NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:349
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertaruhan Sang Ratu

Waktu terasa melambat menjadi tetesan madu yang kental saat Leo berjalan sendirian keluar dari Balai Biliar Naga. Setiap langkah yang menjauhkannya dari Isabella terasa seperti sebuah pengkhianatan fisik. Udara malam yang lembap di Sarang Tawon, yang biasanya terasa menekan, kini terasa hampa. Gema dari tawa Isabella yang penuh percaya diri saat ia setuju menjadi sandera masih terngiang di telinganya—sebuah pertunjukan keberanian yang luar biasa, atau sebuah kesalahan perhitungan yang fatal. Ia telah menyerahkan Ratunya, bidak paling berharga di papan caturnya, dengan harapan bisa memenangkan seluruh permainan. Kini, yang tersisa hanyalah penantian yang menyiksa.

Saat ia kembali ke ruko persembunyian mereka, ia disambut oleh keheningan yang sarat dengan amarah yang tertahan. Marco berdiri di tengah ruangan, tinjunya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya adalah topeng dari badai yang siap mengamuk.

"Kau meninggalkannya," kata Marco, suaranya adalah geraman rendah yang berbahaya. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah dakwaan. "Kau membiarkan bangsat itu menahannya!"

Leo tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Marco dan menatap peta Sarang Tawon yang terbentang di atas meja. Pikirannya sudah berpacu, memproses seribu skenario yang berbeda.

"JAWAB AKU!" raung Marco, amarahnya akhirnya meledak. Ia mencengkeram bahu Leo dan memutarnya dengan kasar. "Selama bertahun-tahun aku melindunginya! Aku mempertaruhkan nyawaku puluhan kali untuknya! Dan kau... kau baru mengenalnya beberapa bulan dan kau meninggalkannya di sarang ular itu?!"

"Cukup, Marco," sebuah suara tenang memotong amarah itu. Pak Tirta melangkah di antara mereka, meletakkan satu tangannya yang keriput di dada Marco yang bidang. Kekuatan di balik sentuhan itu, meskipun tidak besar, cukup untuk membuat Marco berhenti. "Kau tidak melihat apa yang terjadi di sana."

"Aku melihat seorang komandan yang meninggalkan ratunya!" balas Marco.

"Bukan," kata Pak Tirta, matanya menatap tajam pada Marco. "Aku melihat seorang Raja yang mempercayai Ratu-nya untuk memainkan permainannya sendiri. Apa kau tidak mengerti? Itu tadi bukan tindakan Leo. Itu adalah langkah Isabella. Dia yang memilih untuk tinggal. Dia yang memegang kendali. Dia baru saja menempatkan suaminya dalam posisi skak di depan lawannya, menunjukkan kepercayaan mutlak. Itu adalah sebuah pertunjukan kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripada seratus prajurit. Ratu-mu percaya pada Alkemis ini. Sudah saatnya kau juga begitu."

Kata-kata Pak Tirta perlahan meredakan amarah Marco, menggantikannya dengan pemahaman yang enggan. Ia melepaskan cengkeramannya pada Leo, meskipun wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.

"Dia benar," kata Leo akhirnya, suaranya serak. "Ini pertaruhan Isabella. Tugas kita sekarang adalah memastikan pertaruhan itu terbayar." Ia menoleh pada timnya. Wajahnya yang tenang menyembunyikan badai kecemasan di dalam dirinya. "Kita siapkan untuk kedua kemungkinan. Bianca, apa kau bisa mendapatkan visual atau audio dari dalam?"

Bianca, yang duduk di sudut dikelilingi oleh tumpukan kabel, menggelengkan kepalanya. "Negatif. Tempat itu adalah lubang hitam digital. Dindingnya tebal, dan mereka pasti menggunakan semacam peredam sinyal. Aku tidak bisa menembusnya tanpa berada di dekat sana. Kita buta dan tuli."

"Kalau begitu, kita akan menjadi telinga bagi seluruh Sarang Tawon," kata Pak Tirta. Ia membuka sebuah tas dan mengeluarkan serangkaian alat penyadap mikro dan kamera seukuran kancing. "Riko, Maya. Aku ingin kalian menyebar. Pasang ini di setiap warung kopi, setiap pangkalan ojek, setiap tempat di mana orang-orang Bangau mungkin berkumpul di sekitar balai biliar itu. Kita mungkin tidak bisa mendengar apa yang terjadi di dalam, tapi kita akan mendengar setiap bisikan di luarnya."

Si Kembar mengangguk dan lenyap ke dalam kegelapan malam seperti hantu.

"Marco," lanjut Leo. "Aku ingin kau dan sisa Legiun berada dalam posisi siaga. Siapkan rencana penyerbuan. Pak Tirta, kau yang pimpin taktiknya. Jika pukul satu dini hari lewat lima menit kita tidak mendengar kabar baik, dan Isabella tidak keluar dari tempat itu... kita akan meruntuhkan balai biliar itu hingga menjadi debu."

