“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Axel duduk di kursi mobilnya. Jam di dashboard menunjukkan pukul 23.30. Jari-jarinya mengetuk setir, gelisah.
“Kenapa Elena belum kasi kabar juga?” gumam Axel sambil menatap layar ponsel yang gelap.
Sejak Elena masuk ke apartemen tadi, Axel sengaja memberi ruang. Tapi sudah hampir dua jam, belum ada satu pun pesan masuk. Axel akhirnya mengetik pesan.
Axel sengaja tak pulang, menunggu wanita itu di halaman parkir. Entah mengapa dia ingin melakukan itu.
“Lena, kamu udah selesai? Gimana, aman?”
Axel mengirim pesan itu ke nomor gawai milik Elena. Centang satu. Dia menghela napas.
“Jangan panik dulu, Xel. Mungkin dia cuma lagi sibuk,” ucap Axel bermonolog pada diri sendiri.
Setengah jam kemudian, masih tak ada balasan. Axel mencoba menelepon. Berdering, tapi tiba-tiba terputus. Ia mencoba lagi. Kali ini panggilannya langsung ditolak.
Axel terdiam lama. Rahangnya mengeras.
“Mungkin dia nggak mau diganggu." Axel mencoba menenangkan diri. Tapi ada firasat aneh yang membuat dadanya sesak.
Akhirnya ia pulang, tapi tidur malam itu terasa mustahil. Di apartemennya Axel hanya berbaring, menatap langit-langit, sesekali memandangi ponsel. Tidak ada kabar. Sampai matahari pagi menyelinap lewat jendela, layar ponselnya tetap sunyi.
Di Apartemen Elena
Pagi itu, sinar matahari yang hangat tak bisa menghapus ketegangan di udara. Elena duduk di tepi ranjang, rambutnya berantakan, wajahnya pucat. Ia belum tidur sama sekali. Matanya bengkak karena semalaman menangis.
Pintu kamar terbuka. Aldi masuk membawa nampan berisi sarapan. Aroma nasi goreng dan telur mata sapi memenuhi kamar.
“Elena … ayo makan dulu,” suara Aldi lembut, seperti menahan sesuatu.
Elena menggeleng pelan. “Aku nggak lapar.”
“Kamu harus makan.” Aldi meletakkan nampan di meja kecil. “Kamu kelihatan lemah banget.”
Elena menatapnya lama, lalu berdiri. “Mas, tolong bukain pintu. Aku cuma mau keluar sebentar. Aku butuh udara.”
Aldi menghela napas. “Tak bisa, Elen. Kita belum selesai bicara. Sebelum kamu setuju untuk menarik gugatan cerai, aku tak bisa membiarkan kamu pergi."
“Bicaranya nggak akan ada habisnya!” suara Elena meninggi. “Mas, aku udah jelas bilang aku mau pergi. Kenapa Mas masih nggak ngerti? Aku juga tak akan pernah menarik gugatan ceraiku! Kenapa kamu masih mau mempertahankan pernikahan yang tak sehat ini?"
Aldi mendekat, suaranya pelan tapi tegas. “Karena aku nggak bisa kehilangan kamu, Elen.”
“Mas, ini bukan cuma tentang perasaan Mas. Aku juga punya hak atas hidupku. Aku nggak bisa terus-terusan jadi korban! Kamu jangan egois, Mas!"
Aldi menatap Elena dengan wajahnya yang lelah. Sepertinya dia juga tak tidur semalam. “Aku janji akan berubah. Aku janji akan menurut apa pun yang kau mau."
“Janji yang sama udah Mas ucapin berkali-kali. Dan Mas selalu ulangi lagi. Aku udah capek, Mas.”
Aldi terdiam. Ada tatapan marah dan sedih sekaligus di matanya. “Kamu cuma lagi emosi. Kita bisa kembalikan cinta kita dulu. Kalau kamu pergi sekarang, kamu bakal nyesel.”
Elena memelototinya. “Mas pikir pernikahan kita ini mainan? Bisa seenaknya dikembalikan setelah kamu melakukan kesalahan. Kalau Mas nggak bukain pintu, aku … aku bakal nekat!”
Aldi terdiam sesaat. “Nekat gimana?”
“Aku … bunuh diri!”
Suasana mendadak sunyi. Aldi menatap Elena tajam, seperti tak percaya. “Jangan bercanda, Elen.”
