NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mobil Baru Untuk Adik Ipar

Malam berganti pagi. Aku tidak kembali ke kamar. Tubuhku meringkuk di sofa ruang kerja, membiarkan dinginnya lantai merayapi sisa-sisa kesadaranku. Setiap derit kayu, setiap embusan pendingin ruangan, terdengar seperti langkah kaki iblis yang mengintai dalam gelap. Saat cahaya fajar pertama menyelinap melalui celah gorden, pintu ruang kerja terbuka.

Aldo berdiri di sana, sudah rapi dalam setelan kantornya yang mahal, seolah semalam tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah dia tidak baru saja menghancurkan duniaku dan membangun singgasananya di atas puing-puing itu. Tidak ada lingkaran hitam di bawah matanya, tidak ada sedikit pun kekusutan di wajahnya. Dia tampak segar, dan siap menaklukkan hari.

“Pagi,” sapanya dengan nada datar, matanya menyapu penampilanku yang menyedihkan di sofa. “Sarapan sudah siap di bawah. Bi Surti membuat nasi goreng kesukaanmu.”

Perutku bergejolak mendengar kata ‘kesukaanmu’. Tidak ada lagi yang menjadi kesukaanku di rumah ini. Semua terasa seperti racun.

“Aku nggak lapar,” ucapku, suara serak karena tangisan.

“Aku tidak bertanya apa kamu lapar atau tidak. Aku menyuruhmu sarapan,” ujarnya dingin. “Ibumu akan datang jam sepuluh. Aku ingin kamu terlihat seperti istri Direktur Utama yang bahagia, bukan seperti gelandangan yang baru dipungut dari jalanan. Mandi dan berdandanlah.”

Aku menatapnya. Pria yang dulu selalu memujiku bahkan saat bangun tidur dengan wajah bengkak, kini melemparkan hinaan tanpa berkedip. Ini adalah Aldo yang sesungguhnya.

“Jangan menatapku seperti itu, Aerra. Simpan tenagamu untuk pertunjukan nanti,” lanjutnya, lalu melangkah mendekat. Ia meletakkan sebuah benda kecil dan tipis di meja kopi di depanku. Sebuah ponsel baru yang masih terbungkus plastik. “Pakai ini.”

“Ponselku masih bagus,” jawabku lemah.

“Ponsel lamamu sudah tidak aman. Aku tidak mau ada jejak komunikasi antara kamu dan Windu,” katanya, dan nama itu kembali menusuk jantungku. “Ponsel ini hanya untuk komunikasi penting. Dan saat ibumu datang nanti, letakkan di meja dalam mode perekam suara. Mengerti?”

Perintahnya. Aku hanya bisa mengangguk pelan, seolah tali-tali boneka yang mengendalikanku baru saja ditarik kencang.

“Bagus. Aku tunggu di ruang makan dalam tiga puluh menit.” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan aroma parfum mahalnya yang kini terasa menyesakkan.

Tepat pukul sepuluh, bel rumah berbunyi. Aku sudah duduk di ruang tamu, mengenakan gaun terbaikku dengan riasan tipis yang berusaha keras menutupi kehancuranku. Di sampingku, Aldo membaca tabletnya dengan tenang, sesekali menyesap kopi paginya. Ponsel baru pemberiannya tergeletak di antara kami, lampu kecilnya berkedip-kedip, menandakan bahwa ia sedang merekam setiap suara di ruangan itu.

Bi Surti membukakan pintu dan Ibu masuk dengan senyum merekah, menenteng tas bermerek yang ia banggakan. Hari ini, ia tampak sangat ceria.

“Pagi, anak-anakku tersayang!” sapanya riang, matanya langsung tertuju pada Aldo. “Aldo, ya ampun, Nak. Ibu benar-benar nggak tahu harus berterima kasih seperti apa.”

Aldo, tersenyum ramah seolah ia adalah menantu terbaik di dunia, dan menyalami Ibu dengan hangat.

“Pagi, Bu. Nggak usah dipikirkan. Anggap saja ini hadiah kecil dari kami,” balas Aldo, melirikku. “Silakan duduk, Bu.”

“Aduh, kamu ini memang luar biasa. Aerra, kamu dengar itu? Suamimu ini betul-betul anugerah dari Tuhan,” kata Ibu sambil duduk di sofa tunggal, menatapku dengan tatapan penuh arti, ‘Jangan bikin masalah.’

“Iya, Bu,” jawabku singkat, memaksakan untuk tersenyum.

“Jadi, kapan kita bisa urus surat-suratnya, Al?” tanya Ibu, tidak sabar. “Biar semuanya cepat beres. Ibu sudah nggak sabar mau lepas dari beban pikiran itu.”

“Tenang saja, Bu. Pengacaraku sudah mengurus semuanya pagi ini. Ibu tinggal tanda tangan saja nanti kalau berkasnya sudah siap,” jawab Aldo dengan begitu meyakinkan. “Ibu nggak perlu keluar uang sepeser pun.”

Mata Ibu berbinar-binar seperti baru saja memenangkan lotre. “Ya Tuhan, baik sekali kamu, Nak. Ibu jadi nggak enak hati. Rasanya Ibu belum bisa jadi mertua yang baik buat kamu.”

“Ibu sudah jadi mertua yang baik dengan melahirkan dan membesarkan Aerra untukku,” sahut Aldo, tangannya dengan santai merangkul bahuku. Sentuhannya terasa seperti sengatan listrik, membuatku menegang. “Benar, kan, Sayang?”

