Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peta Politik Ibu Kota
Api berkobar diterpa angin sepoi, berhembus lembut membawa aroma kayu terbakar dan daging hangus. Sesekali terdengar suara berderak saat kayu lapuk patah dilahap panas. Bara merah menari liar memantulkan cahaya pada wajah-wajah yang diam membeku di sekitarnya.
Tubuh-tubuh yang tertumpuk di atas kayu perlahan berubah menjadi abu sementara cahaya api menyingkirkan gelap malam dan menelan kesunyian di sekeliling. Tidak ada doa tidak ada tangis, hanya bisu yang menggantung di udara seperti kabut yang enggan pergi.
Pertempuran siang tadi antara perkumpulan dagang Sayap Biru dan kelompok misterius berakhir dengan kesunyian. Dari dua puluh anggota yang berangkat hanya sebelas orang yang selamat, sisanya terbujur kaku di atas tanah, dingin tanpa suara. Para penyerang yang masih hidup melarikan diri meninggalkan dua belas jasad di tengah lapangan. Bau besi dari darah yang mengering bercampur dengan asap tebal mengambang pelan di udara yang lembap.
Biasanya jasad orang yang gugur akan dikuburkan dengan doa dan upacara. Tapi malam ini, di tempat terpencil jauh dari kota dan jauh dari bantuan, waktu tidak berpihak pada mereka. Mengubur satu per satu hanya akan menyita tenaga yang sudah hampir habis, dan di sekitar sini binatang buas berkeliaran, biawak besar serigala padang bahkan komodo dari rawa utara. Kuburan dangkal hanya akan menjadi jamuan bagi mereka. Membawa mayat-mayat itu pun mustahil, tidak ada gerobak tambahan, tidak ada kuda. Maka api menjadi satu-satunya jalan untuk mengembalikan mereka kepada tanah.
Beberapa langkah dari tumpukan kayu yang terbakar, api unggun kecil menyala lembut. Empat belas orang duduk mengelilinginya wajah-wajah pucat diterangi cahaya oranye yang bergetar. Di antara mereka duduk seorang gadis muda berambut panjang yang diikat rapi, matanya redup namun tegar, ia bernama Yolan, nona muda dari perkumpulan dagang Sayap Biru. Tak ada suara yang berani memecah malam, mereka hanya menatap api seolah takut kalau suara mereka bisa membangunkan arwah yang baru saja pergi.
Anul duduk tak jauh dari sana. Tatapannya kosong, pikirannya tenggelam di balik bara api yang menari. Ia akhirnya membuka suara.
“Kenapa kalian bisa diserang”
Ronald pria bertubuh kekar yang duduk di sebelahnya menarik napas panjang. “Mereka datang untuk menculik nona muda” jawabnya pelan.
Anul mengangguk tanpa berkata apa-apa membiarkan Ronald melanjutkan. Dari kisah yang terurai malam itu ia perlahan memahami betapa rumitnya dunia perdagangan di ibukota.
“Ibukota adalah jantung dari segalanya,” ucap Ronald. “Ratusan organisasi besar dan kecil hidup di sana, semua mencari untung dan pengaruh. Tapi dari sekian banyak hanya empat yang benar-benar berkuasa, yaitu Akademi Militer, Rumah Dagang Apel Emas, Paviliun Pil, dan Rumah Tempa.”
Ia menatap api, wajahnya kelam diterpa cahaya.
“Akademi Militer berada langsung di bawah perintah kerajaan. Tiga lainnya berdiri sendiri, sudah berumur ribuan tahun dengan aturan yang bahkan tak bisa disentuh oleh hukum kerajaan.”
“Sayap Biru,” lanjutnya, “adalah cabang dari Rumah Dagang Apel Emas. Semua kelompok pedagang di wilayah kerajaan berada di bawah pengawasannya agar harga barang tetap seimbang di seluruh negeri. Tapi Sayap Biru tidak sendirian, ada satu lagi yang kekuatannya hampir seimbang, yaitu perkumpulan dagang Awan Kelabu. Dua kelompok ini menjalankan seluruh urusan perdagangan di wilayah Kerajaan Awan Petir. Sayap Biru mengatur jalur luar Awan Kelabu mengurus urusan dalam.”
Ronald menunduk suaranya melemah.
“Masalah dimulai ketika ketua Awan Kelabu, Anwar, ingin menyatukan dua kelompok lewat pernikahan antara anaknya dan Yolan putri tunggal ketua Sayap Biru, Edward. Tapi Edward menolak. Penolakan itu dianggap penghinaan oleh Anwar yang ambisius. Sejak saat itu, ia berusaha menekan Sayap Biru dengan segala cara. Termasuk mencoba menculik nona muda untuk dijadikan alat tawar menawar.”
Suasana di sekitar api menjadi berat, hanya ada suara kayu yang retak perlahan.
Konflik semacam itu bukan hal asing di ibukota. Di tempat di mana kekuasaan dan harta menjadi matahari kehidupan, pertikaian adalah bayangan yang tak bisa dihapus. Bahkan keluarga kerajaan pun menyimpan racun di balik senyum pesta mereka. Tak ada kedamaian sejati di pusat kekuasaan, hanya sandiwara dan ambisi.
“Hooaamm” Biro menguap lebar meregangkan tubuhnya. “Ngantuk sekali. Cerita kalian terlalu panjang.”
Beberapa orang menoleh, sebagian menatap kesal, tapi Yolan justru tersenyum tipis.
