Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Siapa yang pandai bermain seperti ini?
Lorong rumah sakit dingin dan berbau antiseptik. Lampu neon memantul di lantai keramik, langkah kaki terdengar bergema dua pria berdiri berhadapan, napas masing-masing masih berat. Shaka mengepalkan tangannya, wajahnya tegang tapi suaranya nyaris tenang ketika berbicara.
“Aku sudah bilang ... aku tidak akan menceraikan Amara. Bukan sekarang, bukan selamanya.” Nada itu bukan ancaman, tapi itu tekad yang keluar dari rasa bersalah dan penyesalan.
Zico melotot, rahang menegang.
"Anda bilang begitu, tapi Anda juga yang mempermalukannya di depan orang banyak. Anda pikir kata-kata cukup? Anda harus bertanggung jawab bukan hanya dengan kata, tapi dengan tindakan nyata.”
Shaka menatap tajam. “Aku tahu, aku akan buktikan ... cukup, jangan bilang aku tidak peduli.”
Perdebatan itu menguar tegang sampai suara langkah lembut di belakang membuat mereka berhenti sejenak. Karina muncul di ujung lorong, wajahnya pucat, bibirnya merapikan kata-kata yang sudah ia siapkan.
“Mas Shaka … aku minta maaf atas semua yang terjadi. Aku...” katanya tersendat, mencoba nada lemah lembutnya yang biasa. Tapi kali ini Shaka sama sekali tak lagi memberi ruang untuk sandiwara. Matanya membara. Dalam sekejap amarah yang selama ini menumpuk tumpah.
“Cukup, Karina!” bentaknya keras, suaranya memantul ke dinding. “Aku muak dengan drama dan dustamu. Jangan lagi pura-pura lemah di depanku!” Ia melangkah cepat pergi, meninggalkan Karina terhenyak di lorong. Zico melirik ke arah Shaka yang menjauh, lalu berbalik menatap Karina dengan dingin yang membuat darah beku.
“Dengar baik-baik,” suaranya rendah namun mengandung ancaman, “kalau kau berani menyentuh Nona Amara lagi, atau bermain permainan kotor apa pun terhadapnya ... aku yang akan turun tangan. Bukan ancaman kosong. Aku yang jaga dia, dan aku tidak ragu untuk menghancurkan seseorang,”
Lalu Zico pergi juga, langkahnya panjang dan tegas. Karina tetap berdiri di sana, bahu gemetar, lalu tangannya mengepal erat. Matanya memerah bukan hanya karena malu tapi karena cemburu dan harga diri yang terluka. Di bibirnya tersungging sekilas rencana yang belum diketahui orang lain.
Keesokan paginya, langit tampak mendung di atas kediaman keluarga Wirantara. Embun masih menempel di dedaunan taman ketika Karina melangkah keluar dari rumah dengan mengenakan mantel krem dan kacamata hitam. Senyumnya kecil, puas, seolah semua yang terjadi kemarin hanyalah permainan kecil yang belum usai.
Namun baru beberapa langkah dari gerbang, suara deru mobil berhenti mendadak di depannya. Sebuah mobil hitam tanpa plat resmi menutup jalan keluar. Karina sempat mundur selangkah, napasnya tercekat. Pintu mobil terbuka, dan lima pria berpakaian hitam keluar dengan langkah cepat.
“Siapa kalian?! Apa yang kalian...” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, dua di antaranya langsung mencengkram lengannya kasar.
“Lepas! Lepaskan aku!” teriak Karina panik. Ia mencoba melawan, tapi tenaganya jauh kalah. Salah satu pria menutup mulutnya dengan kain hitam, sementara yang lain membuka pintu mobil dan mendorongnya masuk.
Dari beranda atas, Tuan Wirantara baru saja hendak berangkat ke kantor ketika melihat pemandangan itu. Wajahnya seketika pucat.
“Karina!” teriaknya lantang, berlari menuruni tangga sambil memanggil pengawal. Namun mobil itu sudah melaju kencang menuruni jalan perbukitan, meninggalkan jejak ban di tanah basah.
Beberapa detik kemudian, pengawal-pengawal rumah berhamburan keluar, tapi semuanya terlambat.
Tuan Wirantara menahan napas, tangannya gemetar saat mengambil ponsel dari saku jasnya. Ia segera menekan nomor Shaka.
“Shaka! Karina ... Karina diculik!” suaranya terbata, panik, napasnya terengah. “Aku melihatnya sendiri! Lima orang, mobil hitam tanpa plat ... mereka membawanya ke arah jalan selatan!”
Di ujung telepon, Shaka yang tengah berada di ruangannya langsung berdiri, kursinya terjungkal ke belakang.
[Apa?!] suaranya meninggi. [Ayah yakin itu penculikan?]
“Dia berteriak, Shaka! Mereka menyeretnya!”
Tanpa menunggu lagi, Shaka langsung menutup telepon, wajahnya berubah tegang. Ia menatap Haris yang berdiri di depan meja.
