“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 - TOLONG SELAMATKAN DIA DOKTER
Pagi itu,
Kesibukan di rumah sakit membuat langkah Xia terasa cepat dan teratur. Dia lagi-lagi menarik nafas, dan sedikit berpikir, akan tatapan yang ia lihat semalam.
Namun tiba-tiba, seseorang berlari dari arah berlawanan hingga nyaris menabraknya. Seorang wanita paruh baya, napasnya tersengal, tubuhnya tampak gemetar.
Xia segera menahan tubuh wanita itu. “Bibi, kau baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Wanita tua itu menatap Xia, matanya berkaca-kaca seolah menemukan secercah harapan.
“Tolong… tolong cucuku…” katanya terbata, suaranya bergetar.
“Dia… dia di sana. Tapi dokter dan perawat menolak memeriksanya… karena aku tak punya uang. Aku janji, setelah kalian memeriksanya, aku akan membayar. Aku mohon…” Xia menoleh, matanya menyapu ruangan.
Beberapa orang hanya berdiri, menatap tanpa berbuat apa pun. Para perawat di dekatnya terlihat ragu.
Dengan nada tegas, Xia berteriak, “Apa yang kalian tunggu? Cepat lakukan apa yang dia minta! Bawa pasiennya ke IGD sekarang juga!”
Suasana langsung berubah tegang.
Para perawat pun segera bergerak.
Xia menatap kembali wanita tua itu, suaranya melunak. “Tenanglah, Bibi. Aku akan memeriksanya sendiri.”
Wanita itu hendak berlutut sambil mengucapkan terima kasih, namun Xia segera menahannya.
“Tidak perlu seperti itu, Bibi. Bangunlah. Yang penting sekarang, kita selamatkan cucumu.”
Ia lalu memberi instruksi cepat. “Cepat, bawa gadis kecil itu ke ruang perawatan!”
Tanpa ragu, para perawat mengikuti perintahnya. Xia pun bergegas menyusul, langkahnya mantap dan penuh tekad.
Di ruang perawatan darurat, aroma obat dan desinfektan terasa tajam menusuk hidung. Seorang gadis kecil terbaring di atas ranjang, tubuhnya pucat, bibirnya membiru. Tubuh mungil itu tampak lemah, seakan berjuang antara sadar dan tidak.
“Tekanan darahnya turun drastis!” seru salah satu perawat sambil memeriksa alat monitor.
Xia segera mengenakan sarung tangan, matanya fokus penuh. “Siapkan infus! Cek kadar oksigennya, cepat!”
Tangannya bergerak cekatan, menekan perut si gadis kecil dengan lembut, memeriksa denyut nadinya.
“Dia kehilangan banyak cairan… sepertinya sudah lama demam tinggi,” gumam Xia lirih namun tegas.
Wanita tua yang tadi ia temui berdiri di sudut ruangan, memegangi dadanya sambil menatap dengan cemas.
“Tolong selamatkan dia, Dokter… dia satu-satunya keluarga yang aku punya.”
Xia menatap sekilas, mata mereka bertemu seolah memberi janji tanpa kata.
“Aku akan berusaha sekuat yang aku bisa,” ucapnya mantap.
Beberapa menit berlalu, hanya suara alat medis dan langkah cepat para perawat yang terdengar.
Keringat menetes di pelipis Xia, namun ekspresinya tetap tenang. Setiap gerakan penuh perhitungan.
Saat ia menyuntikkan cairan penurun panas, monitor tiba-tiba berbunyi nyaring.
“Detak jantung menurun!” seru perawat.
Xia langsung bereaksi cepat, menekan dada gadis kecil itu sambil memberikan instruksi.
“Ambil defibrilator! Satu… dua… tiga—”
Cahaya kilat dari alat itu menyambar, membuat semua orang menahan napas.
Beberapa detik hening.
Lalu, bunyi beep... beep... beep... terdengar stabil.
Suasana tegang seketika berubah menjadi lega.
Perawat menatap Xia dengan kagum.
“Detaknya kembali, Dokter.”
Xia menghela napas panjang, menatap gadis kecil itu yang kini tertidur tenang.
“Pastikan suhu tubuhnya stabil. Jangan biarkan dia sendirian,” ucap Xia pelan.
Wanita tua itu langsung berlutut, menangis terisak. “Terima kasih… terima kasih, Dokter…”
Namun Xia segera menunduk dan membantu wanita itu berdiri.
“Tidak perlu berterima kasih, Bibi. Kesehatan bukan tentang uang. Tak seorang pun berhak ditolak hanya karena tidak mampu membayar.”
Wanita itu menatapnya dengan air mata yang jatuh tanpa henti.
“Kalau dunia ini punya lebih banyak orang seperti Anda, mungkin tidak akan ada yang perlu takut jatuh sakit…”
Xia terdiam sejenak. Kalimat itu menembus hatinya, mengingatkannya pada sesuatu, pada masa kecilnya yang juga kehilangan seseorang. Yaitu orang tuanya. Dia hanya ingin memberi pahala untuk kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Matanya menatap jauh, penuh makna.
“Kadang… kita hanya perlu satu kesempatan untuk menyelamatkan hidup seseorang,” katanya lirih, sebelum berjalan keluar dari ruangan dengan langkah yang tenang.
