Jade baru saja kehilangan bayinya. Namun, suaminya malah tega memintanya untuk menjadi ibu susu bagi bayi Bos-nya.
Bos suaminya, merupakan seorang pria yang dingin, menjadi ayah tunggal untuk bayi laki-laki yang baru berusia tiga bulan.
Setiap tetes ASI yang mengalir dari tubuhnya, menciptakan ikatan aneh antara dirinya dengan bayi yang bukan darah dagingnya. Lebih berbahaya lagi, perhatian sang bos perlahan beralih pada dirinya.
Di tengah luka kehilangan, tekanan dari suaminya yang egois, dan tatapan intens dari pria kaya yang merupakan ayah sang bayi, Jade merasa terperangkap pada pusaran rahasia perasaan terlarang.
Mampukah Jade hanya bertahan sebagai ibu susu? Atau hatinya akan jatuh pada bayi dan ayahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH GAUN
Adriano mendatangi sebuah butik. Dia berdiri diam cukup lama di depan etalase pakaian wanita, sehingga staf yang bekerja di sana bertanya padanya. "Tuan, apa yang Anda cari? Aku bisa membantu Anda menemukannya."
Adriano menoleh sekilas, lalu kembali menatap etalase pakaian itu. "Aku butuh gaun wanita. Sederhana, tapi terlihat elegan."
Staf itu mengangguk paham. "Ikut aku, Tuan. Aku akan menunjukkannya pada Anda."
Tanpa mengatakan apapun, Adriano segera mengikuti Staf tersebut menuju etalase lain yang lebih banyak gaun wanita sesuai yang dia cari.
"Pilihlah yang sesuai dengan keinginan Anda, Tuan," kata staf tersebut.
Adriano mendekat. Dia mulai memilih satu-persatu gaun di sana, hingga menemukan sebuah gaun berwarna merah darah yang dia rasa pas untuk Jade.
"Anda akan pilih yang itu?" tanya staf yang berdiri di belakangnya.
Adriano tidak langsung menjawab. Dia melihat harganya, dan baginya terlalu murah untuk diberikan kepada seseorang.
"Apa ada yang seperti ini, tapi harga yang lebih mahal?" tanyanya. "Aku ingin gaun dengan kualitas terbaik."
Staf tersebut tersenyum ramah. "Tentu ada. Gaun-gaun mahal yang lebih berkelas, dan biasanya dipakai oleh model dan aktris."
"Tunjukkan padaku," ucap Adriano.
Staf itu mengangguk. "Mari ikuti aku, Tuan."
Mereka tiba di ruangan lain yang penuh dengan gaun-gaun mewah, beda dengan etalase yang ada di luar.
Kali ini Adriano menatap puas. Gaun yang dia cari akhirnya bisa dia temukan. "Aku mau yang itu," katanya pelan, sambil menunjuk gaun berwarna merah darah dengan kilau lembut di bawah cahaya butik.
Gaun itu jatuh anggun di manekin, membuat siluet tubuh dengan potongan yang tegas di bagian punggung. Bagian bahu dibiarkan terbuka, memperlihatkan garis leher yang elegan tanpa terkesan berlebihan. Potongan gaun itu panjang hingga menyentuh lantai, namun belahan halus di sisi kiri menambah sentuhan misteri.
"Anda yakin pilih yang ini, Tuan?" tanya staf itu.
"Ya, sangat yakin," jawab Adriano.
"Baik, ada lagi yang Anda inginkan?"
Adriano terdiam sebentar sebelum menjawab. "Tidak, itu saja cukup."
Staf itu mengangguk. "Kita ke kasir sekarang, Tuan."
Adriano tak mengatakan apapun. Dia hanya mengangguk kecil, lalu segera mengikuti staf tersebut menuju kasir.
...----------------...
Sementara itu di mansion..
Maximo lebih rewel dari biasanya. Bayi itu terus menangis, tidak mau diletakkan di atas ranjang. Hal itu membuat Jade harus tetap menggendongnya.
"Sayangku, kenapa manja hari ini?" tanya Jade dengan lembut, diakhiri kekehan pelan.
Namun, Maximo hanya bersuara khas bayi, dan matanya memandang sayu Jade. Sesekali dia menghisap jempolnya.
