Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Sepiring Berdua
Pesan itu terkirim, layar ponsel kembali redup. Bagaskara menatapnya beberapa detik lebih lama, masih dengan dada yang naik turun tak beraturan.
Perlahan ia letakkan ponsel itu kembali ke nakas, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Akan tetapi, jemarinya sempat berdiam sejenak di atas permukaan kayu, menyalurkan sisa amarah yang masih mendidih di dalam dirinya.
Tatapannya lalu kembali pada Aliya. Wajah lelah itu masih terpejam tenang, seakan dunia di luar sana sama sekali tak berpengaruh padanya. Bagas mende-sah lirih, separuh menyesal, separuh lega karena Aliya tidak tahu apa yang baru saja terjadi.
Dia membaringkan tubuhnya di sisi sang istri, menarik selimut hingga menutupi bahu Aliya, lalu menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.
Malam ini jelas tidak berjalan seperti yang ia bayangkan, bukan hanya terhenti lebih cepat, tapi juga diwarnai kejutan yang benar-benar tidak ia harapkan.
Namun, di sela perasaan kesal dan kecewa, ada satu hal yang tak bisa ia bantah, tubuh rapuh yang terlelap di sisinya itu tetaplah miliknya, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun merenggutnya.
Dengan gerakan hati-hati, Bagaskara memiringkan tubuh, mendekat pada Aliya, membiarkan jarak di antara mereka benar-benar sirna. Dia menghirup pelan aroma samar dari rambut istrinya, lalu menutup mata.
Malam yang semula hendak ia akhiri dengan tidur lebih cepat ternyata tidak berjalan mulus. Bagaskara terjaga di tengah larut, matanya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan gelap yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu tidur di sudut kamar.
Bukan mimpi buruk yang mengganggunya, melainkan rasa lapar yang menggerogoti perutnya. Dari tadi ia memang belum makan malam.
Sejak Aliya terlihat kesakitan, ia tidak kepikiran lagi dengan urusan perut. Akan tetapi sekarang, suara keroncongan yang muncul membuatnya susah memejamkan mata kembali.
Dia menoleh ke samping, menatap Aliya yang masih terlelap. Napas wanita itu teratur, wajahnya tenang, seakan dunia benar-benar damai di dalam tidurnya. Rambutnya berantakan, beberapa helai jatuh menutupi pipi pucatnya, tapi justru membuatnya terlihat semakin rapuh.
Dalam hati, Bagas bergumam lirih. “Apa dia tidak lapar? Tidur dalam keadaan perut kosong begitu.”
Pikirannya berdebat singkat, lalu ia menghela napas kasar, menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Gerakannya hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi agar Aliya tidak terganggu.
Kakinya menjejak lantai dingin, langkah panjangnya perlahan membawa tubuh tinggi itu keluar kamar. Pintu ditutup pelan di belakangnya, menyisakan kesunyian yang lebih pekat di ruang tidur.
Bagaskara langsung menuju dapur. Suasana rumah begitu senyap, hanya terdengar suara detik jam dinding dan gesekan kecil sandal rumahnya dengan lantai.
Perutnya semakin menuntut, tapi ada alasan lain yang membuatnya memilih ke dapur, ia tidak ingin nanti Aliya bangun dalam keadaan lapar.
Begitu masuk, ia membuka kulkas, cahaya putih menyilaukan mata yang baru terbiasa dengan gelap.
Tangannya meraih beberapa bahan sederhana, nasi sisa siang tadi, telur, dan sedikit sayur. Bagi Bagas yang memang bisa dibilang mahir memasak, bahan-bahan itu sudah sangat cukup untuk menciptakan masakan super lezat.
Wajan diletakkan di atas kompor, suara minyak berdesis ketika telur pecah di dalamnya. Aroma harum perlahan memenuhi dapur, membuat perutnya semakin meronta. Bagas tidak banyak bicara, hanya fokus pada gerakan tangannya, sederhana tapi penuh maksud.
Sesuai dugaan, suara kecil dari arah tangga menarik perhatiannya. Bagaskara menoleh sekilas dan mendapati sosok Aliya turun dengan langkah pelan. Wanita itu muncul dengan wajah berantakan, rambut acak-acakan seperti awut-awutan, matanya sembab dan memerah karena kantuk.