Selama beberapa jam berikutnya, ruko kecil itu berubah menjadi pusat komando yang tegang. Pak Tirta dan Marco membentangkan denah kasar dari balai biliar itu di lantai, merencanakan titik-titik penyerbuan, medan tembak, dan rute evakuasi. Setiap kemungkinan diperhitungkan. Mereka bekerja dalam keheningan yang efisien, setiap gerakan mereka adalah pelampiasan dari kecemasan yang mereka rasakan.

Leo, di sisi lain, duduk sendirian di depan sebuah monitor, mendengarkan umpan audio dari penyadap-penyadap yang dipasang oleh Si Kembar. Sebagian besar hanyalah suara-suara malam di kawasan kumuh: anjing yang menggonggong, musik dangdut dari kejauhan, obrolan para penjaga malam. Ia mencoba menyusun gambaran dari ketiadaan informasi, mencoba membaca takdir Ratunya dari gema-gema di lorong-lorong gelap. Setiap menit yang berlalu terasa seperti siksaan. Ia telah mempertaruhkan segalanya pada kecerdasan Hartono dan kesetiaan Ratu-nya. Jika salah satu dari mereka gagal...

Sementara itu, di dalam sarang ular, Isabella sedang memainkan permainan paling berbahaya dalam hidupnya.

Setelah Leo pergi, suasana di ruang belakang balai biliar itu berubah. Rasa hormat yang tadi ditunjukkan Bangau kini bercampur dengan rasa ingin tahu yang predatorius. Ia kini sendirian dengan seekor singa betina yang terluka, dan ia ingin tahu seberapa tajam cakarnya.

"Ratu tanpa kerajaannya," kata Bangau, menuangkan arak beras ke dalam dua cangkir kecil. "Pemandangan yang langka."

"Kerajaan bukanlah sebuah tempat, Bangau," balas Isabella dengan tenang, menerima cangkir itu tanpa ragu. "Kerajaan adalah sebuah ide. Dan ide tidak bisa dihancurkan."

"Ide tidak bisa menghentikan peluru," kata Bangau sambil tersenyum.

Mereka duduk dalam keheningan, saling mengukur. Anak buah Bangau berdiri di sudut-sudut ruangan, tangan mereka tidak pernah jauh dari senjata di pinggang mereka. Isabella sama sekali tidak terintimidasi. Ia duduk tegak, memancarkan aura kekuasaan yang begitu murni hingga membuat ruangan yang kumuh itu terasa seperti ruang singgasana. Ia bukan sandera. Ia adalah seorang diplomat di wilayah musuh.

"Katakan padaku, Ratu," kata Bangau, memecah keheningan. "Siapa sebenarnya kokimu itu? Dia berbicara seperti seorang filsuf, bergerak seperti seorang pembunuh, dan membuat penawaran seperti seorang iblis. Dia bukan sekadar koki."

"Dia adalah masa depan," jawab Isabella, suaranya penuh dengan keyakinan. "Dia adalah apa yang terjadi ketika kau mencampurkan kecerdasan dengan tujuan. Dia melihat dunia bukan sebagai apa adanya, tetapi sebagai apa yang seharusnya."

"Dan apa seharusnya dunia ini menurutnya?"

"Sebuah tempat di mana pria sepertimu tidak perlu lagi menjadi raja di tumpukan sampah," kata Isabella, kata-katanya menusuk tajam. "Sebuah tempat di mana kekuatanmu bisa digunakan untuk membangun, bukan hanya untuk mengintimidasi."

Bangau tertawa, tawa yang serak. "Kau sangat pandai bicara. Tapi di Sarang Tawon, kata-kata tidak ada harganya. Kekuatan adalah satu-satunya mata uang."

Mereka melanjutkan permainan pikiran itu selama berjam-jam. Bangau mencoba menggali informasi tentang musuh Leo, tentang sumber daya mereka, tentang kelemahan mereka. Isabella, di sisi lain, membalikkan setiap pertanyaan, mengubahnya menjadi sebuah cermin yang memantulkan keterbatasan dan ambisi Bangau sendiri. Ia tidak menjawab pertanyaannya, ia justru menanamkan ide-ide baru di dalam benak Bangau: ide tentang kekuasaan yang lebih besar, tentang panggung dunia, tentang warisan yang lebih dari sekadar menjadi hantu yang ditakuti di gang-gang sempit.

Namun, di bawah permukaan yang tenang itu, Isabella sangat sadar akan bahaya yang ia hadapi. Ia merasakan tatapan lapar dari anak buah Bangau. Ia melihat salah satu dari mereka, seorang pria muda dengan mata yang kejam, berbisik pada Bangau. Ia tahu bahwa ketenangannya, keagungannya, adalah satu-satunya perisai yang ia miliki. Satu saja tanda ketakutan, satu saja keraguan, dan mereka akan menerkamnya.

