Padmini, mahasiswi kedokteran – dipaksa menikah oleh sang Bibi, di hadapan raga tak bernyawa kedua orang tuanya, dengan dalih amanah terakhir sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.
Banyak kejanggalan yang hinggap dihati Padmini, tapi demi menghargai orang tuanya, ia setuju menikah dengan pria berprofesi sebagai Mantri di puskesmas. Dia pun terpaksa melepaskan cintanya pergi begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Benarkah orang tua Padmini memberikan amanah demikian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 : Sepi yang mencurigakan
“Bila pindah, apa kita betul-betul terhindar dari hukuman karena ikutan mengarak Padmini dan Rahardi?” ia menimpali usulan temannya.
“Kalian itu aneh betul, tak sepadan kala bertindak brutal mengarak pasangan yang belum tentu salah. Giliran baru dinampaki hantu, melihat orang meninggal dengan cara mengerikan, langsung ketakutan, ingin kabur dari kampung ini! Dulu, saat melakukan aksi keji itu apa tak memikirkan dampaknya? Atau otak kalian ketimbun kotoran, jadi tak berfungsi!”
Si wanita yang memiliki balita, berselendang hitam memandang pemuda memakai peci. “Kau itu tak mengerti, Igun. Aku cuma punya satu putri mana masih bayi lagi, kalau semisal ada apa-apa dengan diriku atau dia – apa tak hancur perasaan dan hidup kami?”
"Bukan tak mengerti, tapi kau saja yang aneh. Sudah tahu punya bayi, sempat-sempatnya ikut menghakimi orang lain. Dia wanita, dan anakmu perempuan – macam mana kalau suatu saat nanti, putrimu diuji dengan apa yang dialami Padmini?!” Igun berbisik, menekankan setiap kata. Ketika malas berdebat lagi dan sedang berada di tempat duka, dia melengos dari sana.
Sang ibu muda termangu, menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran liar saat teringat bagaimana seorang Padmini di perlakukan kasar dan dipermalukan. ‘Tidak! bisa mati berdiri aku kalau sampai putriku diperlakukan seperti itu.’
Jenazah Ihsan dipindahkan ke dalam keranda mayat, digotong oleh para pemuda untuk dihantarkan ke peristirahatan terakhirnya.
Duka menyelimuti keluarga yang ditinggalkan, tangis pilu menyayat hati. Bahkan ibunya Ihsan pingsan berkali-kali tidak sanggup atas kehilangan mendadak ini.
Teruntuk pemimpin acara pemakaman, warga kampung Hulu meminta tolong pemuka agama desa sebelah.
.
.
Hari-hari berikutnya kondisi kampung Hulu tenang, damai, tentram. Tidak ada teror menyerang pada malam hari, tak ada sesuatu mencurigakan ataupun ancaman bahaya.
Namun hal tersebut bukan disambut senang. Masyarakat dilanda rasa cemas berlebih, sulit tidur dan tak bernafsu makan.
“Aku kok takut ya dengan kesunyian ini? Persis seperti ketika sepeninggalnya pak Kirman – kampung kita aman, bahkan suara burung dan hewan pun seperti tertidur, jarang terdengar. Tak lama kemudian diteror hantu, lalu Ihsan dipatuk Ular. Setelahnya sunyi lagi, sesudahnya kejadian mengerikan menimpa Ihsan,” keluh Mirna, dia lebih penakut dibandingkan teman-temannya.
Rinda yang sedang melulur punggung calon pengantin wanita, mencebik dan mengatai Mirna. “Kau penakut betul. Segala sesuatu disangkut pautkan, dihubung-hubungkan. Kalau memang sudah ajalnya, mau bagaimanapun caranya … ya mati!”
Wati mengangguk, setuju dengan sahabatnya. “Aku muak betul dengan warga kampung ini, khususnya para wanita – sibuk membahas seraya bergidik takut. Mereka meyakini kalau teror dan kematian Kirman serta Ihsan itu akibat sumpah Padmini yang benar-benar menjadi kutukan maut. Berlebihan sangat, memangnya dia sakti apa? Membela diri sendiri saja tak bisa, kok bisa-bisanya ditakuti.”
Sundari terdiam, matanya terpejam tapi pikirannya bercabang. ‘Sampai kau berani merusak pesta pernikahan impianku, akan kubalas berkali-kali lipat Padmini!’
Setelah kejadian menyeramkan malam teror itu, Sundari memiliki keyakinan kalau sepupunya masih hidup, tapi entah dimana keberadaannya.
.
.
Kartu undangan sudah disebar, kediaman Padmini yang direbut oleh Sumi – mulai dipercantik. Temboknya dicat warna kuning pudar, warna kesukaan Sundari.
Halaman depan pun dirapikan, pohon-pohon tahunan ditebang karena nanti akan dipasang tenda besar nan luas.
Juned, suaminya Rinda mulai sibuk bersama kedua temannya – Rido, Sarman. Mereka libur kerja di perkebunan tebu yang kini dikelola Wandi.
