"Hanya memberinya seorang bayi, aku dapat 200 juta?"
***
Demi menyelamatkan nyawa putrinya yang mengidap penyakit jantung bawaan—Arexa Lyn Seraphine—terpaksa mencari pinjaman uang sebesar 200 juta dan ia hanya punya waktu semalam.
Tak ada pilihan lain, semesta mempertemukannya dengan Raffandra Mahendra, CEO dingin yang dikenal kejam dalam urusan bisnis. Arexa memberanikan diri mengajukan permohonan yang mustahil pada pria itu.
"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam. Apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan?"
"Rahim saya, Tuan."
Tuntutan sang Mama yang memintanya untuk segera menikah dan juga rumor panas yang mengatakan dirinya bukan pria normal membuat Raffa akhirnya menyetujuinya dengan sebuah syarat.
"Bahkan uang ini akan menjadi milikmu, jika dalam waktu 6 bulan kamu berhasil mengandung anakku." ~Raffa
Apa yang akan terjadi dalam waktu 6 bulan itu? Di tambah rahasia Arexa yang terkuak membuat hubungan keduanya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Untuk Istri Kecil
"Kak turunkan! Turunkaaaan!”
Teriakan Arexa menggema di sepanjang koridor, namun Raffa sama sekali tidak mengindahkannya. Pria itu tetap melangkah mantap, menggendong tubuh istrinya di pundaknya seolah tak membawa beban. Ia berjalan cepat menuju unit apartemennya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
Dengan satu tangan, Raffa membuka pintu unitnya. Pemandangan pertama yang menyambut mereka adalah Meira, gadis kecil dengan wajah polos yang tengah duduk di lantai sambil menyuapi seekor kucing. Namun yang membuat Raffa terng4nga bukan hanya itu—wajah si kucing sudah cemong, belepotan susu bubuk. Meira tampak menikmati kegiatannya, tanpa sadar menjadi tontonan dua pasang mata yang baru datang.
“Meira, apa yang Mei lakukan?” tanya Raffa, heran. Arexa mencoba menoleh, tapi posisi tubuhnya menyulitkan.
Meira bangkit berdiri, masih menggendong kucingnya yang memasang ekspresi sinis seolah berkata: “Aku tidak minta disuapi begini, dasar manusia.”
Gadis kecil itu memandangi Raffa dan Arexa secara bergantian, matanya bulat dan terlihat jujur.
“Kucingnya lapal, Mei nda tahu tenpat makannya dimana. Jadi Mei kacihkan dia cucu Mei yang di dapul. Mei nda ngelti macak aeeel, jadi Mei cuapkan bial nda kelapelan ci Telong,” jelas Meira sambil mengelus kepala kucing malang itu.
Raffa hanya bisa menghela napas panjang. Ia berjalan ke kamar dan meletakkan Arexa di ranjang dengan hati-hati, namun pria itu menahan tubuhnya di atas wanita itu dengan satu tangan pada sisi ranjang, membuat Arexa terpaksa menatapnya dari jarak yang amat dekat.
“Dengar baik-baik. Tunggu hukumanmu.” katanya pelan, namun tegas. Setelah itu, ia bangkit, keluar dari kamar, dan mengunci pintu.
Raffa kembali ke ruang tengah dan menatap Meira. “Mei, ayo mandi. Nanti Om Henry akan datang dan mengajakmu berbelanja makanan,” ujarnya lembut.
“Jajan?” tanya Meira dengan mata berbinar.
“Ya, ayo.” Raffa menggandeng tangan Meira dan membawanya ke kamar mandi. Di depan pintu, ia bertanya lembut, penuh pertimbangan.
“Mei bisa mandi sendiri kan?” Ia tak mungkin memandikan Meira—meski masih kecil, gadis itu perlu mulai belajar tentang batasan diri, pelajaran kecil yang penting untuk masa depannya.
“Bicaaa, biaca kan Mei mandi cendili,” jawab Meira yakin. Ia lalu memiringkan kepalanya, menghindari kaki jenjang Raffa yang menghalangi pandangannya. Terlihat, kucingnya sedang memasukkan kepala ke dalam kaleng susu miliknya.
“Heh Teloooong, mandi duluuu!” Dengan sigap, Meira menggeser kaki Raffa dan berlari kecil mengejar kucingnya yang hendak melarikan diri, menyeretnya masuk ke kamar mandi.
Raffa menutup pintu kamar mandi dan membiarkan Meira mengurus dirinya sendiri. Walau dari balik pintu terdengar jeritan samar dari si kucing, ia memilih untuk tidak ikut campur. Yang lebih mendesak sekarang adalah merapikan kekacauan Meira—terutama tumpahan susu bubuk yang sudah menempel di lantai.
“Mei ... Mei ... apa nanti adikmu juga akan berkelakuan seperti ini. Hais, aku tak bisa bayangkan bagaimana jadinya,” gumam Raffa sambil mengelap lantai.
Di dalam kamar, Arexa duduk diam di atas ranjang. Ia menunggu Raffa membukakan pintu, tapi yang ia rasakan malah suara perutnya yang mulai keroncongan. Ia bahkan belum makan apapun sejak tadi. Pesta itu tidak sempat ia nikmati, dan Raffa langsung membawanya pulang—dengan paksa pula.
