NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:497
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 — Sekolah yang Tidak Punya Lantai Tujuh

Reina menghabiskan sisa sore itu dalam kondisi waspada akut. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti sentuhan es di tengkuknya. Bukan ancaman kosong, melainkan semacam konfirmasi dingin bahwa ia berada di tempat yang benar—atau, lebih tepatnya, tempat yang salah.

"Kakakmu masih di lantai itu."

Tiga kata yang sukses mengacak-acak logikanya. Reina selalu berpikir bahwa Aksa—kakak laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya, yang selalu memberinya rasa aman—telah hilang karena masalah di luar nalar. Bukan diculik, bukan lari. Tapi sekarang, ia harus menghadapi kenyataan bahwa misteri ini terkunci di dalam kotak semen dan besi. Tepat di bawah hidungnya.

Reina memutuskan untuk mengabaikan Daren si ‘Penjaga Reputasi’ dulu. Daren hanya akan menjadi penghalang. Fokusnya sekarang adalah mencari bukti fisik.

Pukul empat sore, sekolah sudah jauh lebih sepi. Hanya tersisa beberapa siswa klub olahraga dan siswa yang sedang les tambahan. Suara gesekan sepatu di lantai marmer dan keheningan koridor kini terasa lebih berat, seolah keheningan itu sendiri adalah sesuatu yang bisa disentuh.

Ia berjalan cepat menuju Ruang Administrasi, tempat yang ia kunjungi pagi tadi. Ruangan itu kini kosong, hanya ada seorang petugas piket yang sibuk dengan ponselnya.

“Permisi, Bu. Saya mau lihat denah pembangunan gedung utama lagi. Saya rasa ada kesalahan cetak di denah yang tadi diberikan,” kata Reina, mencoba terdengar seramah dan selugas mungkin.

Petugas itu mendongak, matanya sedikit menyipit. “Oh, siswi pindahan itu, ya? Tidak ada yang salah, Nak. Kita punya standar arsitektur terbaik, dan gedung ini hanya enam lantai.”

“Tapi, boleh saya lihat arsip denah yang asli? Yang sebelum renovasi?” Reina memaksakan.

Petugas itu menghela napas, terlihat jengkel.

“Kenapa kamu begitu ngotot? Di sini cuma ada satu denah.”

Dengan gerakan lamban, petugas itu membuka laci arsip logam yang dingin. Ia mengeluarkan selembar kertas kalkir yang sudah menguning di bagian tepinya.

Reina menyodokkan jari telunjuknya ke arah gambar denah yang tertera di sana. Denah itu sangat detail, menunjukkan fondasi, pipa, kabel listrik, hingga ventilasi.

“Lihat, Nak. Lantai 1, 2, 3, 4, 5, 6. Enam lantai. Selesai,” kata petugas itu, mengambil kembali kertas itu dengan nada final.

Reina tidak menyerah. Ia membungkuk, menunjuk ke kolom keterangan yang dicetak kecil di sudut kanan bawah.

“Kalau ini, Bu? Keterangan struktur vertikalnya. Tertulis ‘Ketinggian Maksimum Bangunan: 28 meter, enam lantai dan satu void tersier’.”

Petugas itu membeku. Ia menatap ke kolom itu, lalu ke Reina, dengan ekspresi yang berubah dari jengkel menjadi sedikit panik.

“Void tersier itu... itu artinya ruang kosong untuk instalasi mekanik atau atap. Bukan lantai,” jawab petugas itu, tapi suaranya tidak setegas tadi. Ada getaran keraguan yang nyata.

“Ruang kosong? Tapi di lift ada tombolnya. Dan tombol itu menyala,” tantang Reina.

Petugas itu langsung menutup laci arsip dengan bunyi benturan keras. Ia berdiri.

“Cukup, Nak. Saya tidak tahu apa yang kamu dengar dari siswa lain. Tapi sekolah ini punya reputasi. Dan rumor tentang lantai-lantai aneh itu sudah sangat lama. Itu cuma mitos. Sekarang, silakan keluar. Saya harus mengunci ruangan.”

