Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 Efek samping dunia peran
Arzhel terdiam sejenak, lalu mendecak kesal. Matanya menyipit, wajahnya semakin dingin. Ia baru sadar kalau semuanya sudah direncanakan sejak awal.
Arzhel, Dewa Modern✈️: “Jadi begitu caramu berbisnis, hah? Kau menjual teknik rusak seharga 300 koin… lalu menjual obat penetralnya seharga 100 koin tambahan. Dasar bajingan licik!”
Balasan masuk cepat, penuh nada licik.
Dewa Seribu Muka🎭: “Hehehe~ anda memang cerdas. Itu yang membuat saya suka pada pelanggan seperti anda 😉”
Arzhel menggertakkan giginya, menahan amarah. Ia ingin segera membeli pil itu, tapi notifikasi status koin ilahi membuatnya semakin frustrasi.
Saldo: 💰 Koin Ilahi: 0
Ia mendengus, menutup ponselnya dengan kasar. Kepalanya berat, tubuhnya lelah, dan emosinya masih bergolak.
Kini, syuting sudah selesai. Kru dan pemain lain mungkin masih sibuk membicarakan aktingnya, tapi Arzhel tak peduli. Ia berdiri, mengambil tasnya, dan berjalan menuju pintu keluar studio.
Langkahnya berat namun mantap, wajahnya tetap datar. Pikiran dan hatinya masih penuh dengan sisa emosi dari dunia peran.
Saat melewati lorong, bayangan adegan tadi terulang di kepalanya—tatapan Laura, jeritan Austin, dan rasa dingin dari pisau yang menusuk dadanya. Semuanya begitu nyata, begitu membekas.
Arzhel menghela napas panjang. “Jika ini benar-benar pedang bermata dua… maka aku harus belajar mengendalikannya. Kalau tidak, maka aku sendiri yang akan hancur.”
Ia keluar dari tempat syuting, udara malam menyambutnya dengan dingin. Lampu jalan menyinari sosoknya yang berjalan perlahan.
Arzhel berjalan pulang dengan langkah berat. Ajakan minum-minum dari sutradara dan para kru ia tolak mentah-mentah. Bukan karena ia antisosial, tapi karena pikirannya yang masih tidak stabil—emosi dari “dunia peran” belum sepenuhnya hilang. Ia takut kalau sampai lepas kendali dan melakukan sesuatu yang memalukan.
Udara malam terasa lembab. Lampu-lampu jalan redup, dan di sisi kanan jalan, sebuah supermarket masih menyala terang. Arzhel berhenti, menatap papan neon yang berkelip samar.
“Mungkin ada beberapa barang yang bisa aku jual di Market Ilahi,” gumamnya.
Ia melangkah masuk. Matanya menyapu rak-rak belanja, lalu mengambil beberapa barang sehari-hari seperti 1 pack pulpen, 3 mie instan, sikat gigi, shampo, sabun batang, dan parfum botol kecil.
Setelah membayar di kasir, Arzhel kembali melangkah menuju kos. Namun begitu sampai di depan gerbang, wajahnya langsung kaku.
Sosok Bu Rina sudah berdiri di sana. Tubuh gemuknya tegap, wajahnya merah, dan tatapannya menusuk seperti pedang.
“Arzhel!” suaranya menggema tajam. “Sudah sebulan lebih kamu janji mau bayar sewa! Katanya nunggu gaji bulan lalu, sekarang bilang mau nunggu gaji lagi? Jangan-jangan kamu memang cuma numpang gratis di sini, ya?”
Arzhel menunduk. Ia bisa merasakan kepalanya berdenyut, tapi ia mencoba menahan diri. “Maafkan aku... aku akan membayarnya. Tiga hari lagi.”
“Tiga hari?!” Bu Rina mendengus keras. Jarinya yang tebal langsung nyletik ke dahi Arzhel yang menunduk.
Plak! Plak!
“Kamu pikir tempat saya ini apa, hah? Panti sosial? Dasar anak kampung tak tahu diri! Orang-orang kayak kamu tuh cuma bisa numpang hidup!”
Plak! Plak!
Telunjuk itu kembali menekan, menghina, menusuk harga dirinya lebih dalam daripada sekadar rasa sakit fisik.
Arzhel tetap diam. Rahangnya mengeras, matanya menunduk. 'Tenang… aku harus tenang… ini hanya emosi sisa dunia peran...'
Tapi lidah Bu Rina tak berhenti menamparnya dengan kata-kata kejam.
Plak! Plak!
Telunjuknya kembali menjitak kening Arzhel.
Sesuatu dalam dirinya meledak.
TAP!
Dalam sekejap, tangannya terangkat dan mencengkeram telunjuk Bu Rina, lalu memelintirnya.
“Aaaarghhh!!!” teriak Bu Rina, wajahnya memerah menahan sakit.