Dia masih mengenakan piyama tipis yang sudah sedikit kusut karena tertindih bantal, langkahnya tampak goyah seperti anak kecil baru bangun tidur. Satu tangannya bahkan masih mengusap mata, seolah berusaha mengusir sisa kantuk yang membebani kelopak.
Bagaskara refleks menghentikan gerakan mengaduk nasinya. Ia menatap Aliya cukup lama, seperti tertegun dengan pemandangan sederhana itu. Dia terlihat begitu polos malam ini. Tidak ada topeng rayuan, tidak ada sikap menggoda, hanya seorang istri yang bangun karena mungkin merasakan hal sama dengannya.
Aliya mengangkat wajah, menatap Bagas dengan pandangan separuh sadar. Suaranya serak, lemah karena baru saja bangun, “Kakak bikin apa?”
“Nasi goreng.”
Selang beberapa saat, Aliya berhenti beberapa langkah dari meja makan, menunduk kecil sambil menggigit bibir bawahnya. Ia tahu suaminya tidak terbiasa melakukan hal semacam itu, dan justru itulah yang membuat hatinya hangat.
“Kirain cuma aku yang lapar,” ucapnya lirih, seakan malu.
Sejenak, Bagas melirik ke arah sang istri kemudian kembali mengaduk nasi di wajan dengan spatula. “Ya sudah, duduk. Sebentar lagi jadi.”
Tanpa protes, Aliya menurut, menarik kursi dan duduk sambil menopang dagu di meja. Matanya masih setengah terpejam, tubuhnya lelah, tapi aroma masakan sederhana itu membuat perutnya ikut meronta.
Suasana dapur larut malam itu begitu tenang, hanya ada suara nasi yang digoreng, gesekan spatula dengan wajan, dan sesekali helaan napas panjang dari Bagaskara yang sedang berusaha menahan kantuk sekaligus lapar.
Selama menunggu, Aliya sama sekali tidak bisa menahan diri untuk terus melirik ke arah Bagaskara. Dari posisi duduknya di meja makan, ia bisa melihat jelas bagaimana pria itu berdiri di depan kompor, gerakannya tegas tapi sederhana, wajahnya serius meski hanya sekadar membuat nasi goreng.
Ada sesuatu yang terasa aneh sekaligus menenangkan baginya. Mungkin karena pemandangan seperti ini sangat jarang ia dapatkan. Bagas, sang suami yang terkenal dingin, kini justru terlihat begitu “rumahan”, sibuk mengaduk nasi di wajan seolah sudah terbiasa melakukannya.
Aliya tersenyum samar, dagunya ia sandarkan di atas meja, matanya tak lepas sedikit pun dari sosok tinggi itu. Ternyata, lihat dia masak saja bisa bikin aku betah, batinnya geli.
Hingga akhirnya, aroma harum kecap yang tercampur bawang goreng memenuhi ruangan. Wangi itu menusuk hidung, mengaduk isi perut yang sejak tadi memang kosong. Bagaskara mematikan kompor, menggeser wajan, lalu menuangkan nasi goreng ke atas piring besar.
Aliya langsung duduk tegak, wajahnya berbinar penuh antusias. Ia sudah siap menyambut hidangan itu, membayangkan Bagas akan menyajikan dua piring berbeda untuk mereka berdua. Namun, dugaan itu segera terpatahkan.
Aliya sempat tertegun saat melihat Bagas hanya mengambil satu piring besar untuk dua orang. Nasi goreng spesial itu tidak dipisah, melainkan disajikan begitu saja di meja, lengkap dengan dua sendok di sampingnya.
Alis Aliya terangkat, matanya membulat kecil. “Kita makannya sama-sama?” tanyanya, separuh tak percaya.
Bagas meletakkan piring itu di tengah meja, lalu duduk berhadapan dengannya. “Iya, biar efisien … capek nyucinya,” jawabnya datar.
Alasan sederhana itu membuat Aliya spontan menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa yang hampir meledak. Meski jelas Bagas berusaha terdengar biasa saja, Aliya tahu dalam-dalam ini adalah momen yang tak pernah ia sangka akan terjadi.
Tanpa banyak protes, ia meraih sendoknya. Senyum manis merekah di wajahnya. “Ih, romantis banget sih … jangankan satu piring berdua, satu sendok bersama pun aku sama sekali enggak keberatan kalau sama Kakak hihi.”
.
.
- To Be Continued -
Nasi goreng : Agaknya dia mulai normal, tiati, Gas ~
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...