“I-iya, Mas,” paksaku untuk berkata.

“Oh iya, ngomong-ngomong,” Ibu melanjutkan, nadanya menjadi lebih santai setelah mendapatkan apa yang ia mau. “Mobil Lika itu kan sudah agak rewel ya, Al. Sudah tua juga. Kasihan Ibu lihat dia bolak-balik ke kampus pakai mobil yang suka mogok. Kemarin saja dia hampir telat ujian.”

Aku menunduk, mengepalkan tangan di pangkuanku. Inilah dia. Inilah wajah serakah yang Aldo bicarakan. Umpan pertama sudah dilihat, dan sekarang ibuku meminta umpan kedua. Aku merasa mual.

Aldo tertawa kecil, seolah itu adalah masalah paling sepele di dunia.

“Astaga, Bu. Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?” katanya. “Tentu saja Lika harus dapat mobil baru. Dia kan adik iparku satu-satunya. Nanti biar Aerra yang ajak dia ke showroom, biar Lika pilih sendiri mobil yang dia suka. Mau merek apa saja, terserah.”

Wajah Ibu semakin berseri-seri. “Kamu serius, Al? Aduh, nanti merepotkan.”

“Sama sekali nggak merepotkan, Bu. Apa sih yang nggak buat keluarga?” Aldo kembali menatapku, senyumnya sama sekali tidak mencapai matanya. “Nanti kamu atur jadwalnya sama Lika, ya, Sayang? Minggu ini kalau bisa.”

Aku merasa tercekik. Ia bukan hanya memaksaku menjadi mata-mata, tapi juga menjadi perantara untuk menjerat keluargaku lebih dalam ke dalam perangkapnya.

“Pasti, Mas. Nanti aku telepon Lika,” jawabku dengan suara bergetar.

“Bagus!” seru Ibu, menepuk tangannya dengan gembira. “Nah, begitu dong, Ra. Jadi istri itu harus nurut sama suami. Dukung apa pun kemauan suami. Lihat kan, rezekinya jadi lancar.”

Nasihat itu terasa seperti tamparan keras di wajahku. Ibu tidak tahu bahwa ‘rezeki’ ini adalah harga dari jiwaku yang terjual.

Setelah mengobrol tentang hal-hal tidak penting lainnya, yang isinya hanya pujian Ibu yang melambung tinggi untuk Aldo, akhirnya ia pamit pulang. Wajahnya penuh kemenangan, seolah baru saja menaklukkan dunia.

Begitu pintu utama tertutup dan suara mobil Ibu menjauh, keheningan yang langsung menyelimuti ruang tamu. Aldo meraih ponsel di meja, menekan sebuah tombol, dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Sandiwara telah berakhir.

“Sekarang kamu lihat, kan?” tanyanya, nada suaranya kembali dingin dan menusuk. Ia menatapku lekat-lekat. “Aku bahkan tidak perlu memprovokasi. Ibumu sendiri yang dengan senang hati menyerahkan lehernya untukku.”

Aku tidak menjawab, hanya menatap kosong ke arah karpet persia di bawah kakiku.

“Dia tidak peduli padamu, Aerra. Dia hanya peduli pada rumah, mobil, dan kemewahan yang bisa aku berikan,” lanjutnya tanpa ampun. “Dan kamu… kamu adalah kunci emas untuk mendapatkan semua itu.”

Air mataku mulai menggenang lagi, tapi aku menahannya sekuat tenaga. Aku tidak akan memberinya kepuasan melihatku menangis lagi.

“Tugas pertamamu berhasil,” katanya, bangkit dari sofa. “Tapi ini baru pemanasan.”

Ia berjalan ke arahku, lalu berjongkok di depanku, memaksaku untuk menatap matanya yang sedingin es.

“Tugasmu selanjutnya,” bisiknya, suaranya pelan namun penuh ancaman. “Aku mau kamu ajak Lika pergi. Bukan ke showroom mobil. Itu hanya pancingan. Ajak dia makan siang, ke salon, ke mana pun yang membuatnya nyaman.”

Jantungku berdebar kencang. “Untuk apa?”

“Aku mau kamu mencari tahu segalanya tentang dia,” jawab Aldo, matanya terlihat licik. “Rencananya setelah lulus, teman-teman dekatnya, siapa pacarnya sekarang, apa saja ketakutan terbesarnya. Gali semua informasi pribadi yang bisa kamu dapatkan. Aku mau tahu setiap kelemahannya.”

Napasaku tercekat di tenggorokan. Ini lebih buruk dari yang kubayangkan. Ia ingin aku mengkhianati adikku sendiri.

“Aku… aku nggak bisa, Al,” cicitku.

“Oh, kamu bisa,” desisnya, cengkeraman tangannya di daguku menguat, memaksaku menatapnya. “Pikirkan saja ini sebagai cara untuk melindunginya. Semakin banyak aku tahu, semakin mudah aku mengendalikannya saat waktunya tiba. Anggap saja kamu sedang memilihkan penderitaan yang paling ringan untuknya.”

Ia melepaskan daguku dengan kasar.

“Dan tentu saja,” tambahnya sambil berjalan menuju pintu, “rekam seluruh percakapan kalian. Aku mau mendengar setiap detailnya langsung dari mulutnya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!