Clarisa Duncan hidup sendirian setelah keluarganya hancur, ayahnya bunuh diri
sementara ibunya tak sadarkan diri.
Setelah empat tahun ia tersiksa, teman lamanya. Benjamin Hilton membantunya namun ia mengajukan sebuah syarat. Clarissa harus menjadi istri, istri kontrak Benjamin.
Waktu berlalu hingga tiba pengakhiran kontrak pernikahan tersebut tetapi suaminya, Benjamin malah kecelakaan yang menyebabkan dirinya kehilangan ingatannya.
Clarissa harus bertahan, ia berpura-pura menjadi istri sungguhan agar kondisi Benjamin tak memburuk.
Tetapi perasaannya malah semakin tumbuh besar, ia harus memilih antara cinta atau menyerah untuk balas budi jasa suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nula_w99p, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Clarissa membuka pintu kamar mandi, ia menenangkan diri sebentar di sana sambil kembali memikirkan kemungkinannya keberadaan benda itu, kontrak pernikahan mereka.
Karena Benjamin selalu berada di ruang kerja saat di rumah, mungkin ia memang menyimpannya di sana. Sepertinya malam ini ia akan melancarkan aksinya, mencari dokumen tersebut.
Clarissa kian mendapati Ben tidak ada di meja makan, dia juga tidak terlihat di sofa dekat televisi maupun di kolam renang.
"Ben? Benjamin, kamu di mana!" Clarissa lalu menaiki tangga, jangan bilang dia pergi ke ruang kerja miliknya.
Clarissa mendapati Ben yang akan membuka pintu ruang kerja, "Ben kamu kenapa ke sini?"
"Aku penasaran dengan ruangan ini, memangnya kenapa? Tidak boleh ku masuki?" Ben menghentikan aksinya, membuka pintu kamar itu.
"Nanti saja, aku sebenarnya sudah buat jadwal kita hari ini. Aku sudah menyiapkan album foto masa kecil kita, apa kamu tidak penasaran dengan dirimu di masa kecil?" Clarissa bernafas lega bisa menghentikan Ben sebelum masuk ke sana. Ia kini punya kegiatan lain yang bisa mengalihkan perhatian Ben dari ruang kerja.
"Album foto? Kelihatannya menarik, aku mau lihat." Benjamin menunjukan ketertarikannya, akhirnya Clarissa berhasil dengan idenya.
"Di dekat televisi, ayo kita ke bawah." Clarissa menggandeng tangan kiri Ben dan melangkah perlahan, agar Ben mau mengikutinya.
Keduanya tiba di lantai bawah dan Clarissa menghentikan Ben mengikuti langkahnya, "duduk saja di sini." Clarissa menyarankan Ben untuk duduk di sofa yang tak jauh dari televisi.
Kemudian dirinya mencari di laci-laci yang menopang televisi di rumahnya, setelah laci ke enam ia buka akhirnya foto album masa kecil keduanya terlihat.
Album ini sebenarnya milik Anna, Ibu Benjamin. Ia bilang album ini lebih baik di simpan oleh putranya dan menantunya. Sebagai kenang-kenangan dari masa kecil mereka. Mengenang kembali masa kecil bahagia dari keduanya. Tapi Clarissa tak memberitahu album ini pada Benjamin selama dua tahun ini, bukan tidak mau tetapi tidak sempat memberitahukan padanya. Benjamin selalu sibuk dengan pekerjaannya, saat di rumah pun selalu mengurung diri di ruang kerja.
Banyak foto dirinya yang sangat-sangat tidak mau ia tunjukkan pada Benjamin namun lebih baik malu dengan dirinya di masa lalu daripada harus memasuki ruang kerja yang terlalu beresiko untuk kesembuhan Ben.
"Ini dia," Clarissa duduk di sebelah Ben sambil meletakan album itu di paha miliknya.
"Bukalah, aku penasaran sekali melihat istriku saat kecil." Benjamin tak sabar melihat Clarissa menunjukan kenangan indah mereka berdua di masa kecil.
"Apa kamu tidak penasaran dengan dirimu sendiri?" Clarissa bertanya dengan sedikit antusias, selain banyak foto-foto dirinya yang tak bagus. Banyak juga foto Benjamin yang tertangkap sedang melakukan perbuatan jail atau foto dirinya dengan tubuh kotor.
"Tentu saja penasaran tapi aku lebih penasaran dengan wajah mungil istriku saat kecil, rindu sekali. Pasti kamu merindukan masa kecil, saat itu kita tak perlu memikirkan apapun selain bermain. Kata orang sih begitu."
Clarissa tertawa kecil, Ben berkata seolah-olah sudah banyak mengobrol dengan banyak orang. Orang yang berbicara dengannya setelah kehilangan ingatannya mungkin hanya bisa di hitung jari. Dari mana ia mendengar hal tersebut.
Clarissa kembali fokus pada album foto di genggamnya dan membuka album tersebut. Di halaman pertama menampilkan beberapa foto Ben yang sedang memegang seekor kepiting di pantai, ia tersenyum gembira dan bangga dengan apa yang di dapatkan olehnya.
Clarissa tertawa dan menunjuk foto tersebut, "lihat ini, kamu lucu sekali." Ben memalingkan wajahnya, entah mengapa dia malah melakukan itu.
