The Forgotten Princess Of The Tyrant Emperor

Para pelayan Paviliun Trianon berbaris rapi ketika Anastasia melangkah masuk. Mereka sudah terbiasa menghadapi selir-selir kaisar yang penuh tuntutan dengan meminta perhiasan, wangi-wangian dari negeri seberang, atau pesta pribadi yang menguras tenaga. Karena itu mereka sudah bersiap menghadapi perintah yang mungkin panjang dan menyulitkan.

Namun yang pertama kali keluar dari bibir Anastasia justru sederhana. “Siapkan cemilan dan buah-buahan. Aku sudah sangat lapar.”

Para pelayan saling pandang. Seorang kepala pelayan yang sudah berusia setengah baya memberanikan diri bertanya

“Apakah Putri Anastasia tidak ingin meninjau kamar utama terlebih dahulu? Atau ingin kami membawa daftar perhiasan istana yang bisa dipesan?”

Anastasia menoleh, menatap mereka dengan tenang. “Tidak perlu, kamar tidur hanyalah tempat tidur. Selama atapnya tidak bocor, aku bisa beristirahat. Dan soal perhiasan… aku tidak punya waktu untuk benda-benda yang hanya menambah berat di tubuhku.”

Beberapa pelayan hampir tersentak mendengar jawabannya. Mereka terbiasa dengan selir yang berlomba-lomba mempercantik diri untuk menarik perhatian Kaisar Lexus, namun selir baru ini bahkan seolah tidak peduli.

Para pelayan melakukan apa yang Anastasia perintahkan. Macam-macam buah-buahan segar dari dalam dan luar negeri dan cemilan berbagai tekstur dan rasa dibawa beriringan ke dalam kamar. Setelah itu ia langsung meminta mereka keluar. Ini sudah lebih dari cukup.

Anastasia tersenyum menatap makanan di atas meja. Sementara Lucia masih sedih dan memikirkan kehidupan sang putri.

Anastasia berdecak. “Ayolah Lucia, jangan tenggelam dalam kesedihan. Bertahan adalah kemenangan yang pertama. Dan kau tahu, aku benci meletakkan seseorang yang lemah di sisiku.”

Sontak Lucia langsung mengubah ekspresi wajahnya. “Mohon ampun, Putri. Maafkan atas kelalaian saya.

“Jangan bersedih lagi atau aku akan bosan melihat wajahmu. Sekarang duduk dan nikmatilah…” perintahnya.

Lucia segera duduk di depan Anastasia dan melakukan perintahnya dengan raut ketakutan. Anastasia mencicipi buah anggur yang hanya tumbuh di Agartha, rasanya sangat manis. Ia belum pernah makan buah anggur semanis ini.

Langit Imperial Agartha dihiasi bintang-bintang bersinar, namun malam itu suasana di Paviliun Trianon dipenuhi ketegangan. Menurut tradisi kuno Imperial Agartha, malam pertama seorang selir baru wajib dijalani bersama sang Kaisar sebagai tanda pengesahan pernikahan di hadapan dewa-dewa.

Para pelayan istana telah mempersiapkan air mandi bunga mawar, minyak harum dari timur, serta gaun tipis berlapis sutra putih yang hampir transparan untuk dikenakan Selir Anastasia. Namun, semua persiapan itu sia-sia. Anastasia menolak mentah-mentah. Ia malah mengenakan pakaian tertutup bahkan menambahkan selendang hitam untuk menutupi tubuhnya.

Para pelayan tentu saja ketakutan dan mencoba membujuknya, “Tolong ampuni hamba Selir, ini tradisi… jika paduka murka, nyawa bisa melayang.”

Anastasia menatap tajam pelayan yang memanggilnya selir. “Jangan panggil aku selir, aku muak menyandang gelar itu. Panggil aku Putri Anastasia saja.”

Para pelayan menggeleng pelan, menjadi selir Kaisar Lexus adalah kebanggan. “Tapi, Selir…”

Anastasia hanya menatap dingin, lalu berkata tegas.

“Biarlah nyawa melayang, tapi aku tidak akan menyerahkan tubuhku seperti barang dagangan.”

Ia mendorong pelayan keluar dan mengunci pintu kamar dari dalam. Sejujurnya Anastasia ketar-ketir, mendengar kata malam pertama membuatnya mual. Mereka bahkan sengaja membawa Lucia supaya aku sendirian, dasar Kaisar sialan.

“Yang Mulia Kaisar Lexus memasuki ruangan.” Terdengar suara pengawal melakukan penyambutan dari luar, tapi Anastasia tidak peduli.