“Aku nggak bercanda!” suara Elena bergetar. “Aku beneran udah nggak mau hidup denganmu lagi, Mas.”
Aldi menghela napas berat. “Kamu cuma ingin ngancem aku'kan? Kamu nggak akan lakukan itu.”
“Mas, dengar aku sekali ini aja!” Elena memukul dadanya sendiri. “Aku pengen bebas. Aku pengen hidupku balik. Mas bikin aku sesak!”
Aldi menahan napas. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Kita istirahat dulu. Aku keluar sebentar. Kamu makan, ya?”
Elena hanya berdiri, tubuhnya gemetar. Dia tak pernah tahu jika Aldi begitu egois.
Aldi menarik napas panjang, lalu berjalan ke pintu. “Jangan lakukan hal bodoh,” ucap pria itu sambil melangkah keluar.
Tapi baru saja ia hampir menutup pintu, suara pecahan terdengar keras. Aldi menoleh cepat. “Elen?!”
Di depan matanya, Elena berdiri dengan pecahan gelas di tangan. Tangan wanita itu bergetar hebat.
“Elena, taruh itu! Ayo kita bicara baik-baik!” Aldi melangkah cepat.
Tapi terlambat. Pecahan kaca itu menyayat kulit pergelangan tangan Elena. Darah segar langsung mengalir, menetes ke lantai.
“Elena!” Aldi menjerit, dia tampak panik.
Tubuh Elena goyah. Aldi segera berlari dan menangkapnya sebelum ia jatuh.
“Ya Tuhan … kenapa kamu harus nekat begini?!” Aldi menekan luka itu dengan tangannya. Darah terus merembes.
Elena terisak. “Aku cuma … pengen Mas ngerti.”
Aldi menatapnya, mata memerah. “Aku ngerti! Aku ngerti sekarang! Tapi tolong jangan tinggalin aku kayak gini!”
Elena lemah. “Mas … janji … jangan kurung aku lagi ….”
Aldi menggigit bibir. Air mata jatuh. “Aku janji. Aku janji, Elen. Tapi kamu harus bertahan!”
Dengan cepat, ia menggendong Elena. “Kita ke rumah sakit sekarang.”
Aldi berlari keluar kamar, menuruni tangga apartemen dengan napas terengah.
“Bertahan, Elen! Jangan pejamkan mata!”
Elena terisak pelan. “Aku capek, Mas ….”
“Jangan ngomong gitu! Kamu harus bertahan!”
Begitu sampai di parkiran, Aldi membuka pintu mobil dengan terburu-buru dan meletakkan Elena di kursi depan. Tangannya berlumuran darah, tapi ia tak peduli.
Mesin mobil meraung. Aldi melajukan mobilnya sekencang mungkin.
Di dalam mobil, suasana hening kecuali napas Aldi yang tersengal dan suara isak kecil Elena.
“Elen … tolong bertahan. Jangan tinggalin aku.”
Elena hanya menutup mata, wajahnya pucat.
Aldi mengguncang bahunya pelan. “Hei, Elen! Tetap sadar!”
Lampu lalu lintas seakan tak ada artinya pagi itu. Aldi hanya fokus pada satu hal, 'menyelamatkan Elena'.
Beberapa saat kemudian mereka telah sampai. Mobil berhenti mendadak di depan IGD. Aldi langsung keluar, berlari ke sisi penumpang, lalu menggendong Elena keluar.
“Tolong! Istri saya!” teriaknya panik.
Perawat segera menghampiri. “Bawa ke ruang tindakan cepat!”
Mereka membawa Elena masuk. Aldi berdiri di depan pintu ruang tindakan, napasnya memburu. Tangannya bergetar hebat.
“Ya Tuhan … jangan ambil dia dari aku .…”
Lampu indikator ruang tindakan menyala merah. Aldi berdiri kaku, matanya kosong.
Gawainya bergetar di saku celana. Nama Axel tertera di layar. Aldi menatap layar lama, rahangnya mengeras. Dia mematikan sambungannya.
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
Alur ceritanya bagus dan konfliknya tidak begitu terlalu rumit...
pemilihan kosakata sangat baik dan mudah untuk dipahami...
terimakasih buat kk othor,
semoga sukses ❤️
buat aldi menyesal