Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Dengan langkah gontai, Naia akhirnya memberanikan diri berjalan menuju rumah besar yang ditempati Haji Abidin. Kadir ikut di sampingnya, meski jalannya agak timpang karena kakinya masih perih tertimpa perlengkapan pakan tadi.
Sepanjang jalan, ucapan Pak Hasan terngiang jelas di telinga Naia tentang menjaga marwah diri sekaligus nama baik keluarga yang menampungnya.
Begitu mereka tiba di serambi rumah, suasana tampak kaku. Beberapa orang tamu laki-laki dan perempuan dari pihak Pak Hadi duduk rapi di kursi tamu.
Wajah mereka menyiratkan keseriusan, seolah kedatangan itu bukan main-main. Di tengah ruangan, Pak Hadi sendiri duduk dengan pakaian rapi, senyum tipisnya terlihat penuh percaya diri.
Haji Abidin dan istrinya, Hajah Wahidah, sudah berusaha menolak dengan bahasa sehalus mungkin.
“Pak Hadi, kami menghargai niat baik njenengan. Tapi Naia ini bukan anak kandung kami, karena kejadian tanpa sengaja kami bertemu dan Naia ini asli dari desa bukan warga Jakarta, Naia merantau di sini karena ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya dan katanya Naia setelah kami melihat KTP, bukti buku nikah dan KK-nya kami yakin dan percaya kalau Naia masih punya suami. Keputusannya tetap ada di tangan dia. Kami pun sudah bilang, dia masih berstatus istri orang dan kami jujur akan hal itu.”
Suara Haji Abidin terdengar mantap namun tetap menjaga sopan santun.
Namun Pak Hadi tak bergeming. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap tajam ke arah Naia yang baru saja melangkah masuk.
“Kalau begitu biarlah saya mendengar langsung dari mulut Naia sendiri,” ujarnya datar, tapi tegas.
Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada gadis muda itu. Naia merasakan jantungnya berdegup tak karuan, telapak tangannya dingin.
Kadir yang berdiri di sampingnya memberi kode kecil, seakan menyemangati dengan tatapan penuh harap.
Naia menghela napas panjang, lalu maju beberapa langkah hingga berdiri di hadapan rombongan.
Dia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya, menatap satu persatu orang yang hadir, sebelum akhirnya menatap langsung ke arah Pak Hadi.
“Bapak Hadi,” ucapnya dengan suara bergetar tapi tegas, “saya menghormati kedatangan Bapak dan keluarga besar di rumah ini. Tapi sekali lagi saya ingin tegaskan saya masih punya suami. Saya bukan janda. Selama status itu belum terputus, saya tidak akan menikah dengan pria manapun. Dan sekalipun kelak saya bercerai saya tidak akan pernah menerima lamaran Bapak.”
Ruangan semakin hening. Hajah Wahidah terlihat menunduk, menahan haru sekaligus lega mendengar ketegasan Naia. Haji Abidin pun mengangguk kecil, bangga dengan sikap anak angkatnya.
Sementara itu, wajah Pak Hadi memerah menahan gejolak api amarah dalam hatinya.
Senyum tipis yang tadi ia pamerkan perlahan menghilang, berganti dengan raut kaku antara malu dan tidak terima.
Kadir tak tahan untuk berbisik lirih, meski masih meringis kesakitan di kakinya.
“Itu dia, Mbak mantap! Aku yakin Pak Hasan pasti bangga kalau dengar jawaban Mbak tadi.”
Naia hanya menghela napasnya dengan perlahan-lahan, namun hatinya terasa lebih ringan setelah menyampaikan keputusannya sendiri.
Wajah Pak Hadi menegang, garis rahang bawahnya mengeras. Meski bibirnya masih berusaha menahan senyum kaku di hadapan rombongan, matanya jelas menyimpan bara api yang sulit dipadamkan.
Di depan banyak orang, ia ditolak bulat-bulat oleh gadis yang selama ini ia incar dan lebih menyakitkan lagi, Naia mengucapkannya dengan penuh ketegasan tanpa ragu sedikitpun.
Suasana tamu undangan mendadak janggal. Beberapa orang dari pihak Pak Hadi berdeham pelan, sebagian pura-pura menunduk, mencoba menyembunyikan rasa canggung.
Hajah Wahidah berusaha mencairkan keadaan dengan mengucap kata-kata halus penuh permintaan maaf, namun Pak Hadi sudah terlalu tersulut emosi karena harga dirinya sudah ternoda oleh ucapan penolakan Naia di hadapan banyak orang.
