NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 # Tiga Nenek Sihir

Nadeo menuruni anak tangga dengan langkah mantap, sementara Aliza mengikuti di belakangnya, seakan seorang pengawal yang setia mengiringi tuannya. Aroma masakan tercium samar dari ruang makan, tempat keluarga Buenavista telah menunggu.

Di meja panjang yang elegan, Claudia Buenavista—ibu Nadeo—duduk dengan anggun. Di sampingnya, dua adik perempuan Nadeo, Jean dan Jenny, sudah menatap penuh rasa ingin tahu begitu sosok kakak mereka muncul bersama Aliza. Tatapan itu bercampur dengan kejutan, sinis, sekaligus penasaran.

Di sisi lain, Bu Nur, kepala pelayan yang sudah lama mengabdi di keluarga itu, berdiri tegak di belakang kursi yang biasanya ditempati Nadeo. Begitu tuannya tiba, ia segera menarik kursi dengan penuh hormat.

“Silakan duduk, Tuan,” ucapnya pelan.

Nadeo segera duduk tanpa banyak kata. Aliza masih berdiri, bingung. Pandangannya berkeliling, tak tahu harus menempatkan diri di mana.

Tiba-tiba suara Nadeo terdengar, dingin namun tegas.

“Jean, mulai hari ini kamu pindah tempat duduk.”

Jean menoleh cepat, wajahnya menegang. “Tapi, Kak—”

“Ini perintah, bukan permintaan.” Nada suara Nadeo membuat ruangan seketika sunyi.

Jenny segera menyikut lengan kakaknya, memberi isyarat agar Jean menurut. Ia tahu betul, membantah Nadeo hanya akan mendatangkan masalah.

Jean menggertakkan giginya, menahan rasa tak suka, lalu perlahan bergeser dari kursinya—kursi yang kini diperuntukkan bagi Aliza.

"Duduk,” perintah Nadeo singkat.

Tanpa banyak tanya, Aliza segera menarik kursi dan duduk di sampingnya. Suasana meja makan mendadak terasa menegang. Jean langsung melirik tajam, matanya penuh sinis, seakan kehadiran Aliza di kursi itu adalah penghinaan bagi dirinya.

Dengan hati-hati, Aliza mengambil beberapa potong roti, lalu mengolesinya dengan selai kacang—satu-satunya selai yang ada di meja. Setelah itu, ia meletakkan dua potong roti tersebut di piring Nadeo, dan menuangkan segelas susu untuknya.

Sementara untuk dirinya sendiri, Aliza hanya mengambil dua lembar roti tawar polos, tanpa olesan apa pun. Ia menggigit perlahan, mencoba menahan perasaan canggung di antara tatapan keluarga Nadeo.

Nadeo menghentikan gerakan tangannya, menatap Aliza dengan kening berkerut.

“Mengapa kamu hanya makan roti tawar tanpa selai? Jangan bilang kau takut keluarga ini jatuh miskin hanya karena kau makan dengan selai.”

Aliza menunduk, suaranya lirih namun jujur.

“Maaf, suamiku... aku alergi kacang.”

Kata itu—suamiku—baru saja keluar dari bibirnya, namun dada Aliza terasa sesak. Lidahnya pahit, hatinya mual, seakan ingin memuntahkan kata yang terpaksa ia ucapkan.

Nadeo menoleh cepat ke arah Bu Nur. “Bu Nur!”

Kepala pelayan itu segera maju sedikit. “Saya, Tuan Muda.”

“Mulai besok, jangan ada lagi selai kacang di rumah ini.”

Bu Nur menunduk dalam. “Baik, Tuan Muda.”

Ruangan seketika hening, hanya suara pisau garpu yang beradu dengan piring terdengar samar. Claudia Buenavista, ibu Nadeo, meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap tajam ke arah Aliza. Tatapan itu penuh arti—dingin, menusuk, dan seolah menilai menantu barunya hanya membawa keributan kecil yang tak perlu.

“Selai kacang itu sudah bertahun-tahun ada di meja ini,” ucap Claudia dengan nada datar, namun setiap katanya seperti sindiran halus. “Dan sekarang karena satu orang, tiba-tiba harus dihilangkan?”

Jean mendengus pelan, lalu bersandar di kursinya sambil menatap Aliza dengan penuh ejekan. “Benar, Mama. Hanya karena dia... meja makan kita jadi berubah. Apa lagi yang akan dilarang setelah ini?”

Jenny yang sedari tadi diam ikut menimpali, meski suaranya lebih halus. “Kak, mungkin... terlalu berlebihan kalau sampai menghapus tradisi rumah hanya karena satu orang.”

Nadeo meletakkan gelas susunya dengan keras, suaranya tegas memotong percakapan.

“Ini rumahku. Aturannya aku yang buat. Kalau aku bilang tidak ada lagi selai kacang, maka itu berarti tidak ada lagi selai kacang. Titik.”

Jean terdiam, menggertakkan giginya sambil melirik Aliza penuh kebencian. Claudia hanya menarik napas panjang, lalu mengangkat alisnya tipis, tanda tak ingin memperpanjang argumen—setidaknya di depan Nadeo.

Aliza yang mendengar semua itu hanya bisa menunduk. Hatinya bergetar, antara malu, tertekan, dan sedikit terharu. Untuk pertama kalinya, Nadeo membelanya... meski ia sendiri masih sulit menerima panggilan suamiku yang tadi meluncur dari mulutnya

Claudia akhirnya memecah keheningan yang masih tersisa setelah perdebatan kecil tadi. Dengan suara lembut tapi penuh selidik, ia menatap putranya.

“Kamu mau ke mana pagi-pagi dengan pakaian serapi ini, Nak? Apa kamu akan langsung bekerja hari ini?”

