Hana Nayaka tidak percaya, jika pria yang menikahinya dua tahun lalu dengan mudah menjatuhkan kata talak hanya karena dia mendatangi kantor tempat suaminya itu bekerja.
Sudah hampir 3 bulan belakangan ini, Adam Husain melewatkan sarapan dengan alasan harus datang ke kantor pagi-pagi sekali karena pekerjaannya sedang banyak dan mendesak.
Braakkk...
Rantang makanan yang dibawa Hana dilempar hingga semua isinya berhamburan.
"Dasar istri tidak berguna sudah miskin, udik, kampungan lagi. Untuk apa kamu datang ke kantor, mau buat aku malu karena punya istri macam kamu."
"Mulai hari ini, Hana Nayaka bukan istriku lagi. Aku jatuhkan talak satu." Ucap Adam lantang.
"Mas... Kamu kenapa tega padaku? Apa salahku?" Tangis Hana pecah di depan lobby perusahaan tempat Adam bekerja sebagai manager keuangan.
Hana pergi dengan membawa luka yang menganga dan dendam membara.
"Aku pasti akan membalasmu, Adam. Kamu lupa siapa aku." Gumamnya.
JANGAN MENABUNG BAB!
SUPAYA CERITA INI BERUMUR PANJANG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lawanmu Aku, Adam!
Setelah 3 jam perjalanan, Hana tiba di Jakarta dengan selamat. Anak buah Tuan Thomas langsung mengantarnya Hana ke Rumah Sakit.
Bisa Hana lihat, di depan ruang ICCU Tuan Angkasa duduk bersandar sambil memejamkan kedua matanya. Wajah yang biasa menatapnya hangat, kini pucat seolah tidak ada darah yang mengalir di tubuhnya.
Dan Hana tahu semua ini karena kesalahannya, masalahnya yang menyeret orang-orang baik ikut terluka.
"Tuan Angkasa..." Panggil Hana lirih.
"Akhirnya kamu kembali Hana, tolong setelah ini jangan pergi lagi." Hana terkejut. Bagaimana bisa orang terhormat seperti Tuan Angkasa, justru meminta tolong padanya untuk tinggal, padahal dia telah berbuat salah.
Seharusnya Tuan Angkasa mencaci maki, menyudutkannya karena telah menyeret dia dan keluarganya dalam masalah besar. Istri tercintanya terkena serangan jantung. Bukankah harusnya Hana bertanggung jawab, setidaknya satu tamparan keras untuknya.
Tapi, lihatlah pria kaya ini. Dia justru menggenggam tangan Hana. Bagaikan memohon, semua akan kembali baik jika Hana tidak pergi.
"Seminggu lagi sidang kedua perceraianmu, tapi Adam bersikukuh ingin rujuk. Hana, aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Tapi, Langit mencintaimu dengan sangat. Setelah perceraianmu berhasil dalam persidangan, setelah masa iddahmu selesai dijalankan. Bisakah kamu menerima cinta Langit? Aku melamarmu untuk Putraku itu, dan demi kebahagiaan istriku juga."
"Aku tahu, hatimu masih terluka. Sisa cinta untuk Adam juga masih membekas di dalam hatimu. Tapi ijinkan Langit menjadi obat, buka pintu hatimu untuk Langit. Dengan begitu rasa bersalah istriku bisa sedikit demi sedikit hilang. Hana... atau aku harus menjatuhkan harga diriku demi kebahagiaan anak dan istriku?" Tanya Tuan Angkasa.
Tes
Tes
Tes
Air mata Hana mengalir deras, bibirnya kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan dari Tuan Angkasa. Ini tidak benar!
Hana tidak akan membiarkan orang baik ini kehilangan harga dirinya. Hana tidak akan membiarkan mantan bosnya ini berulang kali memohon. Hana sadar diri, dirinya tidak seistimewa itu untuk diperlakukan istimewa.
Tapi satu yang Hana tahu, jika menolak lamaran untuk Langit. Maka hidupnya akan dibayangi dengan rasa penyesalan yang lebih dalam daripada menyesal menikah dengan Adam.
"Tuan Angkasa, tolong jangan pernah jatuhkan harga diri di hadapan siapa pun, termasuk di hadapanku. Aku hanya wanita biasa yang tidak pantas diperlakukan istimewa." Ucapnya.