"Bambang, uang rokok kami habis!” ujar Juned, dia menadahkan tangan meminta jatah kepada sahabatnya.
‘Kau kira duit tinggal metik apa? Keparat kau, Jun!’ hatinya menggerutu tapi tangannya mengeluarkan lembaran sepuluh ribu.
“Jangan boros kali lah, peganganku sudah menipis ini!” protesnya.
Juned tidak peduli. “Ala, macam orang kere saja kau! Untuk apa punya mertua kaya kalau uang rokok saja terlalu sayang memberi. Satu hal lagi, kau bisa berada disini, menikmati harta yang bukan hak mu – berkat campur tanganku! Jadi, jangan pelit- pelit dengan kami!”
Di dalam saku celana, tangan Bambang terkepal erat. Dia paling benci di intimidasi dan disetir oleh orang lain.
Suaminya Sundari itu berjalan melewati belakang rumah Padmini, mau kembali ke hunian orang tuanya. Mulai malam ini sampai hari pesta pernikahan tiba, dia tidak lagi bisa mengendap-endap tidur dengan istri yang dinikahi secara siri.
Para warga tahunya sang Mantri dan Sundari belum menikah. Pasangan durjana itu pintar bersandiwara, bila dihadapan publik berpura-pura biasa saja dan menjaga jarak.
Namun kala malam tiba, Bambang menyelinap masuk ke dalam hunian mewah juragan Pandu. Berbagi kehangatan dengan kekasih hatinya, Sundari.
Cahaya senter dalam genggamannya tiba-tiba mati. Masih berusaha berpikir positif, beranggapan batrenya habis.
Bambang menoleh ke belakang, mau balik lagi ke rumah hasil jarahan rasanya enggan dikarenakan sudah jauh. Sementara bila diteruskan jalan pulang, masih harus melewati tepian pematang sawah lalu ladang warga.
“Sial betul! Harusnya aku bisa bercinta dengan berbagai macam gaya, ini harus puasa dulu! Sundari pun banyak tingkah pakai acara pingit-pingitan segala!” Dia melangkah maju sembari menggerutu. Semua itu dilakukan agar rasa takut dihatinya hilang.
Sedari senternya mati, Bambang merasakan keanehan. Bulu romanya meremang – dia merasa ada yang mengikuti langkah kakinya.
Suara dedaunan dan ranting diinjak terdengar nyaring menyapa indera pendengaran pria yang ritme jantungnya mulai menggila.
Pria berwajah sedap dipandang dengan postur dan bobot tubuh ideal itu berhenti berjalan. Berdiri kaku dengan pandangan lurus pada hamparan sawah kering ditumbuhi ilalang.
Ribuan Kunang-kunang berterbangan di atas dedaunan rumput liar. Langit terlihat berbintang tanpa rembulan – perlahan sangat lamban, Bambang menoleh ke belakang.
Dia terdiam, mengamati pepohonan petai dan pinang yang tidak ada siapa-siapa. Wajahnya mendongak melihat dahan-dahan pun kosong, tak ada sosok duduk maupun bergelantungan.
'Ternyata perasaanku saja,’ ucapnya lega. Kembali memalingkan wajah hendak melanjutkan langkah.
Akhh!
Bugh!
Bokongnya menghantam tanah keras, senternya terpental entah kemana. Bambang kesulitan bernapas, wajahnya memerah lalu pias – rasanya seperti tidak bertenaga, beberapa kali berusaha berdiri langsung gagal.
“Ma_u apa kau?!” kalimatnya terbata-bata, sorot mata bergetar dan sekujur tubuh menggigil.
“Kau Setan, bukan Padmini! Iya, pasti hantu. Dirimu sudah mati, tak mungkin bisa hidup lagi!” Tangannya masuk ke dalam celana, mencari jimat buatan Nisda.
Padmini menyeringai keji, dibelakang tubuhnya – terbang ratusan Kunang-kunang sehingga tubuhnya seperti bersinar dan terlihat jelas.
“Bukankah kita suami istri? Sudah semestinya saling bersapa dan berbagi kemesraan kan, kang Bambang …?”
“Jangan mendekat! Berhenti kau Hantu!” Bambang berusaha mengesot ke belakang, tapi sama sekali tidak berpindah dari tempatnya. Kedua tumitnya menghentak tanah ditumbuhi rumput. Jimat dalam genggamannya sama sekali tidak ampuh.
“Tidakkah Kakang ingin mengambil hak sebagai seorang suami?” Langkahnya semakin dekat, dan jarak diantara mereka menjadi sempit.
Kain jarik yang membelit tubuh dari bawah ketiak sampai diatas lutut – ujungnya ditarik pelan. “Ayo Kang, aku sudah sangat siap kau buahi!”
Jeritan Bambang memecah malam, dia berteriak bak orang kesetanan. “Tolong! Sundari tolong Abang!”
.
.
Bersambung.
Bab ini di jamain readersmu mules semua ,mata berkaca kaca, gigi kering kebanyakan ngakak...
wes angel ....angel tenan nebak jalan pikiran thor Cublik ..
henhao ....joss gandos tenan.