“Ya, Ma,” jawab Nadeo singkat.

Claudia menghela napas kecil. “Apa kamu tidak ingin berbulan madu dulu? Kamu baru saja menikah semalam. Kenapa harus terburu-buru dengan pekerjaan? Kamu bisa saja cuti seminggu… bahkan sebulan… untuk menikmati pernikahanmu.”

Nadeo menegakkan tubuhnya, suaranya dingin. “Aku tidak punya waktu untuk itu. Banyak urusan menunggu di kantor.”

Claudia hanya tersenyum tipis, menyerah. “Baiklah. Mama hanya memberi saran, tidak bisa memaksa.”

Sarapan pun selesai. Nadeo berdiri, meraih jasnya dengan gerakan tegas. Aliza, yang juga sudah selesai makan, ikut berdiri dan berjalan beberapa langkah di belakangnya, sebagaimana ia lakukan sejak pagi tadi—seperti bayangan yang setia mengiringi tuannya.

Di depan rumah, sebuah mobil hitam mengilap telah menunggu. Sekretaris Mark, dengan pakaian khasnya yang serba hitam, berdiri tegak di samping mobil. Begitu Nadeo mendekat, Mark segera membungkuk sedikit lalu membuka pintu mobil dengan penuh hormat.

Namun, sebelum Nadeo masuk, suara lirih Aliza menahan langkahnya.

“Maaf, Tuan Muda… apakah saya juga bisa pergi bekerja hari ini?”

Nadeo menoleh singkat, matanya tajam namun tanpa emosi. “Terserah kamu. Aku tidak peduli apa yang ingin kamu lakukan. Tapi ingat apa yang sudah pernah aku katakan.”

Aliza menunduk sopan, menahan debar jantungnya. “Baik, Tuan Muda. Terima kasih. Saya akan selalu mengingat, bahwa saya tidak boleh mencemari nama baik Tuan Muda di luar… dan saya harus pulang sebelum pukul lima sore, sebelum Tuan Muda kembali.”

Nadeo tak menanggapi lagi. Ia hanya masuk ke dalam mobil, sementara Aliza berdiri sejenak, menatap kepergian suaminya yang terasa begitu jauh meski hanya beberapa langkah dari dirinya.

Suara mesin mobil hitam itu perlahan menjauh dari halaman rumah, menyisakan kesunyian yang aneh. Aliza masih berdiri di depan pintu, menatap kosong jalanan yang baru saja dilalui Nadeo. Hatinya terasa kosong, seperti tubuh tanpa jiwa.

Saat ia berbalik, tatapan tajam Claudia dan kedua putrinya langsung menyambutnya. Senyum tipis Claudia mengembang, tapi bukan senyum penuh kasih seorang ibu mertua—melainkan senyum yang penuh perhitungan.

Jadi kamu juga berniat bekerja? Apa uang yang diberikan anakku tidak cukup untukmu? Dasar keluarga mata duitan,” suara Claudia terdengar lembut, namun setiap katanya seperti belati yang menyayat.

“Luar biasa sekali, pengantin baru biasanya sibuk mengurus rumah tangga… bukan sibuk mondar-mandir keluar rumah.”

Jean bersuara lebih pedas, tanpa menyembunyikan kejengkelannya. “Sepertinya Kak Nadeo sudah terlalu baik membiarkanmu bekerja. Kalau aku jadi dia, sudah ku suruh kau diam di rumah saja. Tugas seorang istri adalah melayani, bukan sibuk dengan urusannya sendiri.”

Jenny yang duduk di sofa, hanya tersenyum miring. “Tapi, Kak Jean… bukankah bagus juga kalau dia pergi bekerja? Artinya kita tidak perlu sering melihat wajahnya di rumah.”

Tawa kecil Jenny membuat Jean ikut tersenyum sinis, sementara Aliza hanya bisa menunduk. Kata-kata itu menusuknya, tapi ia memilih diam.

Claudia akhirnya berdiri perlahan, langkahnya anggun mendekati Aliza. Tangannya terulur seakan ingin menepuk pundak menantunya, tapi terhenti beberapa sentimeter sebelum benar-benar menyentuh. Matanya menatap tajam, menelanjangi Aliza dari ujung kepala sampai kaki.

“Kalau kau memang ingin bekerja, lakukanlah. Tapi ingat… nama belakang yang sekarang kau bawa adalah Buenavista. Sekali saja kau menodainya, bukan hanya Nadeo yang murka… tapi aku juga tidak akan pernah memaafkanmu.”

Aliza menelan ludah, suaranya nyaris bergetar. “Saya mengerti, Mama…”

Claudia tersenyum tipis, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Jean dan Jenny masih duduk, menatap Aliza dengan tatapan penuh hinaan. Mereka tak perlu berkata lagi—tatapan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Aliza merasa terasing di rumah yang kini seharusnya ia sebut rumahnya sendiri.

Aliza segera melangkah ke kamar, berganti pakaian, dan bersiap-siap untuk pergi ke butiknya. Saat melewati ruang tamu, ia mendapati Jean dan Jenny sudah tidak ada di sana. Sunyi.

Setibanya di depan gerbang, Aliza hanya bisa menghela napas. Ia tahu, angkot tidak akan pernah lewat dari komplek mewah ini. Mau tak mau, ia harus kembali memesan ojek online. Dalam hati ia menggerutu, “Kalau setiap hari begini, pengeluaran akan semakin membengkak.”

Di garasi, deretan mobil mewah terparkir rapi. Aliza menatapnya sekilas, namun segera memalingkan wajah. Ia enggan menyentuh apalagi menggunakan mobil-mobil itu. Rasanya, ia seperti orang asing di rumah ini.

1
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!