"Demi kebahagiaanku sendiri, dan demi kebahagiaan semua orang yang menyayangiku. Setelah selesai iddahku, aku bersedia membuka hati untuk Tuan Langit." Ucap Hana mencoba memantapkan hati.
Tidak ada salahnya mencoba kembali, meskipun Hana sadar jika pernikahan bukan ajang untuk coba-coba.
"Anggap saja ini uji nyali, semoga aku bertahan hingga akhir."
Hana tahu, perjalanannya tidak mudah. Bukan karena dia yang masih terbelenggu masa lalu, tapi karena kenyataannya hatinya belum sepenuhnya sembuh. Trauma kegagalan itulah yang membelenggunya. Dia harus melawan ketakutan sendirian. Sementara Tuan Langit, Nyonya Senja hanya tahu bagaimana cara membahagiakan Putra mereka yang pernah dikecewakan. Kecewa terhadap orang tuanya sendiri.
Keesokan harinya, dengan api amarah yang membara Hana mendatangi Adam. Hana tahu, jika Adam dan Ibunya sudah kembali ke rumah lama mereka. Pemukinan kumuh yang terletak di bantaran sungai Ciliwung.
"Aku tidak akan berbasa basi lagi Adam, aku tidak mau kembali rujuk denganmu. Kamu jangan pernah coba menggagalkan proses perceraian."
Ucap Hana saat tiba di rumah Ibu Juminten, sedangkan Adam hanya menyeringai melihat kedatangan Hana.
"Kenapa? Aku tahu kamu masih sangat mencintaiku, Hana. Jangan munafik! Kalau bukan aku yang mau denganmu, kamu pikir siapa yang akan menerima wanita gendut sepertimu? Kamu mengharapkan Langit mau memperistrimu? Yang ada kamu dijadikan babu."
Ucapan Adam sedikit menusuk hati Hana, tapi dia harus tetap kuat bukan? Demi dirinya sendiri.
"Seandainya aku bercerai denganmu, Adam. Tanpa suami pun aku bisa hidup, aku kaya, aku pintar. Apalagi? Coba lihat dirimu sendiri. Kere! Sudah pasti kamu tidak diterima kerja di mana pun. Reputasimu sudah hancur oleh perbuatanmu."
Hana semakin memancing emosi Adam. Tujuannya adalah pengakuan atas alasannya datang ke persidangan membatalkan perceraian.
"Aku tahu, kamu mengajakku rujuk karena ingin kembali menumpang hidup." Hana menguliti Adam hidup-hidup.
Adam mengepalkan kedua tangannya kuat. Dia tahu, mantan istrinya sengaja ingin memancing emosinya yang menggunung. Harga dirinya serasa diinjak-injak.
"Kurang ajar memang kamu Hana. Ya, aku akui aku tidak sudi kembali hidup dengan wanita yang hanya bisa membuatku malu. Aku tampan, tapi punya istri gajah membuatku mual setiap hari. Jika bukan karena perintah dari orang yang telah membebaskanku dari penjara, aku pun tidak sudi bersandiwara seolah masih mencintaimu, Hana."
Yang tidak Adam ketahui adalah, Hana sudah merekam percakapan mereka. Sebagai bukti jika Adam hanya bersandiwara saat mengatakan masih mencintainya. Bukti kuat yang akan mengalahkan Adam di persidangan kedua nanti.
"Baguslah, jadi jangan pernah berfikir kamu bisa menggagalkan sidang perceraian. Karena mau kamu bersandiwara seperti apa, talak sudah kamu ucapkan."
"Aku sudah bukan istrimu lagi, dan aku tidak akan sudi rujuk dengan pria pecundang sepertimu. Kamu terlalu angkuh dan sombong, hingga lupa siapa lawanmu ini. Aku Hana Nayaka, tidak akan kalah dengan pria yang selama hidupnya hanya bergantung pada wanita. Kamu salah memilih lawan, Adam. Sampai jumpa di persidangan kedua."