"Memang lucu, ayo kita lihat yang selanjutnya." Ben mendekatkan dirinya lebih dekat lagi dengan Clarissa hingga tubuh mereka saling menempel.
Clarissa tak bisa begini, ia ingin menjauhkan diri sedikit tetapi tidak mungkin. Dia takut lelaki di sampingnya ini curiga dengan kecanggungan dirinya.
"Ini kamu, dan kita. Sudah kuduga istriku pasti imut sekali saat kecil, lihatlah ini pipimu sedikit berisi." Ben menyentuh foto-foto yang ia maksud sambil tertawa.
"Ayo lihat yang lain," Clarissa membuka halaman lain. Ia tak sanggup kalau Ben melihat terus foto masa kecilnya.
Di halaman berikutnya, album tersebut menampilkan beberapa foto kedua keluarga mereka. Di sana Eva, Ibu Clarissa tersenyum lebar dengan dirinya dan Ayahnya. Clarissa terdiam sesaat, ia sering melihat foto ini tetapi hatinya masih berat melihatnya. Kondisi Ibunya sudah membaik namun dia masih berada di rumah sakit, dan Dokter berkata walau operasinya berhasil tetapi tidak akan menjamin Ibunya bisa sembuh kembali seperti dahulu.
"Kenapa?" Ben melihat istrinya bengong. Ia melihat foto tersebut dan menatap istrinya, "kamu terlihat sedih, kalau begitu kita tidak usah melihat fotonya lagi."
Clarissa menggeleng cepat, "mari kita lihat lagi. A-aku hanya sedikit terbawa suasana, ini adalah orang tuaku." Clarissa mendaratkan tangannya ke foto yang menunjukan keluarganya.
"Oh begitu, lalu kenapa kamu sedih? Katakan saja walau aku kehilangan ingatan ku tetapi aku tidak kehilangan hati nurani. Dan aku suamimu, bukankah suami-istri harus saling berkomunikasi."
Clarissa mendapati tangannya sudah di genggam oleh suaminya, di saat seperti ini ia malah berpikir negatif. Benjamin Hilton yang sebenarnya mungkin tak akan pernah begini, ia tak akan menenangkan istrinya sepeti yang di lakukan lelaki di sampingnya.
Clarissa menempatkan kepalanya di bahu suaminya, nyaman sekali. Clarissa tak pernah melakukan ini, bermanja dan mengeluh kepada laki-laki yang menjadi suaminya. Ia jadi sedikit merindukan Ayahnya.
Clarissa sering menyalahkan Ayahnya atas segala sesuatu yang membuat hidupnya menderita selama empat tahu lalu waktu itu tetapi dalam hatinya ia ingin percaya, Ayahnya tak mungkin mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadinya.
"Sebenarnya-" Clarissa ragu mengatakan ini pada Ben, bagaimana kalau perkataannya membuat suaminya kesakitan.
"Katakan saja," Ben berusaha meyakinkan istrinya. Ia ingin mendengar keluh kesah perempuan yang sudah ia nikahi selama dua tahun itu.
Clarissa berpikir sejenak, ia mungkin hanya akan memberimu kondisi keluarganya saja. "Sebenarnya Ayahku sudah tiada dan Ibuku berada di rumah sakit, aku hanya khawatir saja dengan kondisi Ibuku. Dan saat melihat foto ini jadi membuatku rindu pada mereka."
"Kalau begitu kita menemui mereka saja, aku akan menemanimu pergi ke makam Ayahmu dan tempat Ibumu berada. Aku juga ingin berkenalan dengan mereka sekali lagi." Benjamin berdiri, sudah siap menemui keluarga Istrinya.
Clarissa kemudian menggapai tangan Ben, ia menggeleng. Tidak mau membuat keadaan suaminya memburuk, "nanti saja kita menemui mereka." Ben kembali duduk mendengar ucapan perempuan di sebelahnya.
"Kamu juga belum sembuh total, kita akan menemui mereka dua minggu lagi." Clarissa ingin menunggu, menunggu saat Ben benar-benar pulih dan sudah mendapatkan ingatannya kembali. Ia ingin tahu apakah Benjamin benar-benar akan menemui orang tuanya. "Mungkin," Clarissa bergumam pelan. Ia tak yakin Benjamin akan ingat dengan perkataannya hari ini.
"Kita lihat yang lain lagi," Clarissa hendak membuka halaman berikutnya tetapi tangan Ben sudah berada disana menghentikan aksi Clarissa.
"Tidak usah, aku sudah puas melihatnya. Kini aku jadi penasaran dengan sesuatu yang lain." Ben menatap istrinya begitu juga dengan Clarissa yang sudah menatap Ben.
"A-apa itu," entah mengapa Clarissa sedikit takut dan gugup. Ben menatap tajam ke arahnya namun dengan ekspresi yang tak pernah ia lihat.
Ben mendekat, semakin mendekat ke wajah Clarissa sementara itu Clarissa menutup matanya. Ia sungguh tak tahu mengapa melakukan itu, Clarissa tak sanggup bertatapan lama dengan suaminya. Hatinya tak kuat melakukannya.
To be continue...