New Happiness, Begins

"Coba nyalakan mesinnya sekarang," kata David dengan nada malas.

Kendall menuruti, tapi tentu saja... tanpa bahan bakar, mesin mobil tidak akan bisa menyala.

David mengetuk-ngetuk senter di penopang mesin, lalu berseru, "Lagi."

Kendall memutar kunci kontak, tapi lagi-lagi nihil.

Setelah beberapa detik, David membanting kap mobil dan mengusap tangan di celana jins. "Maaf, sepertinya kau harus terperangkap selama beberapa waktu."

Kendall menjulurkan kepala keluar jendela. "Apa yang tidak beres?"

David mengangkat bahu, waspada agar tidak berbohong terlalu banyak. "Penyebabnya bisa bermacam-macam. Sulit mengetahuinya dalam gelap. Sebaiknya suruh montir memeriksa besok pagi."

Mulut Kendall menganga. "Besok pagi?"

"Semua orang sedang berpesta." Jelas David sambil mengarahkan jempol ke belakang bahu, ke arah pesta barbekyu. "Kecuali kita."

Kendall mengerutkan kening. "Kukira kau pergi dengan Hailey."

"Pergelangan kakiku sakit, jadi kusuruh ia pergi sendiri. Aku sedang istirahat di beranda waktu melihatmu menyelinap keluar."

"Kau minum pil pereda nyeri yang kuberikan?"

"Tentu."

Kendall turun dan membanting pintu mobil. "Aku tidak menyelinap keluar."

"Kau perlu bantuan untuk mengangkat koper?"

"Kau pakai kruk," kata Kendall mengingatkan David, lalu membuka pintu belakang dan menarik barangnya keluar. "Apakah aman meninggalkan mobilku di tengah jalan?"

"Arus lalu lintas di sini tidak ramai. Akan ku suruh beberapa pria kembali dan mendorongnya ke pinggir." David berjanji sambil mensejajarkan langkah Kendall. Untuk ukuran wanita bertubuh kecil, ia benar-benar kuat mengangkat koper-koper itu. Di kaki tangga ia berbalik.

"Kenapa kau mengikutiku?"

David mundur. "Karena kau tinggal sampai besok pagi, kupikir kita bisa pergi ke pesta barbekyu bersama."

"Kau seharusnya ada di ranjang."

Mulut David kering, karena berada sedekat ini dengan Bu Dokter Kecil sangat mengacaukan akal sehatnya. Bau sabun lemon yang dipakai wanita itu menyusup ke hidungnya. Kenapa ia tiba-tiba memikirkan tubuh luwes sang dokter berbaring tanpa busana di ranjang yang empuk? David bergerak-gerak kikuk, sementara ia terbayang akan sindiran-sindiran yang akan menggoda kebanyakan wanita. Tapi ia sudah mendapat kesulitan karena sudah terlalu banyak menentang wanita yang satu ini, dan ia tidak berani memaksa lebih jauh.

"Aku tidak mau ketinggalan pesta." ucap David akhirnya, lalu ia tersenyum lebar. "Tapi aku akan lebih senang kalau berada di bawah pengawasan medis."

"Sudah kubilang aku tidak mau pergi!"

Saat tanpa terduga mata Kendall berkaca-kaca, David hampir lari. Air mata di luar keahliannya.

Alasan pria menangis bisa di hitung dengan satu tangan: kemenangan tim sepak bola, kekalahan tim sepak bola, kebanyakan saus sambal, atau kehilangan umpan pancing favorit. Alasan wanita menangis tak berbatas dan misterius, mulai dari hormon sampai diskon besar-besaran. David benar-benar mati kutu.

Lagi pula, ia pria modern. Wanita berhak bertindak sesuai keinginan. Dengan atau tanpa tanah keluarga, ia tidak berhak untuk memaksa sang dokter berubah pikiran. Setelah Kendall berderap naik tangga untuk melawan malam sendirian, David akan keluar dan menyambung kembali saluran bensin. Sang dokter bisa pergi besok pagi seperti yang di rencanakan dan melupakan semua hal tentang Happiness. Mereka bisa mencari dokter lain.

Tapi, sialan... air mata itu. Air mata itu membuat mata Kendall berkilau sangat indah di kulitnya yang pucat. Ia terlihat kecil dan rapuh, berdiri disana dengan dagu yang terangkat. Tak disangka, insting melindungi mencuat di dada David.