Hana pergi dengan senyum lebar. Rekaman suara ini jelas terdengar, bukan hanya rekaman suara biasa. Tapi, ada rekaman video yang Hana ambil secara diam-diam. Kamera kecil yang berbentuk bros pemberian dari Tuan Thomas kemarin.
"Ambil ini, mungkin saja kamu butuh untuk mendapatkan tambahan bukti. Aku membantumu karena Tuan Angkasa."
"Ingat, hutang uang bisa dibayar. Hutang budi dibawa sampai mati. Jangan menjadi manusia yang serakah. Yang ingin dibantu tapi tidak mau membantu apalagi balas budi. Langit jika dibandingkan dengan mantan suami kamu itu, Langit lebih dari segalanya. Percayalah, Langit akan menjadi obat atas trauma yang kamu alami." Ucap Tuan Thomas.
Percakapan Tuan Thomas saat dalam perjalanan mengantar Hana ke Rumah Sakit tempo hari sedikit membuka pikiran Hana tentang menerima Langit.
Tapi, bukan karena balas budi. Hana menerima Langit, karena dia ingin memberi kesempatan pada hatinya untuk sembuh, untuk melawan traumanya. Dan mungkin benar, Langit akan menjadi obat untuk semua lukanya.
Kini, sambil menunggu jadwal sidang. Hana bergantian dengan Tuan Angkasa menunggu Nyonya Senja di ICCU. Sudah 3 hari berlalu, tapi Langit belum datang untuk menemuinya. Ada rasa yang sulit dimengerti, Hana merasa kosong di hatinya. Seolah kehadiran Langit penting untuknya.
"Dia sedang tidak mempermainkanku kan? Apa dia sudah tidak mencintaiku?"
Tanpa Hana sendiri sadari, jika rasa itu telah menelusup masuk. Rindu yang perlahan menggerogoti pertahanannya. Tembok yang dibangunnya perlahan retak. Kini, Hana sedang merasakan kegelisahan. Antara rasa rindu dan rasa kesal karena sekali lagi merasa telah dipermainkan oleh namanya cinta.
"Mungkin kini dia sadar jika aku tak layak untuk dicintai."
"Dan mungkin ungkapan cintanya kemarin hanya sebatas fatamorgana, tak nyata. Sadar diri Hana, kamu siapa? Tuan Langit, laki-laki istimewa sedangkan kamu hanya wanita biasa. Siapa juga yang mau bersama janda gendut sepertimu, mandul lagi. Adam yang hanya pria mokondo, melepehmu demi lubang gorong-gorong. Apalagi speak dewa Yunani sepertinya."
"Aahhh... Ternyata sesakit ini berharap sendirian, padahal baru 3 hari. Apa kabar Tuan Langit yang katanya sudah mencintaiku 5 tahun. Kamu terlalu sombong jadi perempuan, Hana. Tanpamu, Tuan Langit bisa mendapatkan istri yang lebih segalanya. Jadi sekarang terima saja kenyataan. Siapa suruh kamu kemarin menolaknya, giliran sudah ditinggal kebakaran jenggot."
Hana mengomel sendiri di kursi tunggu sambil makan semangkok salad. Suaranya memang lirih, tapi seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya, mendengar semuanya dengan jelas.
Awalnya, Langit tidak ingin pulang. Dia masih betah di Villa. Takut jika hatinya kembali sakit jika mendengar penolakan dari Hana. Tapi yang dia dengar berbeda.
Hana merindukannya, menyesal telah menolaknya. Apa itu artinya Hana mau menerimanya menjadi suami, pikir Langit.
Hatinya membuncah bahagia, luka yang tadi masih terasa mendadak sembuh. Apa ini nyata, bukan fatamorgana. Langit masih ingin memastikan lagi, untuk itu dia tetap bersembunyi. Hingga kalimat terakhir yang diucapkan Hana membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Hana...?" Lirihnya dengan mata berkaca-kaca, dan tubuh bergetar.
Langit tidak menyangka jika akan mendengar pengakuan yang membuat kedua kakinya bagaikan tak punya tulang.
Bruukkk...
"Loh... Tuan Langit kenapa duduk selonjoran di lantai?" Tanya Hana heran sambil mengerjapkan mata.
BONUS VISUAL
Hana Nayaka (27 tahun)
Langit Jagadya Marva (30 tahun)