Tanpa Xia sadari, sejak awal kejadian itu, sepasang mata memperhatikan setiap gerakannya dari balik kaca ruang observasi. Tatapan itu tajam namun tenang, milik seseorang dengan jas hitam, berdiri di sisi kepala ruangan.
Sosok itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatap Xia yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa gadis kecil itu.
Ketika suasana mulai tenang, sosok itu perlahan melangkah pergi, meninggalkan ruangan sebelum Xia sempat menoleh.
Beberapa jam kemudian, Xia dipanggil ke ruang direksi rumah sakit.
“Dokter Yang Xia.” Suara dingin Direktur Zhang memecah keheningan.
Pria itu menatapnya dari balik meja besar berlapis kaca, ekspresinya kaku.
“Kami sudah menerima laporan bahwa kau melakukan tindakan medis pada pasien yang tidak memiliki data pembayaran.”
Xia berdiri tegak. “Ya. Tapi pasien itu dalam kondisi darurat. Jika aku menunggu data administrasi, dia mungkin sudah—”
“—meninggal?” potong sang direktur tajam. “Rumah sakit ini bukan yayasan amal, Dokter Yang. Setiap tindakan punya biaya operasional, dan kau tidak memiliki otoritas untuk menyalahi prosedur.”
Xia menunduk sebentar, namun matanya tidak kehilangan sorot keteguhan. “Aku tidak bisa menolak pasien dalam kondisi kritis hanya karena selembar formulir belum diisi.”
Direktur Zhang menghela napas berat, menatapnya dengan ekspresi sulit diterjemahkan.
“Kau idealis, Dokter Yang. Tapi dunia ini tidak bergerak dengan idealisme.”
Xia hanya membalas dengan suara tenang, “Tapi nyawa seseorang bukan angka.”
Suasana hening sejenak. Ketegangan di antara mereka menggantung di udara. Sebelum Direktur sempat menambahkan kata lain, seorang perawat berlari masuk dengan napas tersengal.
“Maaf, Direktur! Dokter Xia, gadis kecil itu sadar!”
Xia langsung menoleh.
Tanpa menunggu izin, ia bergegas meninggalkan ruangan.
Di kamar perawatan, gadis kecil itu sudah membuka mata, menatap sekeliling dengan pandangan lemah.
Xia mendekat dan tersenyum lembut. “Hei, bagaimana perasaanmu?”
Gadis kecil itu menggenggam ujung jas putih Xia.
“Apakah… kau malaikat?” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Xia menunduk, menahan emosi yang tiba-tiba menghangat di dadanya.
“Bukan, Sayang. Aku hanya seseorang yang ingin memastikan kau bisa tersenyum lagi.”
Wanita tua itu menangis lagi, kali ini karena lega.
Dan di koridor luar, sosok berjas hitam yang tadi mengamati, berhenti sejenak sebelum berbalik.
Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Menarik,” gumamnya pelan. “Dokter yang melanggar aturan demi nyawa orang lain…”
..
Xia menutup pintu ruangannya perlahan. Ruangan itu sunyi, hanya suara lembut pendingin udara yang terdengar. Ia baru saja hendak duduk ketika langkah cepat seseorang terdengar dari luar.
Seorang pria muda muncul di ambang pintu, wajahnya tegang.
“Nona…” panggilnya, menatap Xia dengan gelisah.
Xia menatapnya sekilas, lalu menarik napas dalam. “Masuklah, Xuan. Kau tidak ingin membuat keributan di koridor, bukan?”
Pria muda itu, Feng Xuan, asisten pribadinya yang sudah bersamanya sejak lama, menelan ludah gugup dan melangkah masuk. Begitu pintu tertutup, suaranya langsung berubah menjadi nada marah tertahan.
“Nona, apa kau benar-benar akan membiarkan direktur sialan itu mencelamu seperti tadi?!” serunya pelan tapi tajam.
“Kau seharusnya menunjukkan siapa kau sebenarnya! Agar dia tahu dengan siapa dia berhadapan.”
Xia memandangnya tenang, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang tidak sampai ke mata.
“Sudahlah, Xuan,” ucapnya lembut.
“Bukankah itu justru lebih baik? Jika dia bersikap semena-mena, berarti identitasku masih aman.” Xuan menghela napas kasar, menatap bosnya dengan rasa frustrasi yang tak disembunyikan.
“Tapi, Nona… mereka memperlakukanmu seolah kau bukan siapa-siapa. Padahal—”
“Cukup.” Nada suara Xia berubah tegas, tapi tetap tenang. Ia berdiri, menatap Xuan dengan tatapan yang membuat pria itu menunduk.
“Selama aku masih bisa menyelamatkan nyawa orang tanpa diketahui siapa aku sebenarnya, aku akan tetap melakukannya,” ucap Xia pelan.
“Aku tidak butuh nama keluarga atau status untuk menegakkan sumpah seorang dokter.”
Xuan terdiam, lalu menunduk hormat. “Seperti yang Anda mau, Nona.”
Xia berjalan ke arah jendela, menatap taman rumah sakit yang sama di mana kemarin ia menolong wanita tua itu. Cahaya sore menembus kaca, membingkai sosoknya dengan kehangatan samar.
“Dunia tidak perlu tahu siapa aku,” gumamnya lirih.
“Cukup mereka tahu… aku ada untuk menolong.”