"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15. Keceplosan
Final check yang dilakukan Danu tidak lah terlalu ribet, hanya memastikan beberapa hal yang sejatinya sudah diatur dengan baik oleh Event Organizer. Jadi Danu secara tidak langsung hanya temu kangen dengan beberapa simpatisan yang sengaja hadir hari ini mengingat ada pemberitahuan kalau Danu akan mengunjungi venue.
Namun, agenda itu berlangsung sampai sore. Danu yang tidak ingin pulang kemanapun, akhirnya mengemudi sendiri melintasi jalan-jalan kota, mengawasi rumah Beby—menelponnya juga, meski tidak dijawab, menuju kantor Beby yang telah sepi, lalu terakhir berhenti disebuah warung bakso untuk mengisi perut. Disana, segerombolan anak muda tengah menikmati waktu sepulang kerja untuk nongkrong dan ngobrol bareng. Tampak sangat menyenangkan, Danu pun sedikit terhibur meski hanya melihatnya.
"Kasih sambal lagi, Beb?"
"Yakin kamu nambah seporsi lagi? Itu kamu lagi depresi apa kelaparan?"
"Beby patah hati berat beneran, Guys!"
"Pak, bungkus 2 ya, kuah dipisah!"
Danu seketika berhenti dan menoleh ke arah mereka yang kini tertawa-tawa, menertawakan yang dipanggil Beby tadi yang saat ini asyik menunduk menikmati bakso.
"Aku harus makan banyak biar malam gak keluar-keluar lagi! Kapok kemarin diikuti orang, dan semalam ...," cerita Beby saat berhenti menyuap, menatap satu per satu temannya, "semalam kayak ada orang yang memata-matai, sepertinya mengincar rumahku!"
"Hati-hati, Beb ... kamu nggak ingat kasus di Mojokerto kemarin?"
"Ish, kalian pada nakutin!" Beby kesal. "Semalam aku pengen kerumah kalian, tapi boro-boro gerak, napas aja aku nggak berani!"
"Jadi kamu dirumah ngapain kalau gitu?"
"Aku kan awalnya udah tidur, pas denger mobil berhenti dan motor juga berhenti, aku langsung masuk ke selimut, nutup kuping! Bodo amat lah mereka mau ngapain, aku pokoknya diam di kamar! Kayaknya, Minggu aku balik ke desa deh, mau pulang pergi aja dari sana!"
"Kamu nggak ngintip siapa di luar?"
Beby menggeleng. "Mungkin saja Revan, tapi entahlah, suaranya juga aku nggak kenal! Bisa jadi orang iseng, tapi aku masih trauma!"
"Sementara ini, aku temenin kamu di rumahmu gimana, Beb?" tawar seorang teman yang pipinya chubby, Moa namanya.
"Pasti ada maunya ni anak!" timpal yang lain curiga.
"Hehehe, desaku mati listrik dari kemarin karena gardu listriknya meledak, longsor dan banyaknya pohon tumbang. Jalan ke rumahku masih belum dilalui di beberapa titik, semalam aku nginep di hotel, tapi nanti malam aku ke rumah Beby aja!" Moa nyengir untuk meminta persetujuan Beby. "Boleh ya, Beb, nanti kita bawa pentungan kalau ada orang yang iseng!"
"Eh, ngapain bawa pentungan? Beby punya stok lilin jumbo di bawah mejanya!"
"Ha? Serius? Buat apa?"
"Biasa, bekas daerah terpencil yang buntu, masih banyak pohon besar, pasti sering mati listrik, hujan deres dikit terendam banjir! Beby jaga-jaga kalau mati lampu, dia kan takut gelap! Kamu tau lampu kamarnya aja udah mirip lampu pasar malam!"
"Kirain buat berfantasi yang tidak-tidak, Beb! Secara, lilin jumbo itu kalau aku yang pegang udah berasa pegang yang lain—hahaha!"
Semua orang tertawa mendengar itu. Tawa memecah begitu lugas seolah tidak ada beban di sana.
"Dasar kalian ngaku aja single, yang begituan tau semuanya!
"Tapi kan, aku bilang juga apa, rumah DP nol persen, dicicil 15 tahun itu apa yang mau diharapkan? Cluster? Hahaha ...!"
"Aku udah saranin, Beb ... mending sewa apart aja, biar mahal dikit kan aman dari banjir dan dimakan semut!"
"Mana jomblo lag—ups!"
Seketika empat orang itu terdiam dan menatap Beby penuh permohonan maaf.
"Beb ...," kata Moa pelan seraya mengambil tangan Beby yang menghentikan makannya. "Kamu boleh kok nangis, jangan sok kuat kaya gini! Kami justru bingung mau gimana ke kamu, atau ceritakan gimana perasaan kamu."
Beby meletakkan tangannya yang berisi sendok ke meja. Menatap temannya satu-satu. "Gak ada yang aku rasakan, sih ...."
Beby menghela napas, memilih kalimat yang akan ia katakan pada mereka semua yang selama beberapa hari ini tidak banyak bertanya tapi mengajaknya bicara terus.
"Oke, aku masih sering nangis kemarin, masih sakit hati juga sampai sekarang, tapi kalian tau tidak, kalau ada yang lebih membuatku sakit hati maupun melupakan kemarahan aku ke Revan? Bukan sakit hati lagi, tapi kaya merasa direndahkan gitu!"