Lalu kata-kata Harry terngiang di telinga. Mulai dari tungkai patah yang harus di rawat, ciuman paksa, sampai mandi dengan air dingin, sambutannya sama sekali tidak ramah. David tidak tahu alasan yang membuat wanita itu menangis, dan obat pereda nyerinya pun terbatas.

"Kau harus makan sesuatu." ujar David

Seolah berpihak, perut Kendall melolong seperti hewan buas.

David memanfaatkan kesempatan itu. "Salah satu kru kami dari Memphis bisa masak barbekyu terlezat yang pernah kau rasakan."

Kendall tidak bereaksi, tapi tidak juga lari, sehingga David melanjutkan. "Lagi pula, aku yakin kakakku ingin mengucapkan selamat jalan."

Kendall membuang muka, lalu menatapnya lagi dengan bimbang. David menyemangati dengan senyuman kecil. Kendall tertunduk. "Baiklah." Ia terdengar kalah. "Beri aku beberapa menit untuk menaruh koper-koperku di kamar, lalu aku akan turun lagi."

Dengan perasaan frustasi karena tidak bisa menolong dan juga karena alasan-alasan lain yang tidak di ketahui dengan pasti, David mengawasi Dokter Jenner yang berusaha mengangkat kopernya menaiki tangga. Bahu wanita itu melorot dan berjalan dengan lesu. David mengerutkan kening. Biasanya wanita yang akan menghabiskan malam bersamanya terlihat lebih riang.

Lalu mata indah itu berkelebat di benak, dan David mengatupkan bibir.

Rasanya ia rela menanggung satu ketidaknyamannya.

...****************...

Kendall mendorong pintu ruangan di sudut yang di tinggalkannya beberapa menit yang lalu, mencari sakelar lampu di atas kepala dan membawa masuk koper yang kemudian ia letakkan.

Gelombang kekalahan menyapunya. Dalam hati tahu bahwa ia tidak akan terdampar di sini selamanya, bahwa ia bisa saja pergi setelah mobilnya di perbaiki. Tapi secara emosional, ia sedang di hadang di setiap belokan. Dan secara umum, ia sedang di hukum karena melakukan sesuatu yang sama sekali bukan karakternya, seperti meninggalkan praktir keluarga di Denville dan datang ke kota primitif di Utara dengan angan-angan membuka lembaran baru.

Kendall menggeleng-geleng. Datang kesini adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan tanpa berpikir panjang.

Tiba-tiba nasihat kakeknya terngiang, bahwa situasi akan terlihat lebih baik esok pagi. Mengingat keadaan sekeliling, tidak begitu aneh jika Kendall memikirkan sang kakek. Wanita itu membangun keluarga di kota industri dengan mobil yang padat di Denville, tapi menghabiskan masa kecil di kota kecil. Kakeknya sering kali mengucapkan peribahasa daerah perdesaan. Untuk pertama kali, Kendall bertanya-tanya apakah dirinya tertarik datang kesini karena kakeknya sudah membuat kehidupan perdesaan dengan begitu damai.

Tiba-tiba terpikir olehnya bahwa lelaki tua itu sudah membumbui kenyataan demi kepentingan cucu semata wayangnya.

Kendall masuk ke kamar mandi untuk membasuh sedikit wajahnya dengan air dingin. Satu-satunya hal yang di miliki Happiness dalam jumlah melimpah. Ia mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil, lalu menatapnya di cermin. Pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata dan bintik-bintik merah di pipi. Tapi ia tidak memiliki waktu untuk memperbaiki semua itu... bukan berarti minimnya keahlian dalam berdandan menimbulkan perbedaan. Setidaknya yang bisa ia lakukan adalah menelusuri rambutnya yang halus dengan sisir sikat agar lebih mengembang. Lalu ia menegur diri sendiri, memangnya ini kencan.

Ia setuju menemani David Booker ke pesta barbekyu hanya karena pria lancang itu perlu di monitori selama beberapa jam ke depan, siapa tahu dia mengalami komplikasi akibat jatuh tadi.

Perutnya bunyi.

Dan karena ia kelaparan.

Kendall melangkah lagi ke tangga dan mengabaikan lonjakan kecil jantungnya saat melihat David Booker yang sedang menunggunya. Pria itu benar-benar tampan dan Kendall sadar ia takkan menjadi kriterianya. Tapi ia akan berada di Happiness, Carolina, hanya beberapa jam lagi, dan melewatkannya dengan berada di tangan pria tampan adalah cara yang lebih menarik, meskipun pria itu mengajaknya hanya karena....

...****************...