Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pagi yang sama, satu jam setelah pelukan itu.
Nathan duduk di belakang kemudi mobilnya, membiarkan AC menyentuh wajahnya yang masih terasa hangat oleh emosi tadi. Pandangannya menatap lurus ke jalanan Jakarta yang mulai padat, tapi pikirannya masih tertinggal di dalam apartemen Kayla. Di pelukan itu, di tangis itu, di kelegaan yang akhirnya datang setelah sekian lama mereka saling diam dan saling menjauh.
Ada ruang baru di dadanya sekarang. Masih sesak, tapi sesaknya bukan karena marah atau kecewa. Melainkan karena sadar, betapa dalamnya luka yang pernah ia sebabkan.
Dan betapa berartinya kesempatan kedua yang baru saja Kayla berikan.
Tangan kirinya menggenggam kemudi, sementara tangan kanannya masih menggenggam erat satu hal tak terlihat yakni tekad. Untuk berubah. Untuk benar-benar hadir. Untuk jadi rumah, bukan hanya tempat singgah yang mudah pergi.
Ia menghela napas panjang, sebelum memutar setir dan mulai melaju. Hari kerja menunggunya. Dan perusahaan yang ia pimpin tentu menuntut ketegasan, fokus, dan energi yang biasanya ia serap dari rutinitas. Tapi pagi ini, sumber energinya lain.
Bukan dari kopi.
Bukan dari ambisi.
Tapi dari sepasang mata yang memohon untuk dianggap. Dari pelukan yang gemetar. Dari air mata yang jatuh di bahunya dan menampar bagian terdalam dirinya yang selama ini tertidur.
Nathan tahu, ia tidak bisa menghapus semua yang sudah terjadi.
Tapi ia bisa menulis ulang sisa bab dalam kisah mereka.
Dan langkah pertama dimulai hari ini.
Lobi kantor sudah dipenuhi dentingan langkah cepat dan sapaan formal saat Nathan melangkah masuk. Seorang resepsionis membungkuk kecil menyambut, tapi ia hanya membalas dengan anggukan ringan. Ada getaran tenang dalam langkahnya pagi ini, bukan karena kelelahan, tapi karena beban yang selama ini ia pikul, akhirnya mulai ia pahami.
Liftnya kosong. Cermin besar di dalam kabin menampilkan pantulan wajah yang tidak sepenuhnya asing, tapi terasa lebih... manusiawi. Matanya masih menunjukkan sisa emosi, tapi bibirnya tak lagi setegang biasanya.
Begitu sampai di ruangannya, ia membuka pintu dan mendapati ruangan kerjanya sudah terang, jendela terbuka sedikit untuk membiarkan udara segar pagi masuk. Laporan-laporan tertata di meja, dan secangkir kopi hitam panas favoritnya sudah tersedia di sisi kanan.
"Selamat pagi, Pak," sapa Alea dengan sedikit canggung setelah pertemuan semalam di tempat yang tak biasa.
"Pagi," jawab Nathan seraya berjalan ke kursi yang akan membesarkan namanya. Lalu ia melirik kopi di meja.
Nathan mencicipi kopi itu sebentar, sebelum meletakkannya kembali. Matanya melirik Alea yang masih berdiri di hadapannya, tablet di tangan. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya.
"Semalam..." Nathan membuka suara, nadanya santai, tapi nadanya membawa arah yang berbeda. "Kamu tampil cukup... mengejutkan."
Alea mengangkat alis. "Mengejutkan?"
"Iya," Nathan mengangguk kecil. "Aku kira kamu tipe yang lebih suka tenang di rumah sambil baca buku atau nonton film dokumenter. Ternyata bisa juga ya... di klub. Musik keras, lampu kelap-kelip " Senyumnya muncul tipis.
Ada jeda. Alea tak langsung menjawab. Ia menatap Nathan, menakar nada kalimatnya. Tidak frontal, tidak menjatuhkan, tapi jelas menyiratkan rasa tak menyangka. Atau barangkali penghakiman kecil yang diselimuti gurauan.
"Saya juga nggak nyangka, Pak," jawabnya tenang. "Undangan dari teman lama. Katanya makan malam kecil-kecilan untuk ulang tahun. Saya baru tahu tempatnya klub waktu sudah sampai sana. Dan rasanya tidak sopan untuk pulang di menit pertama. Saya juga tidak menyangka Bapak masih suka mengunjungi klub di saat nama Bapak mulai disorot media karena menggantikan almarhum Pak Bima."
