Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.32 Gerbang Bintang Barat
Langit Benua Barat berwarna keperakan, penuh guratan awan halus yang menyelimuti gunung-gunung terapung dan istana kristal yang melayang di angkasa. Tempat ini disebut Wilayah Bintang Ilahi, pusat kekuasaan para kultivator tingkat langit.
Angin spiritual berputar lembut, namun setiap hembusannya membawa tekanan luar biasa—bagi orang biasa, napas pun bisa berhenti hanya karena udara yang terlalu padat dengan energi langit. Di sinilah, di puncak dunia, Xio Lun melangkah perlahan, jubah hitamnya berkibar halus, pedang kegelapan menempel di punggungnya memancarkan kilau pekat bagai bayangan malam yang hidup.
“Jadi ini… Benua Barat,” gumamnya pelan.
Matanya menyipit, menatap deretan menara perak yang memantulkan cahaya bintang. Ia bisa merasakan ribuan aura kuat berdenyut di sekitar, semuanya lebih tinggi dari rata-rata kultivator di Benua Tengah.
Namun satu hal menarik perhatiannya — mutiara teratai ilahi di dadanya berdenyut pelan, mengarah pada satu titik jauh di barat daya.
“Apakah di sana... ibu?” bisiknya.
Langkahnya terhenti di depan gerbang raksasa — Gerbang Bintang Barat, batas masuk ke wilayah inti Benua Barat. Di depan gerbang berdiri tiga penjaga berpakaian perak, dengan lambang bintang berputar di dada mereka — simbol khas Klan Bintang Langit.
Salah satu dari mereka melangkah maju, aurasinya melonjak hingga membentuk pusaran angin.
“Orang luar dilarang memasuki wilayah inti tanpa izin!” bentaknya.
Xio Lun hanya diam, pandangannya dingin.
“Aku hanya melewati jalan ini. Tidak berniat membuat kekacauan.”
Namun penjaga itu terkekeh. “Tidak berniat? Aura pedangmu saja hampir menghancurkan segel pertahanan kota! Siapa kau sebenarnya?”
Xio Lun menatap datar. “Aku tidak perlu menjawab pertanyaan orang sepertimu.”
Nada suaranya ringan, tapi tekanan spiritual yang keluar cukup membuat dua penjaga lainnya mundur satu langkah.
Penjaga utama menggeram. “Berani juga kau, bocah!”
Dia menghunus tombak panjangnya, ujungnya menyala dengan api biru.
Aura Ranah Jiwa Langit langsung meledak.
Gelombang energi menyapu lembah di bawah gerbang, menciptakan badai debu yang menggulung.
Xio Lun tetap berdiri tenang, rambutnya berkibar pelan.
“Kalau begitu,” ucapnya lirih, “anggap ini peringatan.”
Pedang kegelapan bergetar lirih, mengeluarkan dengungan tajam seperti raungan naga hitam.
Penjaga Klan Bintang menyerang terlebih dahulu, menebas tombak berputar dengan jurus “Serangan Rasi Api Langit”.
Serangan itu menciptakan spiral api berbentuk naga yang meluncur ke arah Xio Lun.
Namun Xio Lun menggerakkan jarinya, dan pedang kegelapan melayang di udara.
“Jurus pertama — Gelap Menghampar.”
Dari bawah kakinya, kabut hitam tebal menyebar seperti lautan malam. Api naga rasi yang menghantamnya langsung padam seolah diserap ke dalam kegelapan.
Penjaga itu terkejut, tapi belum sempat mundur, Xio Lun sudah melangkah maju.
“Jurus kedua — Seribu Pedang Kegelapan!”
Langit tiba-tiba menggelap. Ribuan pedang hitam muncul dari bayangan, menukik turun bagai hujan meteor.
Penjaga itu berteriak, menciptakan dinding pelindung spiritual berbentuk bintang berputar, namun setiap pedang kegelapan menghantam dan memecah lapisan pelindung itu satu per satu.
BOOM!
Gelombang energi menelan gerbang barat, namun Xio Lun menahan dampaknya dengan tangan kiri, membentuk perisai hitam dari energi jiwa.
Satu pedang kegelapan terakhir menukik turun, menghantam tombak penjaga, menghancurkannya dalam satu benturan.
Penjaga itu terpental ratusan meter, darah menyembur dari mulutnya.
Namun Xio Lun tidak melanjutkan serangan.
“Kau masih hidup karena aku tidak ingin membunuhmu,” katanya datar. “Pergilah sebelum aku berubah pikiran.”
Penjaga itu menatap dengan mata ketakutan.
“Ka-kau... siapa sebenarnya?”
Xio Lun hanya melangkah melewatinya tanpa menjawab.
Namun dari kejauhan, tiga sosok berpakaian jubah biru muncul di udara.
Mereka memancarkan aura yang jauh lebih dahsyat — masing-masing berada di Ranah Jiwa Ilahi.
Salah satu di antaranya tersenyum tipis.
“Pedang kegelapan... jadi benar kabar itu,” gumamnya. “Pewaris Dewa Perang telah datang ke Benua Barat.”
Xio Lun menatap tajam ke arah mereka, tapi tidak menjawab.
Ia tahu — para pengintai dari Klan Bintang Langit sudah menyadari kehadirannya.
“Kalau begitu,” ujarnya lirih, memegang gagang pedang kegelapan, “biarkan langit barat menjadi saksi — mulai sekarang, takdir akan berubah.”
Pedang kegelapan bergetar, menyalakan aura hitam keunguan yang menjalar ke langit, membelah awan bintang menjadi dua.
Langit pun berguncang.