“Lama banget sih. Dia ngapain, ya? Bawa pacarnya jangan-jangan. Pacarnya sekekar apa yah, orang Kak Raffa udah kekar begitu,” gumamnya.
Penuh rasa penasaran, Arexa merangkak ke arah pintu dan berj0ngk0k, mencoba mengintip lewat celah sempit di bawahnya. Namun tiba-tiba pintu bergeser.
“Apa yang kamu lakukan?” Sebuah suara berat memanggilnya. Arexa mendongak dengan refleks dan menemukan Raffa berdiri di hadapannya, satu alisnya terangkat.
Dengan wajah malu dan gugup, Arexa buru-buru berdiri. “Ta-tadi ada laba-laba yang berbaris. Aku mau lihat mereka kemana,” dalihnya terbata-bata.
Raffa menyipitkan mata, penuh selidik. Ia melangkah masuk perlahan, menyelipkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Gerakannya tenang, tapi membawa tekanan. Arexa reflek mundur.
“Ka-kak ma-masih si-ang, Mei masih ... Aaa!”
Kaki Arexa menyentuh ujung ranjang, tubuhnya pun terjatuh ke atasnya.
Raffa tersenyum kecil. Ia menggulung lengan kemejanya, naik ke atas ranjang, dan mengurung tubuh Arexa di bawahnya. Nafas Arexa tercekat, tubuhnya menegang.
“Meira sedang diajak jalan oleh asisten Henry. Aku punya banyak waktu untuk menghukum istri nakal sepertimu, hm?”
“Aku enggak nakal! Kan tadi aku bilang kalau aku pergi cuma karena janji. Itu yang terakhir, beneran,” jawab Arexa cepat-cepat, berusaha meyakinkan.
Raffa menatapnya dalam, lalu menarik sudut bibirnya—senyum separuh yang menakutkan tapi juga memabukkan.
“Memakai gaun dengan belahan paha setinggi itu, bahu terbuka … ” Ia menyentuh bahu polos Arexa dengan lembut namun penuh maksud.
Bibirnya mendekat. “Apa kamu pikir aku rela berbagi milikku dengan pria lain, huh?” bisiknya di telinga istrinya, berat dan dalam.
Arexa menahan napas saat hidung mancung Raffa menyentuh lehernya. Ia menahan bahu pria itu dengan kedua tangannya, tubuhnya mulai bergetar. Jantungnya berdetak kencang, matanya berkaca-kaca.
Raffa mengangkat wajahnya kembali. Ia melihat air mata mengalir di ujung mata Arexa. Dengan hati-hati, ia menyekanya.
“Aku bahkan belum memberimu hukuman, tapi kamu sudah menangis,” gumamnya pelan.
“Maaf, Kak … Aku keluar tidak izin denganmu,” ucap Arexa dengan suara bergetar.
Raffa tersenyum hangat. “Aku maafkan. Tapi … ”
Dengan tenang, ia membuka satu per satu kancing kemejanya. Arexa hanya bisa mematung, wajahnya memerah saat pria itu melepaskan kemejanya dan menjatuhkannya ke lantai. Ia mendekat, dan Arexa makin panik.
“Ka-Kak …,” Arexa memejamkan mata, ketakutan. Raffa terdiam, menatap wajah istrinya yang menggigil.
Namun sebelum semuanya melangkah lebih jauh, suara lirih dan familiar menyusup ke dalam keheningan. Perut Arexa berbunyi nyaring.
Raffa menarik diri, lalu menghela napas panjang. “Kapan kamu terakhir makan? Jangan bilang ... tadi pagi?” tebaknya. Arexa malah menunduk, dan diam.
“Aku ... enggak sempat makan siang tadi,” jawabnya lirih.
Raffa menepuk dahinya, sebal bukan main. “Kenapa enggak makan? Bukankah aku sudah bilang supaya kamu sering-sering makan?!” katanya, lalu bangkit berdiri.
“Cepat, ganti baju. Aku akan siapkan makanan.” Titah Raffa dan Arexa hanya bisa mengangguk pelan.
Sementara itu, Raffa berjalan ke dapur, membuka laci-laci, mencari bahan makanan. Tapi yang ada hanya satu, mie instan. Terpaksa, ia memasakkannya karena memesan pun akan membutuhkan waktu yang lama.
“Sudahlah. Yang penting dia punya tenaga untuk nanti aku berikan hukuman.” gumamnya sambil mendidihkan air.
Di sela memasaknya, Raffa memikirkan sesuatu, "Tubuhnya masih sangat kurus, apa dia tidak akan rapuh saat aku membolak baliknya nanti? Tapi aku takut dia tewas karena kelakuanku."
Raffa menggelengkan kepalanya, "Ck, tapi kalau tunggu tubuhnya berisi, kapan aku menghamilinya? Tapi tak apa lah, aku akan melakukannya dengan lembut nanti." Yakinnya dan kembali melanjutkan acara masaknya.
________________________
Di kira tempe Raf bolak balik😆