Nathan mengernyit ringan, tak menyangka Alea akan membalas dengan kalimat setajam itu. Tapi tidak ada nada kasar di sana, justru terdengar datar dan jujur. Dan entah mengapa, itu justru membuatnya diam sejenak.
Nathan menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit ruangan beberapa detik sebelum kembali menatap Alea. Wajah itu tenang, rapi, dan fokus seperti biasa. Tapi entah kenapa, hari ini ia tidak melihat Alea sekedar sebagai asisten yang membawa laporan dan jadwal rapat.
Ia mengingat Kayla dan untuk sesaat, ada benang samar yang menghubungkan keduanya di kepalanya.
Bukan soal wajah.
Tapi soal ketegasan, pekerja keras, dan mempunyai hidup yang terarah.
"Tempat seperti itu... kamu nggak suka?" tanya Nathan akhirnya. Nadanya pelan, seperti bertanya bukan untuk menjawab, tapi untuk mengerti.
Alea menggeleng pelan. "Bukan soal suka atau tidak suka. Lebih ke... saya nggak merasa nyaman. Musiknya terlalu bising, lampunya terlalu terang dan interaksinya terlalu dangkal."
Nathan mengangkat alis sedikit. "Interaksi?"
"Iya. Banyak orang datang ke tempat seperti itu untuk melupakan sesuatu. Tapi saya lebih suka menghadapi apa pun itu. Kadang lebih menenangkan duduk sendiri di balkon dengan teh panas daripada... memaksakan diri tenggelam di keramaian yang nggak ngerti apa-apa soal kita."
Hening sebentar.
Nathan menatap kopinya, lalu menatap Alea lagi. "Kayla juga gitu," gumamnya. Entah sadar atau tidak, nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
Alea menunggu, tapi tidak menyela.
"Maksudku... pacar. Kayla... pacarku." Nathan sedikit salah tingkah. Tangannya otomatis meraih cangkir kopinya lagi, meski tak benar-benar berniat meminumnya.
"Dia juga tidak suka tempat-tempat yang dinilai orang negatif. Kurang suka dengan keramaian, dia lebih senang menghabiskan waktu dengan orang terdekatnya jika ada waktu senggang."
Alea tetap diam. Tapi bukan karena tidak peduli. Justru tatapannya kini lebih lunak, seolah mengerti arah obrolan yang perlahan bergeser dari basa-basi ke sesuatu yang lebih dalam.
Nathan menatap meja di hadapannya, lalu bersandar sedikit ke kursi.
"Kadang aku mikir... kenapa ya perempuan kayak kalian yang tenang, dewasa, punya arah hidup, nggak suka dibawa ke tempat kayak klub? Maksudku, bukan buat hal negatif. Cuma... aku mikir, apa itu salah satu bentuk penolakan? Atau... rasa nggak ingin disamakan sama dunia yang ramai tapi kosong?"
Alea mengerutkan alis, sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Menurut saya, bukan soal tempatnya, Pak. Tapi soal pilihan. Kami bukan nggak suka ‘senang-senang’ kami cuma punya cara sendiri untuk menikmati hidup. Dan ketika orang yang kami sayangi memilih ‘senang-senang’ di tempat yang tidak kami nikmati... rasanya bukan cuma ditinggal. Tapi diabaikan."
Kata-kata itu menusuk dalam, lebih dalam dari yang seharusnya.
Nathan mengangkat wajahnya. Menatap Alea tanpa banyak ekspresi, tapi matanya mengandung banyak hal yang tak diucapkan.
"Jadi... kamu percaya ya, kalau seseorang itu... bisa merasa dicintai, tapi nggak merasa dilihat?"
Alea menatapnya balik. "Sering kali justru seperti itu."
"Dan kalau udah nggak merasa dilihat... mereka akan pergi?"
Alea menghela napas pelan. "Ya, tapi bukan karena mereka nggak cinta. Tapi karena capek menunggu untuk dianggap."
Nathan terdiam.
Kalimat itu bukan hanya masuk ke telinganya. Tapi langsung menghantam tempat paling rawan dalam dirinya, tempat yang sejak pagi tadi belum selesai ia urai.
Nathan bersandar lebih dalam ke kursinya, membiarkan hening menggantung di antara mereka. Tidak ada suara selain denting samar dari AC dan jam dinding yang berdetak tenang. Tapi di dalam dirinya, segalanya justru bising.