Wajah petugas itu kini merah padam. Jelas sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu, atau setidaknya, diperintah untuk menyembunyikannya.

Reina tahu ia sudah mencapai batasnya. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa lagi dari sini. Ia hanya berhasil mengkonfirmasi satu hal: mereka semua berbohong.

Reina berjalan gontai keluar dari Ruang Administrasi. Atmosfer sekolah benar-benar berubah saat menjelang malam. Pencahayaan di koridor terasa redup, seringkali lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak.

Tepat saat ia hendak menuju gerbang, sebuah tangan menepuk bahunya.

“Muka kamu udah kayak hantu kelaparan gini, Rei. Gimana? Udah kena interogasi sama guru-guru?”

Itu Zio. Ia muncul dari balik tiang pilar, mengenakan hoodie gelap dan tas kamera menggantung di bahunya. Ia terlihat seperti mata-mata yang terlalu bersemangat.

“Aku nggak dapat apa-apa. Mereka semua denial. Kayaknya mereka dibayar buat bilang sekolah ini cuma enam lantai,” kata Reina, nadanya penuh frustrasi.

“Oh, ya jelas. Kan ada ‘Penjaga Reputasi’,” Zio berbisik, sambil melirik ke sekeliling. “Makanya, ayo. Aku udah nunggu dari tadi. Di ruang klub jurnalistik itu surganya arsip yang nggak terdata.”

Mereka berjalan beriringan menuju gedung ekstrakurikuler yang terletak di bagian belakang sekolah. Gedung ini jauh lebih tua, dindingnya dipenuhi lumut tipis karena hujan.

Ruang klub jurnalistik adalah sebuah kamar kecil yang pengap di lantai dasar. Bau kertas tua dan debu langsung menyambut mereka.

“Duduk aja. Anggap aja rumah sendiri. Asal jangan sentuh kamera aku,” kata Zio sambil menyalakan komputer desktop tua yang berdengung keras.

Reina memperhatikan Zio yang sibuk memasukkan password. “Kamu bilang kamu punya arsip CCTV?”

“Yup. Arsip ini nggak diurus sama sekolah, tapi sama klub kita. CCTV eksternal di koridor Gedung Lama itu semua terhubung ke sini. Sekolah kita pelit, jadi CCTV di sana jarang di-upgrade. Data lamanya masih mentah,” jelas Zio, mengetik cepat.

Layar monitor menyala. Zio membuka folder yang diberi nama aneh: “GL_Unrec_F-7”.

“GL itu Gedung Lama. F-7 itu Fantasy Seven. Kita nyebutnya gitu,” kata Zio santai.

Reina merasakan adrenalinnya naik. Mereka sudah dekat.

Zio menggeser timeline video. Layarnya menampilkan koridor kosong di lantai tiga Gedung Lama—tempat lift berada. Sudut pandang kamera agak buram, seperti lensanya jarang dibersihkan.

“Ini rekaman dua tahun lalu. Sehari setelah kakak kamu dikabarkan ‘mengundurkan diri’,” kata Zio, nadanya mendadak serius. Ia tidak lagi bercanda.

Reina membeku.

“Waktu itu, Daren Kurniawan—si Ketua OSIS—baru naik kelas sebelas. Dan dia yang nemuin lift itu dalam keadaan macet.”

Zio mengklik tombol ‘play’.

Video itu sunyi. Koridor di layar benar-benar kosong. Hening. Hanya ada pantulan cahaya lampu yang berkedip. Jam digital di sudut layar menunjukkan pukul 02:45 dini hari.

Lalu, pintuk lift terbuka. Tiba-tiba.

Dari dalam lift, muncul sesosok tubuh.

Bukan hantu, bukan bayangan. Itu adalah seorang siswi berseragam SMA Adhirana, wajahnya tertunduk, rambutnya menutupi seluruh ekspresinya.

Siswi itu melangkah keluar, kakinya terlihat pincang.

Dan Reina melihatnya.

Di tangan siswi itu—tepat di telapak tangan kirinya—ada noda merah gelap yang sangat tebal. Bukan hanya setetes, tapi seperti ia telah menenggelamkan tangannya ke dalam ember.

Darah.

