Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7:Pencarian dimulai
Sementara itu, di bawah komando Boris, puluhan anak buah Pak Arman mulai bergerak. Beberapa menyebar ke bar-bar di pusat kota, beberapa lagi ke rumah sakit kecil dan klinik darurat mencari orang yang datang dengan luka mencurigakan.
Mobil-mobil hitam tanpa tanda mulai berkeliling perlahan di jalan-jalan sempit. Wajah-wajah asing muncul di warung kopi, terminal bus, bahkan di kampus-kampus malam.
Salah satu orang Boris, pria berambut cepak bernama Digo, menerima foto jam tangan yang dikirim dari ponselnya. “Cari mahasiswa yang punya jam seperti ini,” perintah Boris singkat lewat telepon.
Perintah itu terdengar sederhana, tapi di kota ini, jaringan mafia Pak Arman lebih luas dari polisi. Uang dan ancaman membuat banyak orang bersedia bicara.
Sedikit demi sedikit, lingkaran pengepungan mulai mengerucut.
Stefany yang Gelisah
Di sisi lain kota, di sebuah rumah besar yang tak kalah mewahnya, Stefany duduk di kamarnya sambil memandangi ponselnya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Stefanus, tapi panggilan itu selalu berakhir di pesan suara.
Stefany menggigit bibir bawahnya, rasa cemas mulai merayap.
Sejak mereka resmi berpacaran beberapa minggu lalu, Stefanus tidak pernah sekalipun menghilang tanpa kabar. Meski ayahnya marah besar karena hubungan itu, Stefanus selalu berusaha memberi kepastian padanya.
Tapi malam ini… hening.
Stefany mencoba mengirim pesan. “Kamu di mana? Aku khawatir.”
Tanda centang satu.
Hatinya semakin tidak tenang.
Ia sempat berpikir untuk pergi ke rumah paman Stefanus besok pagi, tapi sesuatu dalam dirinya berkata ada yang lebih serius dari sekadar ponsel mati atau lupa balas pesan.
Namun Stefany tidak tahu bahwa malam ini, ayahnya sendiri memerintahkan perburuan untuk menemukan dan membunuh lelaki yang ia cintai.
Stefanus Sadar Akan Bahaya
Di rumah kosong itu, Stefanus mulai memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu tidak mungkin pulang ke rumah pamannya—itu hanya akan menyeret keluarganya ke dalam bahaya.
Ia juga sadar, cepat atau lambat orang-orang yang mengejarnya akan menemukan sesuatu tentang dirinya.
Yang tidak ia ketahui adalah jam tangan yang ia tinggalkan di gudang sudah berada di tangan Pak Arman, menjadi kunci identitas yang akan segera mengarah padanya.
Stefanus menatap kedua tangannya yang kotor. “Apa yang harus kulakukan sekarang…?” gumamnya lirih.
Ia tidak punya teman dekat yang bisa ia percaya sepenuhnya. Satu-satunya orang yang ingin ia temui adalah Stefany, tapi itu justru berbahaya.
Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar. Ironisnya, Stefanus tidak yakin bisa mempercayai pihak berwenang. Di kota ini, uang Pak Arman bisa menutup mulut siapa saja.
Boris Menemukan Jejak
Di sebuah bar kecil dekat kampus, Digo bertemu seorang pemilik warung yang mengenali jam tangan di foto itu.
“Saya pernah lihat mahasiswa pakai jam seperti ini,” kata pemilik warung, seorang pria tua berkaus lusuh. “Anaknya sering makan di sini. Namanya… Stefanus, kalau nggak salah.”
Digo menatap tajam. “Kamu yakin?”
Pria itu mengangguk. “Anak itu baik. Sering ngobrol sama saya. Kenapa, ada masalah apa?”
Digo hanya menyeringai tipis. “Bukan urusanmu, Pak. Terima kasih infonya.”
Ia keluar dari warung, menelepon Boris. “Kita dapat nama. Stefanus. Mahasiswa Universitas Harapan Bangsa.”
Boris mengangguk puas di seberang sana. Potongan puzzle mulai lengkap.
“Sebarkan foto dan alamatnya. Besok pagi, anak itu sudah harus kita temukan,” katanya dingin.