"Ada emang yang lebih buruk dari diselingkuhin sebelum hari pernikahan?" Moa berceloteh polos.
"Ada, dan itu aku alami!" Beby menegaskan ucapannya. "Intinya, aku sakit hati dan pengen mati aja pas tau Revan selingkuh, kaya apasih salahku? Kurang apa sih, aku? Tapi, ketika menerima satu hal tak terduga ini, aku merasa aku lebih baik hidup dan bikin mata mereka sepet! Aku ingin membuat mereka semua kalah hanya dengan melihat aku baik-baik saja! Ngerti nggak?"
Semua orang termasuk Danu menganggukkan kepala. Dia mendengarkan semua itu secara intens dan tekun sampai membuat bibirnya mampu tersenyum.
"Jadi, aku tidak mau larut dalam kesedihan, walau terdengar klise sih, tapi ya lihat Revan mohon-mohon sama aku itu rasanya keindahan tersendiri! Meski dia akan menikah sama Clara tak lama lagi, tapi aku akan buat dia menyesal memilih Clara!"
"Clara?" Zizah yang dari tadi diam akhirnya bersuara. "Anaknya Pak-Pak ... Pak ... itu!" tunjuknya dengan suara sedikit rendah.
Beby menoleh spontan tanpa beban, bahkan tanpa ekspektasi akan melihat yang disebut Bapaknya Clara disini.
"Oh, MY God!" Beby menutup mulutnya.
"Beby!" teriak Zizah, seraya menarik tangan Beby agar Beby menghadapnya lagi. "Jadi Revan main sama Clara?"
Moa refleks menampik pundak Zizah. "Kok kamu baru tau? Aku udah tau dari kemaren-kemaren!"
"Masa kalian udah tau? Beby kasih tau kalian dulu?"
Spontan mereka menggeleng bersamaan.
"Lalu?" Zizah masih bengong karena cengo.
"Kami lihat Clara ke kantor kemarin siang pas Beby udah keluar buat makan siang sama kamu."
"Oh ... jadi kamu masih diam aja?"
"Zah, bisa kecilkan tidak suaramu? Pak Danu kesini tauk!"
Mereka—kecuali Beby—kembali menoleh, dan melihat si pria matang tampan rupawan memang berjalan mendekat. Pun dengan nampan bakso yang sedianya akan ditempatkan di meja Danu, kini ikut mengarah ke meja mereka yang memang cukup panjang.
Beby melotot tanpa bisa bernapas sedikitpun. "Ngapain dia kesini, sih?" gumamnya sambil meringis. "Pura-pura nggak kenal saja, lah."
Beby seketika menarik napas dalam lalu mengeluarkan senyum paling manis.
"Makan bakso juga, Pak?" sapa Moa seolah Danu adalah rekan kerja mereka.
"Iya, boleh gabung?"
Zizah dan Moa saling pandang, lalu mengangguk. "Silakan!"
Danu duduk tepat di sebelah Beby yang dikosongkan yang lain mengingat tempat itu paling dekat dengan posisinya. Yang lain memberi tempat dengan menggeser tubuh mereka, tapi Beby tidak. Anak itu kaku seperti pohon. Bahkan isyarat dari temannya tidak mampu Beby baca sama sekali.
Beby kalau terlalu tegang biasanya tumpul.
"Ya ampun, kirain orang ganteng gak makan bakso," celetuk Moa lagi ketika Danu melirik Beby yang masih kaku meski senyumnya mirip orang sakit gigi.
Danu tersenyum menanggapi. "Udah dibayar belum?"
Spontan mereka menggeleng.
"Nanti saya bayar semuanya," lanjut Danu santai.
"Oh, ya, kenalin Pak ... saya Moa, warga di dapil Bapak, nanti saya pilih Bapak kok! Nggak usah kuatir, Pak."
Mereka semua berkenalan dengan Danu satu-satu. Namun saat giliran Beby, Danu tersenyum lebih dulu.
"Saya Beby, Pak ... senang bertemu Bapak."
"Semalam aku ke rumahmu, katanya kamu lagi keluar kota?"
Ucapan Danu yang tidak pernah diduga oleh semua orang itu, membuat siapapun kaget. Ini ayahnya Clara, kenapa malah tampak akrab?
"Saya nungguin kamu lama banget loh di luar!"
Bahkan Zizah sampai menumpahkan baksonya saking kaget melihat interaksi mereka berdua. Ini bukan yang mereka pikirkan sama sekali.
Danu hanya tersenyum melihat semua itu, justru menyerahkan lap ke depan Zizah.
"Emang salah kalau kami kenal dekat?"
Semua orang menggelengkan kepala.
Danu lagi-lagi tersenyum. "Kami sud—"
Tangan Beby spontan melayang ke mulut Danu, mukanya tampak tegang menatap temannya sambil menggelengkan kepala.
"Ka-ka-kami tidak punya affair—kami sudah nikah sah!"
Beby membeliak lebar menyadari bibirnya yang ember. Ia lalu menutup mulutnya sendiri memakai tangan yang baru saja dipakai untuk menutup mulut Danu.
Astaga, mulut!
sampai Danu mencerailan mila dan clara sadar diri bahwa dia hanya anak sambung yg menyianyikan kasih sayang ayah sambungnya 💪
mila mila sombongnya tdk ketulungan sm Danu
merasa dulu cantik anak pejabat