NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Romansa / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.

Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14: Boneka baru Vergil

Setelah meninggalkan Fiona, Vergil menyusuri koridor kastil mendiang Pangeran Leo, perkamen berisi rencana Fiona di tangannya. Matanya membaca setiap kata yang tertulis dengan cermat, seolah-olah ia sedang membedah strategi militer musuh. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, sebuah ekspresi yang nyaris tidak terlihat, namun di dalamnya tersirat kepuasan yang dalam. Rencana yang dibuat oleh Fiona memang licik, detail, dan penuh perhitungan, sebuah hal yang tidak ia duga dari seorang gadis yang dianggap naif.

Ia berhenti di ujung koridor, memandangi bulan yang bersinar terang melalui jendela besar, pandangannya menerawang jauh. Rencana ini tidak hanya akan menjatuhkan Tristan, tetapi juga akan menimbulkan kekacauan yang akan menguntungkan dirinya. Ia telah berhasil menjebak Tristan dengan memotong pasokan dananya, dan kini ia akan melanjutkan langkah selanjutnya. Tentu saja, ia memiliki rencananya sendiri, dan ia tidak akan membiarkan Fiona tahu bahwa ia telah menggunakannya jauh sebelum ia sadar.

"Aku selalu tahu kau tidak selemah itu," gumam Vergil, berbicara pada angin malam. "Kau adalah pion yang sangat menarik, Fiona." Ia menyeringai sinis, tatapannya dingin namun penuh ketertarikan. "Tapi pada akhirnya, semua pion akan dikorbankan, bukan?"

Ia kembali melanjutkan langkahnya, tangannya menggenggam perkamen itu dengan erat. Ia harus memastikan rencana ini berjalan dengan mulus, dan ia harus memastikan bahwa Tristan benar-benar hancur. Bukan karena ia peduli pada dendam Fiona, tetapi karena ia ingin melihat seberapa jauh Fiona akan melangkah. Ia ingin melihat apakah api balas dendam dalam diri Fiona akan membakarnya hingga menjadi abu, atau justru menguatkannya. Vergil menyukai permainan kekuasaan, dan Fiona adalah lawan main yang paling menarik yang pernah ia temui. Ia tidak sabar untuk melihat langkah Fiona selanjutnya setelah ia memberinya kejutan lain.

Vergil duduk di sebuah bar yang remang-remang, di sudut terdalam distrik kumuh. Tempat itu adalah sarang informasi, di mana rahasia diperdagangkan layaknya mata uang. Di hadapannya, seorang pria bertopeng gagak menatapnya, matanya menyorotkan kecerdasan tajam di balik kegelapan. Mereka berbicara tentang transaksi besar, tentang utang yang menumpuk, dan nama Pangeran Tristan disebut berulang kali.

"Aku butuh kalian untuk menyebarkan berita," Vergil berkata, suaranya pelan dan penuh otoritas. "Berita yang akan membuat reputasinya hancur berkeping-keping."

Pria bertopeng gagak itu menyeringai. "Apa yang harus kami sebarkan, Yang Mulia?"

"Ceritakan tentang bagaimana Tristan berutang kepada rentenir dan bagaimana ia menggunakan kekuasaan serta popularitasnya untuk menipu para pedagang kecil dan rakyat biasa agar mau meminjamkan uang kepadanya, menjanjikan keuntungan yang tidak pernah ia berikan," jelas Vergil. "Aku ingin setiap sudut kota ini mendengar cerita tentang betapa liciknya dia, betapa serakahnya dia, dan bagaimana ia mengkhianati kepercayaan rakyatnya. Aku ingin rumor-rumor itu menyebar seperti wabah, melumpuhkan popularitasnya yang selama ini menjadi andalannya."

"Tentu saja," jawab pria itu sambil mengangguk. "Itu bisa diatur."

Di sisi lain, di jalanan yang ramai, anak-anak yatim piatu yang biasanya mengamen dan mencopet, kini berbisik tentang cerita baru. Mereka menyebarkan rumor, dari satu gang ke gang lain, dari satu pedagang ke pedagang lain. Cerita yang sama mulai menyebar, semakin banyak mulut yang menceritakan hal itu, semakin banyak orang yang mempercayainya. Mereka bercerita tentang kebrutalan para penagih utang yang mencari Tristan di distrik kumuh, dan bagaimana mereka disiksa jika tidak membayar uang.

