Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Erina
Hubungan Rona dan Samudra makin erat, terlebih setelah kabar kelulusan mereka berdua. Semua orang tahu, pasangan itu sudah merencanakan pernikahan setelah kelulusan. Namun, justru kebahagiaan Rona membuat hati Erina semakin panas. Ia mencari celah, kesempatan sekecil apa pun untuk memisahkan keduanya.
Siang itu, Erina berada di ruang olahraga. Ia sengaja naik ke tangga kecil untuk mengambil sebuah raket tenis. Kebetulan, Samudra masuk ke ruangan itu untuk mengembalikan bola basket ke dalam box yang terletak tak jauh dari lemari raket.
Saat Samudra menunduk, Erina pura-pura kehilangan keseimbangan.
“Ahhh!” teriak Erina, berpura-pura terjatuh.
Refleks, Samudra menoleh.
“Erina!” serunya, lalu dengan spontan membopong tubuh gadis itu agar tidak membentur lantai.
Namun, tepat saat itulah, dari balik jendela samping, dua teman Erina sudah bersiap dengan kamera ponsel, memotret momen itu tanpa sepengetahuan Samudra.
Dan sebelum Samudra sempat bicara, Erina berani mendekatkan wajahnya. Bibirnya mengecup cepat bibir Samudra.
Samudra sontak terkejut, matanya melebar. Ia langsung melepaskan Erina hingga jatuh terduduk di lantai.
“Apa-apaan kamu, Erina!?” bentak Samudra dengan nada tinggi. “Jangan pernah ulangi hal gila ini lagi!”
Erina hanya tersenyum licik, menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya, sementara teman-temannya di luar bersorak pelan setelah mendapatkan foto yang mereka mau.
“Samudra…” Erina pura-pura memelas.
“Cukup! Aku muak!” Samudra langsung berbalik, meninggalkan ruangan dengan wajah merah padam penuh emosi.
Begitu ia pergi, Erina bangkit perlahan, menahan tawa.
“Hahaha… dapat, kan? Rona pasti meledak melihat ini,” gumamnya, lalu dengan cepat mengirimkan beberapa foto ke nomor Rona.
Sementara itu, di toilet pria, Samudra menyalakan keran air dengan kasar. Ia berkali-kali membasuh wajahnya, bahkan berkumur berulang-ulang seperti orang kehilangan akal.
“Apa-apaan tadi itu… sialan!” rutuk Samudra, menatap bayangannya di kaca dengan penuh jijik.
Rico yang kebetulan ada di dalam toilet ikut memperhatikan, tak kuasa menahan tawa.
“Bro, lo kenapa sih? Kayak habis di cium kecoa aja mukanya,” godanya sambil ngakak.
Samudra menoleh dengan mata melotot.
“Iya, kecoa Alaska purba!"
Rico makin terbahak.
“Waduh, kasian amat lo, bro. Tapi sumpah, muka lo kayak orang baru aja kena musibah besar. Wkwk!”
Samudra hanya mendesah panjang, menepuk wajahnya sendiri, berharap bisa menghapus kejadian tadi dari pikirannya.
****
Sore itu, Rona sedang duduk di ruang belajarnya, menata beberapa buku persiapan kuliah. Ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pelan. Notifikasi dari nomor tak dikenal masuk, disertai beberapa foto.
Rona meraihnya dengan alis berkerut.
“Hm? Siapa ini…” gumamnya pelan.
Begitu jari-jarinya menyentuh layar, matanya membesar. Foto-foto itu jelas memperlihatkan Samudra—tunangan yang ia cintai—sedang membopong Erina. Dan lebih parahnya, ada satu foto yang menunjukkan bibir Erina menempel di bibir Samudra.
Rona terdiam. Dadanya serasa diremas. Nafasnya tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
“Tidak mungkin… Samudra! Pasti ini AI. Tapi, ini terlalu nyata? ” bisiknya lirih.
Detik berikutnya, pesan tambahan masuk.
📩 “Lihat sendiri, Rona. Tunanganmu tak sebersih yang kau kira. Masih mau percaya sama dia?”
Tangan Rona bergetar hebat. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa… kenapa dia lakukan ini padaku?” ucapnya dengan suara gemetar.
Rona menggenggam ponselnya erat-erat, antara ingin langsung menelepon Samudra atau justru membuang jauh-jauh. Hatinya dilanda badai—antara percaya pada Samudra atau pada bukti foto yang kini menusuk matanya.
Tak lama, nenek Sindy—mengetuk pintu.
“Rona sayang, kamu baik-baik saja? Sejak tadi tidak keluar kamar. ” tanya sang nenek dari luar.
Rona buru-buru menyeka matanya.
“I-iya, Nek… aku baik-baik aja,” jawabnya, meski suaranya bergetar.
Begitu pintu kembali tertutup, air matanya pecah.
“Samudra… kenapa harus di saat seperti ini?”
****
Malam itu, Samudra baru saja pulang dari latihan. Ponselnya berdering berkali-kali, pesan dari Rona masuk tanpa henti. Ia merasa ada yang tak beres. Dengan cepat, ia menghubungi Rona dan memutuskan untuk datang ke rumahnya.
Begitu tiba, Rona sudah menunggunya di teras. Wajahnya dingin, matanya sembab karena tangisan yang belum kering.
“Sayang…” Samudra menyapa pelan, mencoba mendekat.
Namun, Rona segera mengangkat ponselnya, menunjukkan layar berisi foto-foto tadi.
“Jangan panggil aku dengan nada selembut itu, Samudra. Jelaskan ini semua!”
Samudra menatap foto itu, rahangnya mengeras.
“Itu… bukan seperti yang kamu pikirkan.”
Rona tertawa hambar, suaranya bergetar.
“Bukan seperti yang aku pikirkan? Samudra, aku melihatmu membopong dia… bahkan…” suaranya tercekat, “…dia mencium kamu!”
Samudra menghela napas kasar, emosinya ikut memuncak.
“Dia menjebak aku, Na! Aku nggak pernah mau itu terjadi! Aku jijik sama kelakuan dia!”
“Tapi bibir kalian, bersentuhan! Kenapa kamu ada di sana, sendirian, berduaan sama dia?” Rona menatapnya tajam, penuh luka. “Kenapa kamu kasih dia kesempatan untuk melakukan hal ini?”
Samudra meremas rambutnya sendiri, frustrasi.
“Aku cuma masuk ke ruang olahraga buat balikin bola! Dia yang sengaja jatuh, aku reflek nolong, terus… dia tiba-tiba nyium aku! Aku langsung pergi, Rona!”
Rona menggigit bibirnya, menahan tangis yang makin deras.
“Samudra, aku pengen percaya sama kamu… tapi fotonya terlalu nyata. Aku nggak kuat liatnya.”
Samudra melangkah lebih dekat, menatap Rona dengan mata yang memohon.
“Tolong, percaya sama aku. Kamu tau siapa aku, kamu tau aku nggak pernah main-main soal kita.”
Namun Rona mundur selangkah, suaranya berbisik namun menusuk.
“Kalau kamu sayang aku, kenapa aku harus sakit kayak gini, Samudra?”
Sunyi menyelimuti mereka. Hanya suara serangga malam yang terdengar, sementara dua hati yang biasanya begitu dekat kini terasa dipisahkan tembok tinggi.
Peka dikit
terimakasih sudah di promosikan