Arzhel baru tersadar—urat di pelipisnya menegang, matanya nyaris kosong. Sebelum telunjuk itu patah, ia segera melepaskannya. Napasnya memburu, tubuhnya sedikit gemetar.
“…Maafkan aku,” katanya datar, hampir tanpa intonasi.
Bu Rina terdiam sejenak, menatapnya dengan mata penuh teror. Ia mundur perlahan, seolah sedang menatap monster yang siap menerkam, lalu berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Arzhel menghela napas berat, membuka pintu kamarnya dengan kasar, lalu BLAAM! membantingnya hingga seluruh kos berguncang.
Ia berdiri di dalam kamar gelap, menunduk, napasnya masih memburu. Di balik refleksi kaca jendela, ia tak yakin lagi siapa yang ia lihat. Dirinya sendiri, atau penjahat kejam itu?
Tangannya bergetar, ia menutupi wajahnya. Efek dari dunia peran masih menghantui—ia tak lagi bisa membedakan dirinya dengan sosok yang ia perankan.
“Aku harus… segera dapat koin… obat penawar… sebelum aku benar-benar hilang.”
Arzhel membuka ponsel, lalu menekan ikon aplikasi Market Ilahi. Menu Jual Barang terbuka. Kamera otomatis menyala, dan satu per satu barang yang ia scan langsung lenyap, berpindah ke etalase pasar para dewa.
Kecuali mie instan—itu ia sisihkan, karena ia tahu ada Dewa Kuliner yang sudah ketagihan dengannya.
Di layar, muncul deskripsi barang-barang yang baru saja ia masukkan. Arzhel tersenyum tipis, lalu mulai mengetik dengan gaya marketing paling berlebihan yang bisa ia pikirkan demi menarik minat para dewa.
[Pulpen– Pena Keabadian Tinta Hitam]
Sebuah pena yang ringan tapi elegan, mampu menuliskan ide-ide brilian dengan cepat. Konon setiap garis tinta hitamnya bisa menyimpan pikiran penggunanya. Tidak perlu mencelupkannya ke tinta, pena ini dapat langsung digunakan. Harga: 100 Koin Ilahi.
[Sikat Gigi– Sikat Mulut Putih Bersinar]
Alat pembersih gigi yang simpel tapi efisien. Meski sederhana, fungsinya menakjubkan—mengusir sisa-sisa makanan dan membuat senyum lebih menawan. Dengan ini, nafas harum seperti bunga di musim semi bukan lagi mimpi. Harga: 70 Koin Ilahi.
[Shampo lavender– Cairan Pembersih Rambut beraroma lavender]
Cairan ajaib yang membuat rambut wangi, lembut, dan bercahaya seolah disinari rembulan. Ramuan khusus rambut yang mampu mengalahkan minyak rambut raja sekalipun. Harga: 100 Koin Ilahi.
[Sabun Batang– Batu Wangi Pembersih Dosa]
Bentuknya sederhana, tapi fungsinya luar biasa. Sabun batang ini mampu menghapus kotoran, membuat tubuh segar, dan wanginya menempel lama. Konon setelah mandi, orang bisa merasa lahir kembali. Harga: 100 Koin Ilahi.
[Parfum– Embun Wangi Abadi]
Cairan wangi dalam botol kecil. Sekali semprot, wanginya menempel hingga berjam-jam, membuat siapa pun di dekatmu terpikat. Makhluk fana menyebutnya parfum. Para dewa mungkin akan menyebutnya senjata rahasia asmara. Harga: 130 Koin Ilahi.
Arzhel membaca deskripsi itu sambil tersenyum miring. “Jika para dewa mudah kagum dengan mie instan, barang-barang ini pasti bisa laku keras.”
Ia merebahkan diri di kursi, menatap layar yang kini menampilkan etalase jualannya. Hatinya masih terasa lelah, tapi setidaknya ada sedikit harapan.
Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya.
📩 Pesan Baru dari Dewa Kuliner🍜:
Dewa Kuliner🍜: “Sepertinya kau mulai aktif menjual barang lagi, sobat. Tapi kenapa aku tidak melihat mie instan di etalasemu?”
Arzhel menghela napas pendek. “Sudah kuduga… dia pasti langsung sadar.”
Ia kemudian membalas pesan tersebut.
Arzhel, Dewa Modern✈️: “Aku sengaja tidak memasukkannya. Aku tahu banyak dewa yang berebut untuk itu, tapi aku sudah berjanji akan menjualnya padamu. Jadi, janji itu harus kutepati.”
Dewa Kuliner🍜: “😭😭😭 Kau benar-benar berbeda dengan pedagang lain… Dewa Modern, kau sungguh bijak dan pengertian! Sebagai tanda terima kasih, mulai hari ini aku akan mengikuti akunmu.”
Notifikasi lain segera muncul:
🔔 [Dewa Kuliner🍜: mulai mengikuti anda]