"Aku bahkan dengar, dia membunuh salah satu pedagang yang menolak membantunya," bisik seorang anak laki-laki kepada temannya. "Dia kejam dan tak berperasaan."

"Itu benar," kata anak lainnya. "Kakakku yang bekerja di pelabuhan bilang, Tristan sering mencuri barang dagangan para nelayan."

Bisik-bisik itu menyebar dari mulut ke mulut, dari satu telinga ke telinga lain, hingga sampai ke telinga-telinga para bangsawan di Istana Kerajaan. Desas-desus itu mulai menjadi bumerang bagi Tristan. Orang-orang mulai meragukan karismanya, dan popularitasnya yang selama ini menjadi andalannya kini menjadi kelemahan terbesarnya.

Tristan, dengan wajah pucat pasi, membanting gelas anggurnya ke meja hingga pecah, cairan merah pekat itu membasahi karpet mahal. Di seberangnya, Felix duduk dengan tenang di sofa, tatapannya datar, sama sekali tak terusik oleh ledakan emosi adiknya. Tristan bangkit dari tempat duduknya, mencengkeram kerah bajunya sendiri, seolah itu bisa membuatnya bernapas lebih lega. "Tidak mungkin!" teriak Tristan, suaranya dipenuhi kepanikan. "Bagaimana bisa rumor-rumor itu menyebar begitu cepat? Aku sudah berusaha membungkamnya, tapi setiap orang yang kuajak bicara selalu menatapku dengan tatapan jijik! Popularitasku ... popularitasku hancur!"

"Oh, ayolah," sahut Felix, nadanya dingin dan sinis. "Kau sudah tahu sejak awal, bukan? Setiap langkah yang kau ambil, setiap pesona yang kau tebar, semua itu adalah pedang bermata dua. Kau terlalu bergantung pada rakyat jelata, pada tepuk tangan dan sanjungan mereka, sehingga kau lupa betapa mudahnya semua itu berbalik melawanmu." Ia menyesap anggurnya perlahan, menikmati setiap tetesnya, seolah-olah tragedi yang menimpa adiknya adalah hiburan yang menyenangkan.

Tristan berjalan mondar-mandir, kedua tangannya mengepal erat, otaknya bekerja keras, memikirkan siapa yang berani bermain-main dengannya. "Siapa yang melakukannya? Apakah itu Vergil? Dia pasti sudah tahu," gumamnya, matanya menyorotkan kemarahan. Ia menoleh ke arah Felix, tatapannya memohon. "Kau harus membantuku, Kak. Kau punya pengaruh, kau bisa membalikkan keadaan ini. Kau bisa membungkam mereka!"

Felix menghela napas panjang, meletakkan gelasnya di atas meja, lalu menatap adiknya dengan tatapan meremehkan. "Kau sudah melakukan tindakan bodoh, Tristan. Kau membiarkan kelemahanmu terekspos begitu saja. Apa yang bisa kulakukan? Rakyat tidak akan mendengarkan kata-kataku." Ia kemudian tertawa pelan, tawanya terdengar seperti lonceng kematian. "Kau sudah menempuh jalan yang salah. Jalan itu telah membawamu ke jurang kehancuran. Aku tidak akan membuang tenagaku untuk menyelamatkan orang bodoh sepertimu. Kau harus membayar konsekuensi dari tindakanmu sendiri." Ia kemudian bangkit dan berjalan pergi, meninggalkan Tristan sendirian, yang kini diliputi kepanikan dan rasa putus asa.

Tristan, yang kini diliputi kepanikan dan rasa putus asa, berjalan ke kediaman Vergil di tengah malam, menemukannya sedang membaca buku kuno di dekat perapian. Tristan langsung saja menghampirinya, tidak peduli dengan kesopanan. "Kau!" serunya, suaranya serak. "Aku tahu kau yang merencanakan semua ini! Apa yang kau inginkan dariku?"

Vergil meletakkan buku itu, menatap Tristan dengan tatapan dingin dan menusuk. "Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak akan membantumu keluar dari masalah ini," jawabnya, suaranya datar. Ia menyeringai sinis, senyum yang sama persis seperti saat ia menjebak Tristan sebelumnya. "Kau ingin kembali berjaya? Aku bisa memberikannya, tapi ada harganya."

"Harga? Apa maksudmu?" tanya Tristan, matanya membelalak, sebuah harapan terakhir muncul di benaknya.