Di rumah kosong tempat Stefanus bersembunyi, angin dingin masuk dari jendela pecah, membuat tubuhnya menggigil. Ia belum tidur sama sekali. Setiap suara di luar membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Ia tahu sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di luar sana. Ia bisa merasakannya.
Namun ia belum tahu bahwa namanya sudah bocor ke tangan orang-orang Pak Arman.
Boris kembali ke rumah mewah itu membawa laporan. Di tangannya ada foto hasil cetak dari media sosial kampus, wajah Stefanus terlihat jelas.
“Namanya Stefanus,” kata Boris, meletakkan foto di meja Pak Arman. “Mahasiswa Universitas Harapan Bangsa. Hidup bersama pamannya di pinggiran kota.”
Pak Arman menatap foto itu lama. Sorot matanya penuh kebencian.
“Anak ini,” suaranya pelan tapi mematikan, “telah melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat. Dia bernapas malam ini hanya karena keberuntungan.”
Boris menunggu perintah.
“Kerahkan semua orang. Pastikan sebelum matahari terbit, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini,” lanjut Pak Arman, suaranya dingin seperti baja.
Boris mengangguk. “Siap, Bos.”
Tanpa banyak bicara, ia keluar, memberi perintah lewat radio genggam. Di seluruh kota, mobil-mobil hitam kembali bergerak, menyisir setiap jalan kecil, setiap rumah tua, setiap tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyian.
Di rumah kosong itu, Stefanus akhirnya memutuskan untuk keluar mencari tempat lain sebelum pagi tiba.
Ia merobek kain dari kausnya untuk membalut luka di lengannya lebih rapi. Meski perih, ia memaksa dirinya berdiri. Ia tahu berdiam di satu tempat hanya akan memudahkan mereka menemukannya.
Pelan-pelan ia menyelinap keluar, melewati gang sempit yang dipenuhi bau sampah. Setiap bayangan membuatnya waspada. Setiap suara motor membuatnya ingin berlari.
Namun yang paling menakutkan bukanlah mereka yang mengejarnya… melainkan fakta bahwa ia tidak tahu seberapa jauh informasi tentang dirinya sudah bocor.
Di rumah besar di sisi lain kota, Stefany duduk di balkon kamarnya, memandangi layar ponsel yang tetap sepi. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan balasan.
Sejak sore ia mencoba menghubungi Stefanus, tapi nihil.
“Dia biasanya tidak seperti ini…” gumamnya pelan.
Stefany tidak tahu bahwa ayahnya sendiri memerintahkan pemburuan terhadap lelaki yang ia cintai. Baginya, Stefanus mungkin hanya sibuk atau ponselnya rusak.
Ia bahkan sempat berpikir untuk menulis pesan panjang: “Kalau kamu ada masalah, ceritakan ke aku. Jangan diam saja.”
Namun sebelum sempat mengirimkannya, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan dari ayahnya: “Besok pagi, jangan keluar rumah. Ada urusan keluarga yang harus dibereskan.”
Stefany mengernyit. Urusan keluarga? Ayahnya jarang mencampurinya dalam bisnis atau pekerjaan. Ia tidak tahu bahwa “urusan” yang dimaksud adalah perburuan yang sedang berlangsung malam ini.
Di jalanan kota, mobil-mobil hitam tanpa tanda mulai berhenti di beberapa titik. Para pria berbadan kekar turun, membawa foto Stefanus, menunjukkannya ke beberapa orang di warung, sopir taksi, bahkan penjaga parkir.
“Lihat anak ini? Pernah mampir ke sini?” suara mereka datar tapi mengancam.
Beberapa orang menggeleng cepat, ketakutan. Di kota ini, semua orang tahu siapa yang berkuasa.
Sementara itu, di sebuah jembatan tua, Stefanus bersembunyi di bawahnya, memandangi sungai yang airnya berkilau oleh cahaya bulan. Ia merasa seperti binatang buruan yang dikejar pemburu dari segala arah.Dia melangkahkan kakinya dengan gemetar dan rasa takut yang menghantuinya.
Ia tidak punya senjata. Tidak punya rencana. Hanya insting untuk bertahan hidup.