegang, namun matanya tetap menatap lurus ke depan.
Ia tahu gosip semacam itu cepat beredar di barak, dan justru itulah yang selama ini berusaha ia hindari. Tapi hatinya memang tengah kacau. Setiap kali bayangan wajah Putri Dyah muncul dalam pikirannya, semua ketegasan yang ia miliki seakan lenyap. Aruna menarik napas panjang, mengatur kembali irama jantungnya yang terasa berat. Ia menggenggam pedangnya erat, menatap para prajuritnya satu per satu, lalu berseru dengan suara lantang meski terdengar sedikit bergetar, “Lanjutkan latihan! Kalian semua belum layak disebut prajurit Samudra Jaya kalau masih sibuk bergosip!” Tiga prajurit yang tadi berbisik langsung terlonjak kaget, wajah mereka pucat pasi. Mereka segera berdiri tegap dan berseru, “Ampun Panglima!” lalu berlari ke barisan. Aruna hanya menggeleng pelan, namun di balik ketegasannya ada senyum kecil yang tak sengaja terbit di sudut bibirnya. Ia tahu, gosip kadang memang seperti angin—tak bisa dicegah, tapi juga tak bisa diabaikan. Namun dalam hatinya, ia hanya bisa berdoa semoga perasaannya pada Putri Dyah tak menjadi beban bagi siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
****
Tak beda jauh dengan Panglima Aruna, Putri Dyah pun hanya duduk termenung siang ini. Dayang setianya Laras mendekat seakan peka dengan keadaan tuannya.
“Gusti Putri....” panggilnya pelan, hampir berbisik. “Hamba lihat sejak tadi Gusti belum juga beranjak dari tempat itu. Apakah ada yang mengganjal di hati Gusti?” Putri Dyah tidak segera menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, jemarinya yang halus bermain-main dengan tepi selendang sutra yang melingkar di bahunya.
“Laras…” ucapnya lirih, “kadang, menjadi seorang putri bukanlah anugerah, melainkan penjara yang berlapis keindahan.” Laras tertegun. Ia menunduk, tak berani memotong ucapan tuannya, namun matanya menatap penuh iba.
“Apakah ini tentang keputusan Prabu Harjaya, Gusti?” tanyanya hati-hati.
Putri Dyah mengangguk pelan. “Ayahanda berpegang pada wangsitnya. Katanya, hanya pernikahan itu yang akan menjaga Samudra Jaya tetap berdiri kokoh. Tapi apakah takdir negeri ini harus dibayar dengan perasaanku, Laras?” Suaranya bergetar di akhir kalimat. Laras ingin menenangkan, namun tak tahu harus berkata apa. Ia tahu betul bagaimana Putri Dyah menjalani hari-harinya—tenang, anggun, tapi menyimpan kegelisahan yang tak pernah diucapkan. Setelah beberapa saat hening, Putri Dyah berbalik menatap Laras. Sorot matanya lembut, tapi ada genangan air yang belum jatuh. “Laras, apakah salah bila seorang putri mencintai seseorang yang tak seharusnya ia cintai?”
Pertanyaan itu membuat Laras membeku. Ia menatap tuannya dengan mata melebar. “Maksud Gusti…?” Dyah memejamkan mata sejenak, lalu tersenyum getir. “Aku tak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh, tapi setiap kali melihatnya, aku merasa tenang. Ia tidak pernah berbicara lembut seperti para bangsawan, tapi tutur katanya jujur… dan matanya—selalu menatap dengan hormat, bukan karena aku seorang putri, melainkan karena aku manusia.”
Laras nyaris menjatuhkan nampan yang dibawanya. Jantungnya berdegup kencang dalam benaknya hanya ada satu nama Panglima Aruna. Tapi ia tak berani menebak.
“Apakah… yang Gusti maksud… Panglima Aruna?” tanyanya pelan, hampir tak terdengar. Putri Dyah terdiam lama. Pandangannya kembali menerawang keluar jendela, ke arah halaman latihan tempat prajurit berlatih tiap hari.
“Ya, Laras… dia.” Ucapannya lirih, namun cukup jelas untuk membuat Laras menutup mulutnya dengan tangan, menahan keterkejutannya.
“Gusti… ini… ini tidak boleh,” bisik Laras terbata. “Panglima Aruna memang setia, tapi beliau bukan dari kalangan bangsawan tinggi. Jika kabar ini sampai ke telinga Prabu Harjaya…”
“Aku tahu, Laras.” Dyah memotong dengan suara pelan, namun mantap. “Karena itu aku tak pernah mengatakannya kepada siapa pun—bahkan kepadamu sekalipun. Tapi hatiku… sulit untuk berpaling. Setiap kali ia terluka di medan perang, hatiku ikut perih. Setiap kali ia tersenyum saat memberi hormat, aku merasa seolah dunia berhenti sejenak.” Laras menunduk dalam. Ia tahu, ini bukan sekadar kekaguman seorang putri kepada panglimanya. Ini cinta—cinta yang terlarang namun tulus.
“Gusti… hamba mohon, simpanlah perasaan itu rapat-rapat,” ujar Laras lembut, mendekat dan berlutut di hadapan tuannya. “Banyak mata di istana ini yang tajam, banyak telinga yang mudah berbisik. Jika mereka tahu, bukan hanya Panglima Aruna, tapi Gusti pun akan menjadi sasaran fitnah.” Putri Dyah menatap dayang kesayangannya itu dengan mata berkaca-kaca, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Laras. Aku tahu hanya engkau yang dapat kupercaya. Aku akan berusaha… tapi bagaimana jika takdir memang mempertemukan kami?”
Laras tersenyum pahit. “Jika memang itu takdir, Gusti… maka semesta akan mencari jalannya sendiri.” Keduanya terdiam. Hanya suara desir angin yang masuk dari jendela, membawa aroma bunga kenanga dari taman istana. Siang itu, di balik keheningan istana Samudra Jaya, dua perempuan itu menyimpan rahasia besar yang hanya langit dan bumi yang tahu—cinta terlarang antara seorang putri dan panglimanya.