"Kau harus berutang padaku," bisik Vergil, suaranya terdengar seperti ular yang berbisik. "Aku akan menghubungkanmu dengan salah satu kenalanku, seorang saudagar yang memiliki jaringan finansial yang sangat luas. Dia akan memberimu modal untuk menjalankan bisnis baru, bisnis yang akan membuat namamu kembali dielu-elukan. Tapi, dengan imbalan itu, kau akan terikat dengannya dan semua uangnya. Kau akan menjadi boneka mereka."

Tristan terdiam, pikirannya kalut. Ia tahu, tawaran Vergil sangat berbahaya, namun ia tidak punya pilihan. Popularitasnya sudah hancur, ia tidak punya uang, dan Felix telah meninggalkannya. Ia mengangguk lemah, menerima takdirnya. "Baiklah," jawabnya dengan suara serak. "Aku akan berutang padamu."

Vergil tersenyum puas, sebuah senyum kemenangan. "Pilihan yang cerdas. Aku yakin, kau akan bersenang-senang di masa depan, Tristan. Tapi jangan pernah lupa... utang harus dibayar."

Tristan, yang kini resmi menjadi boneka Vergil, memanggil Vergil di kediamannya, wajahnya menyorotkan dendam. "Aku sudah berutang padamu, sekarang aku ingin membalas dendam pada Felix. Dia yang membuatku hancur, dia yang membuatku menjadi seperti ini. Aku ingin menghancurkannya! Apa yang harus kulakukan?"

Vergil mengangkat satu alisnya, senyum sinisnya terukir di bibirnya. "Apakah kau yakin?"

"Aku tidak pernah seserius ini seumur hidupku," jawab Tristan, matanya berkobar penuh amarah. "Aku akan melakukan apa pun untuk membuatnya menderita, membuat semua rencananya hancur."

Vergil menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat, tangannya mencengkeram bahu Tristan. "Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik," bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi Tristan dapat merasakan aura mengancam yang berasal darinya. "Kau ingin membalas dendam pada Felix? Kau harus memutarbalikkan keadaan. Kau harus membuatnya terlihat seperti orang bodoh di depan Ratu Eleanor. Kau harus membuatnya berpikir bahwa ia lebih pintar dari Ratu Eleanor, dan biarkan keangkuhannya menghancurkan dirinya sendiri."

"Bagaimana caranya?" tanya Tristan, matanya membelalak, tidak mengerti maksud perkataan Vergil.

"Kau harus menyebarkan rumor bahwa Ratu Eleanor akan menguasai semua putranya yang mencoba merebut takhta, dan itu tidak adil," bisik Vergil. "Kau harus memanipulasi situasi, membuat Ratu Eleanor terlihat licik dan manipulatif, membuat semua putranya yang lain percaya bahwa ia akan mencoba mengendalikan mereka. Dengan begitu, kau akan membuat Ratu Eleanor terlihat seperti orang jahat yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kekuasaan." Vergil menyeringai, matanya menyipit, lalu melanjutkan. "Kau juga harus membuat Felix percaya bahwa Ratu Eleanor tidak peduli padanya, bahwa ia hanyalah alat yang bisa dibuang. Kau harus menyebarkan rumor yang akan membuat Felix meragukan kepercayaan ibunya. Dengan begitu, kau akan memicu perkelahian di antara mereka, dan pada akhirnya, Felix akan berbalik melawan ibunya sendiri."

Tristan terdiam, pikirannya kalut. "Kau gila! Aku tidak bisa melakukannya! Felix adalah kakakku! Dia adalah pangeran pertama! Dia pewaris takhta yang sah!"

"Benar," jawab Vergil, matanya menyipit, dan senyumnya semakin lebar. "Itulah yang akan membuat kejatuhannya semakin menyenangkan. Kau sudah kehilangan segalanya, Tristan. Apa lagi yang bisa kau takutkan? Kau tidak punya pilihan. Jika kau ingin membalas dendam pada Felix, maka kau harus menempuh jalan yang gelap. Kau harus menjadi lebih kejam daripada dia. Jangan lupakan, kau sudah berutang padaku, dan utang harus dibayar."

1
Cha Sumuk
kurang menarik krna mc ceweknya lemah,, biasa' nya klo setelah kelahiran jd kuat tp ini mlh lemah hemmm
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!