“Kalau kau mengantuk kau bisa tidur di keretaku,” ucapnya pelan. Suaranya lembut, tapi cukup jelas membuat semua kepala di sekeliling menoleh.
Arum gadis berwajah manis yang duduk di seberang, menghela napas pelan.
"Nona muda jatuh cinta pada pria yang bahkan tidak tahu cara menutup mulut saat menguap? Dunia benar-benar aneh," begitu pikirnya dalam hati.
Biro yang sejak di desa belum pernah didekati perempuan secantik itu, langsung tersenyum lebar. Pipi merahnya menandakan campuran gugup dan bangga. Para pengawal Sayap Biru memandang dengan tatapan tak percaya, karena bagi mereka Yolan adalah sosok yang keras cerdas dan dingin. Gadis itu jarang menunjukkan sisi lembutnya apalagi kepada pria asing seperti Biro.
Malam semakin larut, api besar telah padam menyisakan abu dan bara merah yang berkerlip lembut. Satu per satu orang mulai terlelap di sekitar api unggun, hanya beberapa penjaga yang tetap berjaga di pinggir hutan. Yolan duduk diam menatap bara yang mulai redup, wajahnya teduh tapi matanya menyimpan sesuatu, mungkin rindu pada ayahnya di ibukota atau kekhawatiran akan apa yang menanti di sana.
Pagi datang perlahan, embun menggantung di ujung daun ketika rombongan bersiap melanjutkan perjalanan. Kereta-kereta Sayap Biru berderet rapi di depan, diikuti kereta kecil milik Anul dan kedua temannya. Roda kayu berderak di atas tanah basah, burung-burung berkicau di antara pepohonan menandai dimulainya hari baru.
Biro yang duduk santai di atas kereta, tampak penuh semangat. “Anul kau lihat kan aku tidak kalah darimu dalam urusan wanita. Bahkan nona muda pun tertarik padaku.”
Anul mendengus.
“Jangan mimpi. Wanita secantik Yolan tidak akan jatuh cinta pada pria yang bahkan belum mandi sejak kemarin.”
“Aduduh kenapa kau mencubit ku?” Anul meringis sambil mengusap lengannya.
“Oh jadi menurutmu Yolan itu cantik?” tanya Arum dengan mata menyipit dan senyum tipis yang menahan api kecil di dadanya.
Biro menahan tawa sekuat tenaga, ia tahu kalau ikut tertawa, maka Arum akan menyeretnya juga. Tapi dalam hati ia senang melihat Anul yang kena batunya.
Suasana dalam rombongan sedikit lebih ringan, bahkan para pengawal yang biasanya serius sempat tersenyum melihat kelakuan mereka bertiga. Dalam perjalanan panjang yang penuh duka dan ketegangan, sedikit tawa seperti itu terasa seperti hadiah kecil dari langit.
Anul menatap hutan di kiri dan kanan jalan, udara lembap, pepohonan lebat, mengisi setiap sisi jalan itu. Dalam diam ia memikirkan hal-hal yang belum pernah ia katakan pada siapa pun tentang alasan meninggalkan desanya, tentang pesan kepala desa yang harus ia jaga tentang sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan iseng.
Menjelang sore, mereka tiba di pos peristirahatan di tepi sungai. Tempatnya sederhana namun aman. Beberapa pohon besar tumbuh di tepi air, bayangannya memantulkan cahaya senja, oranye keemasan. Suara aliran sungai lembut seperti lagu indah yang menenangkan.
Yolan duduk di tepi air, menatap bayangan langit di permukaan sungai. Ronald tak jauh darinya, membersihkan pedang yang masih berbekas oleh darah kering. Anul dan Biro duduk di sisi lain, sementara Arum berdiri dengan tatapan waspada ke arah hutan. Tak ada yang banyak bicara, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.
Angin malam turun pelan membawa aroma tanah basah, bulan muncul di antara awan tipis. Anul mendongak menatap langit yang bertabur bintang, menarik napas panjang. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya seperti firasat akan perubahan besar yang tak bisa ia hindari.
“Anul,” suara Biro memecah keheningan “kau pikir kita akan selamat setelah ini?”
Anul tidak langsung menjawab. Ia menatap sungai yang memantulkan cahaya bulan. “Kita akan selamat selama kita tidak berhenti berjalan,” ucapnya akhirnya.
Arum menoleh sebentar bibirnya tersenyum tipis. “Kau bicara seperti orang tua. Tapi aku rasa kau benar.”
Yolan yang sedari tadi diam ikut menoleh. “Perjalanan masih panjang, tapi selama kita bersama kita akan sampai.”
Ronald hanya mengangguk pelan. Di matanya masih ada kekhawatiran, tapi juga ada secercah harapan yang mulai tumbuh.
Malam itu mereka tidur di bawah langit penuh bintang.
Api unggun kecil kembali menyala menerangi wajah-wajah lelah yang mulai terlelap satu per satu. Suara air sungai menjadi pengantar yang lembut, dan untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, mereka tidur tanpa rasa takut.
Namun di balik ketenangan malam itu Anul tahu sesuatu sedang berubah. Ia tak tahu apakah itu pertanda baik atau buruk tapi setiap kali angin malam berembus dari arah utara dari arah ibukota dadanya bergetar seperti menanti sesuatu yang tak terhindarkan.
Jangan sampai pas dilantik, malah diwakilin sama Hokage desa sebelah, ya 😭🤣
~Anul 🗿