Reina menahan napas.

Siswi itu berjalan cepat, tertatih, dan segera menghilang dari pandangan kamera. Pintu lift lalu tertutup dengan suara dentuman.

Reina menoleh ke Zio, matanya lebar. “Siapa itu? Kenapa ada darah?”

“Nggak tahu. Identitasnya nggak pernah ketahuan. Dia bukan Aksa, tapi lihat tanggalnya,” kata Zio, menjeda video.

Di sudut layar tertulis: Tanggal 12 Maret 2023.

“Itu sehari setelah Aksa hilang. Dan yang paling aneh,” Zio menunjuk ke bagian bawah layar, “lihat sensor liftnya.”

Video itu menunjukkan lift yang naik. Tapi tidak berhenti di lantai manapun dari 1 sampai 6.

“Dari rekaman sensor internal yang aku sadap, lift ini langsung lompat dari lantai 3 ke... tombol 7. Padahal tombol 7 nggak terdaftar di sistemnya,” jelas Zio.

Reina mengusap lengannya yang merinding. Ini nyata. Lantai itu ada. Dan itu terhubung dengan darah, trauma, dan hilangnya Aksa.

“Mungkin dia habis luka. Mungkin dia jatuh,” Reina mencoba berdalih, mencoba mencari celah logis.

“Luka? Di mana? Di ruang kelas 11 IPA 3? Kenapa dia nggak ke UKS? Kenapa dia harus naik lift aneh itu dari lantai yang nggak ada?” Zio balik bertanya, nadanya lembut, tapi menusuk.

Lalu Zio menggeser video itu ke beberapa jam setelah kejadian itu.

Video itu menunjukkan koridor yang sama. Pagi hari. Pukul 07:00. Siswa-siswa mulai berdatangan.

Reina menyadari ada sesuatu yang hilang. Ada bau aneh dari video itu—keanehan yang hanya bisa dirasakan mata.

“Kenapa koridornya bersih banget?” tanya Reina.

“Itu dia,” Zio mengangguk. “Noda darahnya hilang total. Nggak ada sisa. Padahal, CCTV ini dipasang tinggi. Nggak mungkin pembersih sekolah secepat itu. Dan lihat di dekat pintu lift—”

Zio memperbesar gambar.

Tergeletak di lantai, di depan lift besi tua itu, ada sepotong kain kecil. Sobekkan dari seragam sekolah.

Zio kembali ke video siswi berdarah itu. Ia memperbesar lengan siswi itu.

Tepat di pergelangan tangan seragam siswi itu, ada robekan kecil. Cocok dengan kain yang ditemukan di pagi hari.

“Artinya,” Zio menyimpulkan dengan suara rendah, “siswi itu real. Darahnya real. Kejadiannya real. Tapi, entah bagaimana, sekolah ini bisa menghapus jejaknya dalam beberapa jam.”

Reina merasakan tenggorokannya tercekat. Sekolah ini bukan hanya tentang menyembunyikan rahasia. Mereka menghapusnya.

Zio mematikan monitor. Suara dengung komputer langsung berhenti. Keheningan tiba-tiba terasa memekakkan telinga.

“Jadi, Reina,” Zio menoleh, menatap Reina dengan mata musangnya yang serius. “Sekarang kamu tahu. Lantai tujuh itu mungkin memang tidak tercatat di denah mana pun. Karena lantai itu... bukan bagian dari denah ini.”

Ia meraih tasnya, mengeluarkan sebuah kamera kecil bergaya lama.

“Aku nggak tahu ini dimensi lain, portal, atau apa. Tapi ini bukan mitos. Ini ada. Dan kalau kakak kamu bilang dia masih di lantai itu,” Zio menatap tajam ke mata Reina.

“...berarti kita harus masuk. Untuk konten. Dan untuk kebenaran kakakmu.”

Reina tidak menjawab. Ia hanya menatap Zio. Rasa takutnya kini berganti menjadi tekad yang dingin dan membara. Ia tidak lagi mencari bukti bahwa Aksa ada. Ia tahu Aksa ada.

Tugasnya sekarang: mencari cara masuk tanpa terhapus.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!