“Baiklah,” katanya singkat, suara dingin dengan senyum yang dipaksakan.
“Kalau memang itu keputusanmu, Naia… saya tidak bisa memaksa. Maaf sudah merepotkan keluarga besar Haji Abidin.”
Ia bangkit dari duduknya, merapikan jas yang cukup mahal yang dipakai saat ini yang ia kenakan.
Gerakannya tampak tenang, tapi dalam hatinya bergemuruh emosi yang membuncah tapi berusaha disembunyikan dari umum.
“Kurang ajar! Naia terlalu menganggap dirinya sebagai satu-satunya perempuan cantik di sini,” geramnya dalam hati.
Seorang gadis yatim piatu, hanya numpang hidup, berani-beraninya menolak aku di depan orang banyak.
“Ini penghinaan! Aku akan buat dia menyesal karena telah menolak aku di hadapan banyak orang dan dia akan tahu siapa sebenarnya Hadi Kusuma!” geramnya Hadi duda doyan kawin.
Sementara rombongan mulai berdiri dan bersiap meninggalkan rumah, Pak Hadi hanya bisa mengulum rasa malu bercampur dendam.
Langkah kakinya berat, namun dalam hatinya sudah bulat kalau ia tidak akan berhenti sampai Naia merasakan akibat dari penolakannya itu.
Naia yang masih berdiri tegak di samping Haji Abidin, tidak tahu bahwa penolakannya barusan telah menyalakan api permusuhan yang bisa mengancam hidupnya kelak.
Setelah suara langkah dan derap sandal rombongan tamu meredup di kejauhan, rumah besar itu kembali lengang dan menyisakan Naia, Pak Haji Abidin dan Bu Hajah Wahidah.
Udara sore terasa berat, seakan menyimpan sisa ketegangan yang tadi memenuhi ruang tamu. Naia duduk dengan wajah tertunduk di kursi, kedua tangannya saling menggenggam erat.
Hajah Wahidah menghampiri, duduk di sampingnya. Ia meraih jemari Naia dengan lembut, mengusapnya penuh keibuan.
“Anakku…” suara lembutnya terdengar lirih, “tadi Ibu lihat sendiri bagaimana tegasnya kamu. Ibu bangga, Naia. Tapi kamu juga harus siap dengan konsekuensinya. Orang seperti Pak Hadi, kalau ditolak di depan orang banyak, bisa saja menyimpan dendam.”
Naia menoleh perlahan, matanya mulai basah, “Ibu… saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun. Tapi saya juga tidak mau hidup dalam kebohongan. Saya masih istri orang bagaimana mungkin saya menerima lamaran?”
Hajah Wahidah menarik napas panjang, lalu memeluk Naia.
“Ibu tahu, Nak. Justru karena kamu jujur dan menjaga kehormatanmu, Allah pasti akan menjaga kamu juga. Tapi tetaplah berhati-hati. Jangan pernah keluar sendirian tanpa izin. Ingat, hidup di kampung ini tidak lepas dari mata dan telinga orang.”
Haji Abidin yang sedari tadi berdiri, akhirnya ikut duduk di kursi bersebelahan. Suaranya dalam, tegas, tapi penuh kasih.
“Naia, sejak kamu datang ke rumah ini, aku dan Ibu sudah anggap kamu seperti darah daging sendiri. Jangan merasa sendirian. Kalau ada yang berani mengusikmu, apalagi menyakiti, biar bapak sama ibu yang berdiri di depan.”
Naia terisak kecil. Perasaan takut dan lega bercampur jadi satu.
“Terima kasih, Pak… Bu… kalau bukan karena kalian, mungkin saya sudah tidak punya tempat tinggal lagi di dunia ini.”
Haji Abidin menepuk bahunya lembut.
“Sudahlah, Nak. Jangan terlalu banyak pikirkan rasa takut. Perkuat imanmu, perbanyak doa. Selebihnya biar Allah yang menjawab niat buruk manusia.”
Naia mengangguk kecil, meski jauh di lubuk hatinya ia tidak bisa memungkiri kegelisahan yang ia tahu, tatapan Pak Hadi tadi bukanlah tatapan orang yang menerima penolakan dengan ikhlas.
Malam itu, setelah semua pekerjaan kandang selesai dan rumah kembali tenang, Naia duduk sendirian di tepi ranjang kayu di kamarnya.
