Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Beberapa jam kemudian, mereka sudah di supermarket . Issa mendorong troli, sementara Dasha sibuk mengambil barang.
“Kita tidak akan piknik, Dasha. Kau tetap rakus seperti dulu,” katanya sambil tertawa.
“Dasar cerewet,” sahut Dasha sambil menuju bagian es krim.
Mereka berkeliling lama, membeli makanan dan kebutuhan untuk seminggu di rumah.
Sesampainya di rumah, mereka membereskan belanjaan sambil bercanda. Hanya mereka berdua di sana, rumah peristirahatan Issa memang jarang dikunjungi siapa pun selain petugas kebersihan yang datang pagi hari.
Dasha sedang mencoba memasukkan kaleng ke lemari dapur yang terlalu tinggi. Ia berjinjit, tapi tetap tak sampai.
Tiba-tiba tubuhnya terangkat. Issa mengangkatnya dengan mudah agar bisa menjangkau.
Setelah selesai, Dasha menepuk lengannya. “Terima kasih,” katanya pelan.
Tiba-tiba Issa mencuri kecupan cepat di bibirnya lalu berlari pergi.
“Issaaa! Dasar nakal!” teriak Dasha sambil tertawa dan mengejar.
Issa hanya tertawa keras sambil berkata, “Kejar aku kalau bisa!”
Mereka berlarian mengelilingi rumah, tawa mereka menggema di setiap sudut.
**
Kini Dasha dan Issa sedang berada di ruang tamu, duduk di sofa besar yang empuk. Issa sibuk memilih film untuk mereka tonton malam itu, sementara Dasha diam-diam mencuri popcorn dari mangkuk besar di tangannya.
“Berhenti, Dasha. Nanti habis sebelum aku sempat memilih film,” katanya tanpa menoleh.
Ups. Rupanya dia sadar, padahal matanya menatap layar televisi.
“Peace,” ujar Dasha sambil mengangkat dua jarinya dengan senyum penuh dosa.
Issa hanya menepuk kepala Dasha ringan, masih tetap fokus mencari film.
Begitu akhirnya ia menemukan pilihan, Dasha yang sedang memeriksa ponselnya langsung diajaknya duduk nyaman di sofa, lengkap dengan selimut tebal. Issa bilang film pilihannya malam itu adalah “The Autopsy of Jane Doe” di Netflix.
Sudah bertahun-tahun sejak Dasha punya waktu untuk sekadar “movie and chill.” Sejak kembali ke Roma, hidupnya habis untuk pekerjaan dan anak-anak. Ia bahkan sudah lupa rasanya bersantai menonton film; tidak heran kalau sekarang ia benar-benar ketinggalan soal tontonan.
“Mari mulai,” kata Issa lalu menekan tombol play.
“Oh, tunggu genre-nya apa?” Dasha baru sadar belum sempat bertanya.
“Tebak saja,” jawab Issa, menaik-turunkan alis dengan gaya menggoda.
“Issa!” serunya kesal.
“Itu film horor, Dasha.” Senyum nakal muncul di bibirnya.
“Oh tidak! Bisa kita ganti filmnya, tolong?” Dasha memohon sambil memasang wajah paling manis yang bisa ia buat.
“Tidak bisa. Aturannya kan, kalau film sudah dimainkan…”
“…tidak boleh diganti,” potong Dasha dengan wajah sebal. Itu memang aturan lama mereka sejak dulu.
“Benar sekali,” balas Issa sambil menarik Dasha lebih dekat ke sisinya dan merangkul bahunya. “Ayo, kita nonton.”
Dasha pasrah. Mereka pun mulai menonton. Tepatnya, Issa yang menonton. Dasha lebih banyak mengintip dengan mata setengah terbuka, setengah tertutup, kadang menjerit kaget di setiap adegan mengerikan.
Film selesai dengan Dasha yang kehabisan suara karena berteriak ketakutan, sementara Issa dengan santai menghabiskan seluruh popcorn.
“Curang kamu!” kata Dasha sambil menatapnya tajam.
“Apa yang curang?” tanya Issa pura-pura polos, senyumnya licik.
“Kau sengaja pilih film horor supaya aku tak bisa makan dan kau bisa habiskan semuanya sendiri, kan?” tuduhnya.
Issa tertawa kecil. “Tidak, aku pilih itu supaya kita bisa sedekat ini.”
Baru saat itu Dasha sadar betapa dekat jarak mereka. Hanya beberapa inci saja memisahkan wajahnya dari wajah Issa.
“Boleh aku menciummu?” suaranya berat, nyaris berbisik di antara ruang yang begitu sempit.
Dasha tak bisa berpikir jernih. Tatapan itu menahannya di tempat. Ia hanya bisa mengangguk pelan.
Issa semakin mendekat, dan Dasha menutup matanya. Bibirnya hampir bersentuhan...
TRRRT!
Suara dering ponsel tiba-tiba memecah momen.
“Aduh!” seru mereka berdua hampir bersamaan saat kepala mereka saling terbentur karena kaget.
“Maaf! Maaf!” Dasha panik, mengusap dahi Issa, sementara ponsel terus berdering di meja samping.
Ia langsung mengambilnya, dan ketika melihat nama ibunya di layar, jantungnya berdegup cepat. ibunya jarang menelepon. Kalau ia melakukannya, pasti ada hal penting.