“Haris, cepat siapkan tim keamanan. Lacak semua rekaman CCTV di radius sepuluh kilometer dari rumah.”
Haris langsung bergerak cepat, menekan earpiece-nya.
“Baik, Pak. Kita mulai dari arah jalan selatan.”
Sementara itu, Shaka menatap layar ponselnya yang masih menyala dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat antara rasa bersalah pada Amara dan kini ketakutan akan kehilangan Karina yang sudah seperti adik sendiri. Namun jauh di dalam hatinya, ada firasat aneh sesuatu tentang penculikan ini terasa tidak biasa. Seseorang sedang mengirimkan pesan pada keluarga Wirantara. Dan Shaka tahu pesan itu mungkin ditujukan padanya.
Langit siang itu mendung pekat. Di ruang kontrol keamanan Wirantara Air, suasana tegang terasa menyesakkan. Puluhan layar menampilkan cuplikan CCTV dari berbagai titik kota namun sejauh ini belum ada tanda-tanda mobil hitam tanpa plat yang disebutkan Tuan Wirantara.
Shaka berdiri di depan layar utama, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Matanya tajam, menatap setiap rekaman dengan rahang mengeras. Di belakangnya, Haris sibuk memberi instruksi kepada tim pelacak.
“Semua jalur keluar dari kota sudah kami blokir, Kapten. Polisi juga sudah menerima laporan resmi,” lapor Haris cepat. “Tapi sejauh ini … belum ada hasil.”
Shaka tidak menjawab. Pandangannya masih fokus pada layar. “Perbesar rekaman di gerbang barat,” ujarnya pendek.
Beberapa detik kemudian, gambar diperbesar. Terlihat jelas mobil hitam melintas cepat, jendelanya tertutup rapat. Wajah Karina tampak samar di kursi belakang, berusaha menendang kaca sebelum seseorang menariknya paksa.
Shaka menarik napas panjang, menahan amarah dan rasa bersalah yang bergemuruh di dadanya. “Temukan mobil itu, Haris. Aku tidak peduli bagaimana caranya.”
“Baik, Kapten.”
Tepat saat itu, pintu ruang kontrol terbuka. Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap yaitu Zico. Dengan ekspresi dingin, ia menatap Shaka yang langsung menoleh, pandangannya tajam.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Shaka keras.
Zico menyilangkan tangan di dada. “Aku datang karena Nona Amara menyuruhku memastikan tidak ada yang terjadi pada keluarga Wirantara.”
Nada bicaranya tenang tapi menyiratkan peringatan halus. “Dan sepertinya aku datang di waktu yang tepat.”
Shaka mengepalkan tangan. “Ini urusan keluargaku, Zico. Aku tidak butuh bantuanmu.”
Zico mendekat selangkah, menatap Shaka tepat di mata. “Kau tidak butuh bantuanku? Padahal orang yang menculik adikmu itu mungkin adalah orang yang sama yang dulu menyerang jalur penerbanganmu.” Ucapan itu membuat Haris menoleh cepat.
“Apa maksudmu?”
Zico menatap layar CCTV yang menampilkan plat mobil palsu. “Gaya operasi, metode penculikan, bahkan model mobilnya. Semuanya mirip dengan modus kelompok Zane Krueger ... orang yang pernah mencoba memaksa akses distribusi udara Wirantara.”
Shaka menatapnya tajam. “Bagaimana kau tahu itu?”
“Karena kami sudah menyelidikinya sejak seminggu lalu,” jawab Zico tenang. “Nona Amara mencium sesuatu yang janggal sejak insiden penerbangan terakhir. Dan dia yakin seseorang dari dalam perusahaan ikut bermain.”
Kata-kata itu membuat udara seolah membeku. Haris menelan ludah, sementara Shaka perlahan mendekat, suaranya rendah tapi menekan.
“Jangan menuduh tanpa bukti, Zico.”
Zico tersenyum miring. “Aku tidak menuduh, Kapten. Aku hanya mengingatkan ... musuhmu tidak datang dari luar saja.”
Tepat di saat itu, ponsel Shaka berdering keras. Nama Tuan Wirantara muncul di layar. Shaka segera mengangkatnya.
“Ya, Ayah?”
[Shaka, pihak penculik menghubungi Ayah!] suara Tuan Wirantara berat dan tegang. [Mereka menuntut akses penuh ke jalur penerbangan kargo Wirantara Air … atau mereka akan...]
Suaranya terputus sesaat, terdengar desahan cemas di ujung sana.
“Apa? Katakan, Ayah!” desak Shaka.
[Atau mereka akan kirim potongan video sebagai bukti kalau Karina masih hidup.]
Ruangan itu hening seketika, Haris menatap Shaka dengan wajah pucat, sementara Zico hanya menghela napas pelan dan berkata dingin,
"Ancaman seperti itu sudah biasa," katanya seraya tersenyum, namun Shaka langsung marah menatap Zico tajam.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya