Amor Tenebris (Cinta yang lahir dari kegelapan)
“Di balik bayangan, ada rasa yang tidak bisa ditolak.”
...
New Book, On Going!
No Plagiat❌
All Rights Reserved August 2025, Eisa Luthfi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eisa Luthfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
...◾▪️Amor Tenebris ▪️◾...
Bab 13 – Bulan Purnama dan Pintu Tersembunyi
Malam itu, gurun sunyi diterangi bulan purnama yang menggantung rendah, memantulkan cahaya perak ke permukaan pasir yang halus. Lyra berdiri di punggung bukit pasir, catatan misterius di tangannya masih bergetar seiring desah angin malam yang dingin. Ia menelan ludah, menatap hamparan tanah di depannya, mencari bayangan yang disebut oleh tanda “–A”.
Rasa takut dan penasaran bersaing di dalam dada. Setiap langkah ke depan membawa suara pasir berderak, seolah membisikkan peringatan. Namun Lyra tahu—dunia arkeologi yang selama ini ia geluti hanyalah awal. Relief dan simbol di situsnya bukan sekadar sejarah, tapi kunci penghubung dunia lain.
Di kejauhan, bayangan tipis muncul, tembus pandang di bawah sinar bulan. Lyra menelan napas ketika sosok itu semakin jelas. Theron Valecrest. Bukan manusia, tapi bayangan dengan aura dingin yang menenangkan sekaligus menegangkan. Matanya menatap lurus ke arahnya, penuh ketegasan.
“Aku di sini,” suara bayangan itu bergema samar, seperti datang dari dalam kepalanya sendiri. “Tetap tenang. Jangan sentuh apapun sebelum aku memberi tanda.”
Lyra menelan ludah. “Kenapa aku selalu terseret ke hal-hal yang… lebih besar dari diriku?” gumamnya lirih, namun suara angin menelan kata-kata itu.
Theron tidak menjawab, hanya menunjuk ke arah sebuah formasi batu tua yang hampir tertutup pasir. Garis-garis pahatan samar terlihat di batu besar itu, berpendar lembut di bawah sinar bulan. Simbol-simbol itu sama persis dengan relief yang ditemukannya di situs—lingkaran dengan garis tajam melintang, mengikat energi yang seakan hidup.
Lyra melangkah perlahan, menyeimbangkan diri di atas bukit pasir. Setiap langkah membuat pasir bergeser, meninggalkan jejak samar yang cepat ditelan angin malam. Ia mengangkat catatan “–A” dan membisikkan pertanyaan kepada bayangan Theron. “Apakah ini yang kau maksud… pintu penghubung?”
Theron mengangguk perlahan. “Ya. Tapi bukan semua manusia mampu melewatinya. Kau harus siap—bukan hanya fisik, tapi jiwa dan darahmu. Ada yang mengintai, menunggu kesalahanmu.”
Lyra menggenggam tangannya, jantungnya berdebar. “Dan jika aku gagal?”
Bayangan itu menatapnya tajam. “Kau tak ingin tahu. Fokuslah pada simbol. Ikuti alurnya. Jangan terburu-buru.” Suaranya lembut, tapi berat seperti perintah yang tak bisa ditawar.
Saat Lyra menempelkan tangannya pada pahatan batu, udara di sekitarnya mendadak bergetar. Cahaya bulan seakan menyatu dengan simbol, menciptakan lingkaran bercahaya lembut di tanah. Rasa panas dan dingin menyapu tubuh Lyra bersamaan, seperti berada di ambang dua dunia. Hatinya berdegup kencang, napasnya tercekat, tapi bayangan Theron tetap hadir, menenangkan.
“Tahan… tarik napas… rasakan energi itu,” bisik bayangan itu.
Lyra menutup mata, membiarkan sensasi mengalir. Ia melihat kilasan gambaran—ruang gelap yang dipenuhi lilin merah, lingkaran rune yang menyalakan cahaya menyilaukan, dan sosok bermahkota hitam yang menatapnya dengan mata merah menyala. Rasa takutnya memuncak, tapi ia mengingat kata-kata Theron: fokus pada simbol, jangan terburu-buru.
Dengan hati-hati, Lyra menelusuri setiap lekuk pahatan, mengikuti alur simbol yang seakan memandu tangannya. Perlahan, tanah di sekeliling batu bergetar, pasir berpindah sendiri seolah hidup. Bayangan Theron bergerak menenangkan di sampingnya, tanpa menyentuh, hanya mengirimkan aura ketenangan yang aneh.
Tiba-tiba, suara langkah keras memecah keheningan. Lyra membuka mata, jantungnya hampir berhenti. Dari balik bukit, dua sosok muncul—manusia, tapi aura mereka berbeda. Gelap, menakutkan, dan jelas bukan bagian dari tim ekspedisi. Mereka mengawasi, menunggu gerakannya.
“Faksi itu… mereka yang Theron maksud,” Lyra berbisik, matanya terpaku pada bayangan gelap yang mendekat. Ia tahu mereka bisa menghancurkannya jika salah langkah.
Bayangan Theron mencondongkan tubuhnya ke arahnya. “Jangan panik. Gunakan simbol. Biarkan energi itu membela dirimu. Aku di sini, walau hanya bayangan.”
Lyra menarik napas dalam, membiarkan ketakutan menumpuk menjadi fokus. Tangan kanannya menyentuh simbol utama, mengikuti garis yang seakan memandu energi keluar. Cahaya bulan dan simbol berpadu, menciptakan medan pelindung tipis yang menghalangi faksi gelap itu mendekat.
Sosok bayangan itu maju satu langkah, matanya menyala merah. Ia menatap Lyra, menunggu celah. Lyra merasakan adrenalin memuncak, tapi bayangan Theron tetap menuntun pikirannya—tenang, fokus, jangan panik.
Detik demi detik terasa abadi. Pasir di sekitarnya berputar lambat, cahaya simbol berdenyut seirama detak jantungnya. Faksi gelap itu mencoba menyerang, tapi tak bisa menembus medan energi yang muncul dari simbol. Lyra menelan ludah, menekankan seluruh konsentrasi pada garis-garis pahatan, membiarkan energi mengalir melalui dirinya.
Seketika, kilatan cahaya menyambar ke udara. Faksi gelap mundur, melesat ke kegelapan malam seperti asap yang tersedot angin. Lingkaran cahaya perlahan memudar, meninggalkan pasir tenang dan bukit yang sunyi. Lyra terengah-engah, tubuhnya lemas, tapi matanya bersinar dengan kepercayaan baru.
Bayangan Theron mendekat, wajahnya serius. “Kau berhasil melewati langkah pertama. Tapi ini baru permulaan. Ada yang lebih gelap menunggu, lebih dekat dari yang kau kira.”
Lyra menatapnya, perasaan campur aduk. Takut, lega, tapi juga… penasaran. “Aku bisa melakukan ini… tapi kenapa aku selalu merasa terseret ke dunia ini?”
Theron mencondongkan tubuh, matanya penuh arti. “Karena kau berbeda. Darahmu… mengikat sesuatu yang bahkan faksi ini takut untuk disentuh. Kau bukan manusia biasa, Lyra. Dan itu membuatmu berharga… sekaligus rentan.”
Lyra menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Kata-kata bayangan itu bergaung di pikirannya—nilai, risiko, takdir. Ia tahu malam itu menandai bab baru dalam hidupnya, pertemuan antara dunia manusia dan dunia vampir yang tak bisa ia abaikan lagi.
Sebelum kembali ke tenda, Lyra menatap langit. Bulan purnama bersinar terang, seakan memberi tanda bahwa langkah berikutnya akan lebih sulit. Bayangan Theron memudar perlahan, meninggalkannya sendiri di gurun yang tenang, tapi aura kehadirannya masih melekat, menuntun langkah Lyra ke arah takdir yang perlahan terbuka.
Dan di balik bayangan bukit pasir, sesuatu—sosok bermahkota hitam—mengamati. Matanya merah menyala, menunggu saat Lyra lengah. Simbol, darah, dan keberanian—semua itu kini menjadi panggilan yang tidak bisa dihindari.
Lyra menarik napas panjang, genggam catatan “–A” di tangan, dan melangkah kembali ke tenda. Dunia arkeologi yang selama ini ia kenal sudah berubah selamanya. Dunia vampir bukan lagi hanya bayangan; ia kini bagian dari persimpangan yang tidak bisa dipilih, hanya dihadapi.