Pada satu titik, pria muda yang kejam itu mendekati mejanya, seolah-olah untuk mengisi ulang cangkir tehnya. Ia sengaja "tersandung" dan menumpahkan teh panas itu ke tangan Isabella.

Rasa sakit yang membakar langsung menjalari kulitnya. Itu adalah sebuah tes. Sebuah provokasi.

Isabella tidak berteriak. Ia bahkan tidak tersentak. Ia hanya menatap pria muda itu dengan matanya yang dingin. "Lain kali," katanya pelan, "gunakan nampan. Itu akan membantumu menyeimbangkan diri."

Ia kemudian mengambil serbet, dengan perlahan dan anggun mengeringkan tangannya yang memerah, dan kembali menatap Bangau seolah tidak terjadi apa-apa. "Di mana kita tadi?"

Bangau menatap anak buahnya dengan tajam, lalu kembali menatap Isabella dengan ekspresi baru di matanya. Ekspresi kekaguman. Wanita ini terbuat dari baja.

Meski begitu, saat jam di dinding terus berdetak mendekati pukul satu dini hari, bahkan ketenangan Isabella pun mulai terasa rapuh. Jantungnya berdebar kencang di balik topeng ketenangannya. Apakah Leo benar? Apakah Hartono bisa dipercaya? Atau apakah ia baru saja melakukan kesalahan paling bodoh dan paling sombong dalam hidupnya?

Di ruko persembunyian, ketegangan telah mencapai puncaknya. Waktu menunjukkan pukul 12:45. Lima belas menit lagi menuju tenggat waktu.

"Tidak ada apa-apa," lapor Bianca, suaranya tegang. "Tidak ada komunikasi polisi yang tidak biasa. Tidak ada pergerakan pasukan. Semuanya tenang. Terlalu tenang."

"Mungkin Hartono menipu kita," geram Marco. "Mungkin ini semua jebakan untuk memancing kita keluar."

"Atau mungkin unit hantu itu menggunakan saluran komunikasi yang bahkan tidak bisa ditembus oleh Bianca," kata Pak Tirta, suaranya muram. "Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk."

Leo berdiri, wajahnya pucat di bawah cahaya lampu. "Waktunya bersiap. Marco, siapkan timmu. Kita akan bergerak dalam lima menit."

Saat mereka semua mulai memeriksa senjata dan mengenakan rompi anti-peluru, Leo berjalan ke sudut di mana Bianca masih bekerja dengan panik. "Bianca, ada satu hal lagi yang bisa kau lakukan," katanya pelan. "Aku tidak butuh kau mendengar komunikasi mereka. Aku butuh kau melihat sesuatu yang lain. Lupakan polisi. Lacak semua menara BTS di sekitar Kali Adem. Aku ingin kau mencari lonjakan penggunaan data seluler yang tidak normal dari ponsel-ponsel burner. Pasukan khusus tidak akan menggunakan radio biasa, tapi mereka pasti berkomunikasi satu sama lain melalui aplikasi terenkripsi."

Itu adalah sebuah pertaruhan terakhir, sebuah ide yang lahir dari keputusasaan. Bianca mengangguk, jemarinya kembali terbang di atas keyboard, mengubah parameternya.

Di balai biliar, waktu menunjukkan pukul 12:55. Bangau meletakkan sebuah pistol revolver tua di atas meja di antara dirinya dan Isabella. Suara dentumannya yang pelan di atas kayu membuat semua orang di ruangan itu menegang.

"Lima menit lagi, Ratu," kata Bangau, senyumnya telah lenyap. "Dan aku belum mendengar apa-apa. Aku mulai berpikir kokimu itu telah mengorbankanmu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Sungguh akhir yang tidak romantis."

"Leo tidak akan pernah mengorbankanku," kata Isabella, suaranya tetap mantap, meskipun jantungnya terasa seperti akan meledak.

"Kita akan segera tahu," balas Bangau.

Waktu merayap. Tiga menit. Dua menit. Satu menit.

Di ruko, Leo dan timnya sudah berada di ambang pintu, siap untuk menyerbu keluar dan memulai perang yang mungkin tidak akan bisa mereka menangkan.

"Tunggu!" teriak Bianca tiba-tiba, matanya terbelalak menatap layarnya. "Aku mendapatkannya! Aku mendapatkannya! Lonjakan data besar-besaran! Puluhan sinyal terenkripsi, semuanya memantul dari menara BTS di dekat gudang Kali Adem! Mereka di sana! Mereka sedang bergerak!"