Kaisar Lexus menegang, semua pelayan menunggu di luar. Ini jelas akal-akalan putri dari Sylvaria itu. Ia secara terang-terangan menolak seorang kaisar yang adalah suaminya di kediaman. Ini jelas penghinaan baginya, entah darimana gadis itu mendapatkan keberanian sebesar ini.

“Dobrak!” perintah Kaisar Lexus.

Perintah kaisar adalah kewajiban. Tanpa menunggu lama pengawal pribadi Lexus, mendobrak pintu kamar sang selir. Sang Kaisar tiran memasuki kamar dengan sorot mata dingin penuh wibawa. Semua pelayan menunduk ketakutan, lalu bergegas menutup pintu dan meninggalkan mereka berdua.

Lexus berdiri tegak, memandang Anastasia yang duduk santai sambil memakan anggur. Mereka memanggil dari luar bahkan sampai mendobrak pintu dan gadis ini… duduk santai sambil memakan anggur. Wah, ini sungguh luar biasa.

“Putri Anastasia,” suaranya berat. “apa kau tahu tradisi ini wajib? Tidak ada seorang pun yang bisa menolak titah Kaisar Agartha.”

Anastasia mendongak, menatap langsung ke mata sang tiran. Ia berkata dengan suara dingin yang tajam bagaikan bilah pedang.

“Aku jijik… Tubuhmu sudah celup di lima selir, lalu sekarang kau ingin mencelupku juga hah? Dasar kaisar serakah.”

Kata-kata itu bagaikan petir yang membelah langit malam. Harga diri seorang Kaisar yang tak pernah ditolak hancur seketika. Urat di pelipis Lexus menegang, matanya menyala penuh murka.

Tak pernah ada wanita yang berani berbicara demikian kepadanya.

Amarah Kaisar Lexus memuncak. Suaranya menggelegar dalam keheningan kamar, “Berani sekali kau menghina kehormatan Kaisar Agartha!” Ia melangkah cepat, menyambar tangan Anastasia dan mendorongnya ke ranjang berkanopi emas yang megah.

Namun yang tak ia duga, Anastasia sama sekali tidak pasrah. Ia mendorong balik dengan tenaga penuh, hingga sang Kaisar hampir kehilangan keseimbangan.

“Jangan kira aku wanita lemah yang bisa kau perlakukan sesukamu,” desis Anastasia dengan mata berkilat.

Lexus tertegun sepersekian detik. Tak pernah ada wanita, yang berani melawan tenaganya. Rasa penasaran bercampur kemarahan membuatnya semakin ingin menaklukkannya.

Maka pertarungan pun pecah. Bukan dengan pedang, melainkan dengan tubuh dan kekuatan. Lexus berusaha menundukkan Anastasia, namun tinggal sepuluh tahun di hutan membuat gadis itu tangkas. Ia menangkis genggaman tangan, menyikut dada sang Kaisar bahkan sempat menjatuhkan tirai ranjang hingga ruangan menjadi berantakan.

Deru napas mereka berpacu, lantai kediaman retak oleh benturan tubuh dan meja perunggu tempat semilan Anastasia kini dalam posisi terbalik. Para pengawal yang berjaga mendengar kegaduhan itu dari luar. Mereka hanya bisa saling pandang satu sama lain dengan pipi yang merona merah. Sepertinya sang kaisar sedang menikmati waktunya dengan selir yang baru.

Setelah hampir setengah malam, keduanya sama-sama terengah karena kelelahan. Tidak ada yang benar-benar menang. Keduanya berbaring di atas tempat tidur dengan dada naik turun dan napas tak beraturan.

“Wanita sialan,” gumam Lexus, suaranya rendah namun mengandung kekaguman yang tak ingin ia akui.

Anastasia hanya membalas dengan lirikan dingin lalu membelakangi sang Kaisar. “Aku tidak akan pernah jadi salah satu boneka selirmu,” katanya pelan, lalu memejamkan mata.

Lexus menatap punggungnya lama, namun dalam diam lahir sebuah rasa penasaran yang jauh lebih kuat daripada amarah. Ia sendiri tak sadar kapan akhirnya tertidur di ranjang yang berantakan itu.

Malam pertama mereka bukanlah malam penuh kelembutan atau malam yang penuh desahan seperti yang dibayangkan banyak orang melainkan duel kehormatan mempertaruhkan harga diri masing-masing antara seorang kaisar tiran dan putri yang sempat terlupakan di hutan.