Lampu redup membuat bayangan wajahnya jatuh sayu. Ia menatap kedua telapak tangannya sendiri, seakan mencari kekuatan yang selama ini tersembunyi di balik kelelahannya.
“Aku tidak boleh lemah,” batinnya tegas.
‘Aku harus jadi perempuan muda yang tangguh. Hidup tidak akan selalu ramah, tapi aku tidak boleh kalah.” Naia membatin.
Namun ketika kehangatan nasihat dan pelukan Haji Abidin serta Hajah Wahidah teringat kembali, hati Naia mendadak luluh.
Rasa hangat itu mengalir begitu dalam, membuatnya kembali teringat pada kedua orang tua kandungnya yaitu Pak Anwar Zahid dan Bu Ratih.
Wajah mereka muncul samar di ingatan. Senyum lembut ibunya, suara berat ayahnya yang penuh wibawa, dan tawa sederhana saat mereka makan bersama di rumah desa.
Sudah lebih dari sebulan Naia tidak melihat mereka. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia tak bisa menghubungi atau mendapat kabar apa pun.
Naia menggenggam bantal di pelukannya, matanya berkaca-kaca.
“Bapak… Ibu… Naia kangen sekali,” bisiknya lirih, seolah angin malam bisa membawa suaranya jauh ke kampung halaman.
Ia sama sekali tak mengetahui kenyataan pahit yang menantinya yaitu bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Kabar itu belum pernah sampai ke telinganya, seakan disembunyikan oleh takdir agar ia masih bisa menapaki hari-harinya tanpa runtuh terlalu cepat.
Naia hanya bisa menengadah, air matanya jatuh perlahan.
“Ya Allah, kuatkan aku. Biar aku bisa jadi anak yang tidak memalukan mereka, meskipun aku tidak bisa untuk sementara balik ke rumah tapi doaku rasa sayangku sangatlah besar untuk bapak sama ibu di kampung.”
Dalam hening malam, doa itu meluncur dengan getir. Sementara di luar kamar, bayangan ancaman dari murka Pak Hadi masih menunggu di tikungan waktu.
Beberapa hari kemudian…
Sore itu, matahari condong ke barat, menebarkan cahaya jingga di jalanan berbatu yang menuju sebuah villa mewah di pinggiran kota.
Naia duduk dibalik kemudi mobil pick up tua milik Haji Abidin, sementara Kadir dan Safar duduk di bak belakang menjaga jerigen susu segar agar tidak tumpah.
Perjalanan mereka cukup jauh, hampir satu jam dari peternakan. Villa itu sudah menjadi langganan tetap selama beberapa tahun terakhir, bahkan dikenal sebagai pembeli paling loyal yang tak pernah menawar harga.
Mereka percaya penuh pada kualitas susu sapi perahan Haji Abidin yang selama ini terjamin mutunya.
Namun, baru beberapa meter menjelang pintu gerbang villa yang tinggi menjulang, dunia Naia seakan berhenti berputar.
Di sana, tepat di depan gerbang, terparkir sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat.
Kaca depannya memantulkan cahaya sore, tapi dari baliknya Naia jelas menangkap siluet wajah yang begitu ia kenal yaitu wajah yang seharusnya ia hindari seumur hidupnya.
Tubuhnya menegang. Jemarinya yang menggenggam setir bergetar halus, keringat dingin tiba-tiba merembes di pelipis meski angin sore cukup sejuk.
Bibirnya tanpa sadar terkatup rapat, dagunya sedikit bergetar. Bahunya menurun, seolah tenaga yang selama ini ia kumpulkan lenyap dalam sekejap.
Matanya membesar, lalu cepat-cepat ia palingkan wajahnya ke arah kirinya. Hijabnya berkibar tertiup angin sepoi-sepoi.
“Astaghfirullah al-‘adzim… ini tidak mungkin…” gumam Naia, suaranya nyaris tak terdengar, hanya seperti bisikan yang tercekat di tenggorokan.
Matanya terbelalak, tapi segera ia pejamkan rapat-rapat, berharap apa yang dilihatnya barusan hanya bayangan semu.
Namun detak jantungnya yang semakin cepat justru menegaskan bahwa itu nyata. Sosok itu benar-benar ada di sana.
Tangannya yang menggenggam setir semakin bergetar, hingga bunyi gesekan halus terdengar dari permukaan kulitnya yang basah keringat.
Nafasnya memburu, tersengal tak beraturan, seperti orang yang baru saja berlari sekian lama.
“Ya Allah… lindungi aku jangan biarkan dia melihatku,” lirihnya dalam hati.