Tepat saat jam di dinding balai biliar berdentang satu kali, menandakan pukul satu dini hari, salah satu radio milik letnan Bangau yang ada di sudut ruangan menyala dengan suara statis yang keras, diikuti oleh suara yang penuh kepanikan.

"BOS! GAWAT! POLISI! PASUKAN KHUSUS DI GUDANG KALI ADEM! MEREKA DI MANA-MANA! MEREKA TURUN DARI ATAP! KITA DIKEPUNG!"

Seluruh ruangan meledak dalam aktivitas yang panik. Para preman Bangau mencabut senjata mereka, berteriak-teriak ke radio, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Di tengah kekacauan itu, hanya dua orang yang tetap tenang. Bangau, yang wajahnya adalah topeng dari keterkejutan total, ketidakpercayaan, dan akhirnya, sebuah pemahaman yang baru dan menakutkan. Dan Isabella, yang dengan perlahan mengangkat cangkir tehnya, menyesapnya dengan anggun seolah ia sedang berada di taman istananya, seolah ia sudah tahu ini akan terjadi sejak awal.

Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Bangau di atas kekacauan anak buahnya. "Sepertinya," katanya dengan senyum tipis, "koki saya selalu mengantarkan pesanannya tepat waktu."

Kekuatan di ruangan itu telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bangau tidak lagi melihat seorang sandera di hadapannya. Ia melihat seorang nabi. Seorang wanita yang memiliki akses ke informasi yang seharusnya tidak mungkin dimiliki siapa pun. Ia baru saja diselamatkan dari kehancuran total oleh orang-orang yang baru ia temui beberapa hari yang lalu. Ia kini berutang nyawa dan kebebasannya pada mereka.

Saat pintu ruang belakang itu terbuka dan Leo masuk, diikuti oleh Marco dan Pak Tirta, tidak ada lagi permusuhan di mata anak buah Bangau. Yang ada hanya rasa hormat dan sedikit rasa takut.

Leo berjalan melewati mereka dan berhenti di depan meja. Ia menatap Isabella, sebuah pertanyaan tanpa kata di matanya. Isabella mengangguk, memberitahunya bahwa ia baik-baik saja. Kelegaan yang dirasakan Leo begitu luar biasa hingga hampir membuatnya lemas.

Ia kemudian menoleh pada Bangau. "Jadi," kata Leo. "Bagaimana dengan proposal bisnis kita?"

Bangau menatap Leo, lalu ke Isabella, lalu kembali ke Leo. Ia tertawa, sebuah tawa yang lahir dari kelegaan dan kekaguman. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. "Selamat datang di Sarang Tawon, Koki," katanya. "Anggap saja tempat ini milikmu."

Sebuah aliansi baru yang kuat dan sangat berbahaya telah ditempa di dalam api malam itu. Sarang Tawon kini telah menjadi basis operasi resmi mereka. Mereka telah memenangkan kerajaan pertama mereka di jalanan.

Namun, saat mereka sedang merayakan kemenangan sunyi mereka di balai biliar yang kini terasa seperti markas baru, ponsel terenkripsi Leo bergetar. Sebuah pesan dari Bianca.

Leo membukanya. Itu bukan teks. Itu adalah sebuah tautan ke siaran berita darurat.

"Leo, Bos," suara Bianca terdengar tegang melalui komunikator. "Kemenangan di Sarang Tawon... sepertinya diketahui. Aku baru saja menyadap komunikasi dari markas Satgas Khusus. Soeharto tidak marah atas kegagalan penyerbuan itu. Dia... sepertinya sudah menduganya. Dia baru saja mengeluarkan perintah baru."

"Perintah apa?" tanya Isabella, firasat buruk kembali menjalari dirinya.

Di layar ponsel Leo, seorang juru bicara pemerintah sedang membacakan sebuah pernyataan. "...demi menjaga keamanan dan mencegah penyebaran aktivitas kriminal yang semakin meresahkan dari wilayah Jakarta Utara, pemerintah, di bawah wewenang Satuan Tugas Khusus, akan memberlakukan Karantina Wilayah Skala Penuh..."

Sebuah peta muncul di layar, menunjukkan seluruh distrik kumuh di Jakarta Utara—termasuk Sarang Tawon—dikelilingi oleh garis merah tebal.

"Dia tidak akan menyerang kita," kata Bianca, suaranya kini dipenuhi oleh jenis kengerian yang baru. "Dia akan melakukan sesuatu yang lebih buruk."

Peta itu kini menunjukkan titik-titik biru yang mewakili unit-unit militer dan polisi, bergerak untuk membentuk blokade di sepanjang garis merah itu. Menutup semua jalan masuk dan keluar.

"Dia akan mengurung kita bersama jutaan warga sipil..." lanjut Bianca, suaranya bergetar. "...dan membiarkan kita semua kelaparan sampai mati."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!