Kata-kata Alea terus terulang di kepalanya.
"Bukan karena nggak cinta, tapi karena capek menunggu untuk dianggap."
Ia menunduk sedikit, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas meja. Jemari yang dulu dengan entengnya memilih setir mobil untuk melarikan diri dari percakapan. Yang dengan mudahnya meraih gelas alkohol untuk menenangkan hati yang ia sendiri enggan pahami. Yang terlalu sering menggenggam ponsel tapi lupa menggenggam tangan seseorang yang seharusnya ia jaga.
'Capek menunggu untuk dianggap,' ulangnya dalam hati.
Mungkin itu yang selama ini Kayla rasakan. Bukan soal ia tak pulang. Bukan soal ia lebih sering bersama teman-temannya. Tapi soal hadirdan sungguh-sungguh ada, secara utuh,
"Jadi, mencintai saja tidak cukup?"
"Cinta itu fondasi," jawab Alea akhirnya. "Tapi rumah nggak bisa berdiri kalau cuma ada fondasi. Butuh tiang, atap, dinding. Butuh hadir, butuh mendengar, butuh memilih untuk tetap di situ meski banyak godaan buat pergi."
Nathan mengangguk pelan, meski matanya masih menatap kosong ke depan.
Alea melanjutkan, lebih pelan, lebih dalam, "Kadang orang mengira cinta itu cukup karena merasa, ‘aku sayang kok.’ Tapi sayang tanpa dibuktikan itu... seperti menyalakan lilin tapi nggak pernah menaruhnya di tempat gelap. Nggak ada gunanya."
Nathan menggigit bibir bawahnya perlahan, menelan pahit yang perlahan menggenang di dadanya.
"Bapak sedang ada masalah? Ini yang membuat Bapak akhir-akhir ini menjadi tidak fokus dalam bekerja?"
Nathan menoleh pelan, ekspresinya datar tapi matanya seperti menjerit. "Apa kelihatan separah itu?"
Alea tak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum tipis, lalu menurunkan tablet dari tangannya, seolah pembicaraan ini tak lagi sekedar urusan jadwal atau laporan.
"Tidak separah itu. Tapi cukup terlihat dari cara Bapak melamun lama di depan angka, dari rapat yang sering diakhiri lebih cepat, dari kopi yang sering tidak habis..." Ia mengangkat bahu kecil. "Detail kecil, tapi saya terbiasa memperhatikannya."
Nathan mengusap wajahnya sekali, lalu mengangguk pelan. "Aku lagi coba... memperbaiki sesuatu. Atau mungkin seseorang. Tapi... aku juga takut kehilangan yang lain."
Alea menatapnya tenang. "Bapak tidak perlu memilih salah satunya. Tapi Bapak perlu belajar menempatkannya di ruang yang berbeda."
Nathan memandangnya dalam diam.
"Bapak sedang dalam masa transisi. Dari seseorang yang dulunya hidup semaunya, sekarang harus memimpin perusahaan besar. Itu bukan hal kecil. Tapi justru karena itu, penting untuk membedakan mana urusan pribadi dan mana yang profesional." Nada suaranya tetap lembut. "Supaya tidak hancur di dua sisi."
"Bukan berarti mengesampingkan orang yang Bapak sayang,” lanjut Alea. "Tapi justru menghargai mereka dengan menunjukkan bahwa Bapak cukup dewasa untuk berdiri sendiri dulu, sebelum berdiri bersama."
Nathan terdiam lama. Kata-kata itu terasa seperti tamparan, tapi bukan yang menyakitkan. Justru seperti peta kecil di tengah hutan pikirannya yang berantakan.
"Berarti... aku harus belajar berdiri dulu," gumamnya.
"Bukan belajar," potong Alea lembut. "Tapi membiasakan. Karena berdiri itu sudah Bapak mulai sejak hari Bapak berani duduk di kursi ini."
Nathan mengangguk kecil tanda bahwa ia mengerti apa yang disampaikan wanita itu. Ia menatap Alea yang kini sudah kembali fokus dengan pekerjaannya. Ia merasa Alea bukan hanya asisten, tapi juga cermin. Yang tak hanya mencatat rapat dan menyusun agenda, tapi diam-diam membantu dirinya membaca ulang versi terbaik dari dirinya sendiri.