"Kau lapar, ya? Mau minum susu?" tanyanya lagi, sambil duduk di tepi ranjang dan akan menyusui Maximo. Namun, ternyata bayi itu tidak mau.
Jade menyentuh kening Maximo. Tidak ada tanda-tanda tubuh bayi itu terasa hangat. "Sepertinya kau hanya ingin dimanja. Baiklah, bibi akan menggendongmu sepanjang hari. Jangan khawatir."
Sejenak, Maximo terlihat tenang. Jade juga menceritakan padanya tentang hewan-hewan, meskipun dia belum mengerti.
Namun, sedetik kemudian, Maximo menangis lagi. Jade mulai terlihat bingung. Dia akhirnya meletakkan Maximo di atas ranjang, dan memeriksa tubuh bayi itu.
"Tidak ada apa-apa," gumam Jade. "Sepertinya tidak ada gigitan serangga."
Jade kembali menggendongnya, dan kali ini tangisan Maximo semakin kencang. Jade bahkan mulai gelisah, panik, dan takut terjadi sesuatu pada Maximo.
"Sayang, kau kenapa?" tanya Jade lembut sambil mencium keningnya. "Bibi jadi bingung sekarang."
Jade membawa Maximo ke balkon, lalu mengubah posisi bayi itu dengan perlahan. Dia memastikan Maximo tetap nyaman berada di pelukannya. Dia menidurkan bayi itu di sepanjang lengannya, dengan posisi perut sang bayi menghadap ke bawah.
"Begini lebih baik, bukan?" bisik Jade, sambil mengusap punggung bayi itu dengan perlahan.
Posisi itu membuat Maximo lebih tenang. Nafas kecilnya mulai teratur, suara rewel yang tadi memenuhi ruangan kini berganti dengan gumaman halus seperti tanda puas. Jade tersenyum hangat. Dia tahu betul, posisi ini sering membantu bayi yang rewel merasa lebih nyaman, seolah tubuhnya sendiri menjadi pelindung alami bagi anak kecil itu.
"Sekarang bibi akan ceritakan padamu tentang kupu-kupu dan serangga. Kau pasti sudah mendengarnya," bisik Jade, diakhiri kekehan kecil.
*
Larut malam di mansion.
Maximo tidak mau tidur. Dia juga tidak mau minum susu, dan ingin terus berada dalam gendongan Jade.
Jade sendiri sudah menggendong Maximo seharian. Dia tampak lelah, tetapi juga tidak bisa mengabaikan Maximo. Bahkan, Jade belum mandi malam karena Maximo tidak mau dititipkan kepada pelayan.
Pada saat yang sama, Adriano membuka pintu kamar dengan pelan, karena dia mengira Maximo sudah terlelap.
Dia melihat dengan jelas bagaimana Jade yang sudah larut malam seperti ini, masih menggendong Maximo yang tampak rewel.
Adriano tak langsung masuk. Dia hanya berdiri diam, menyaksikan Jade mondar-mandir sambi menggendong putranya.
"Ternyata mengurus bayi tak semudah yang aku pikirkan," gumam Adriano. "Jade termasuk wanita yang hebat. Maximo bukan putranya, tapi dia mau merawatnya seperti ini. Atau, mungkin karena bayaran yang besar dariku?"
Adriano menghela nafasnya. Dia melebarkan pintu kamar itu, lalu melangkah masuk dengan pelan. "Ada apa, Jade?" tanyanya kemudian.
Jade menoleh perlahan. "Tidak apa-apa, Tuan. Maximo hanya sedikit rewel, dia ingin terus digendong olehku."
Adriano mengerutkan keningnya. "Apa putraku sakit?"
Jade menggeleng. "Aku sudah memeriksa suhu tubuhnya, tidak ada tanda-tanda sakit. Mungkin hanya sedikit rewel. Memang ada fase di mana bayi hanya ingin digendong seharian."
Adriano mengangguk. "Jadi, kau menggendongnya seharian ini?"
"Benar," jawab Jade singkat, sambil menepuk bokong mungil bayi itu.
"Kau pasti lelah sekali," kata Adriano dengan suara yang terdengar serak.
Jade tersenyum kecil. "Tidak sama sekali, Tuan."
"Kalau begitu aku akan tambah gajiku karena sudah bekerja keras."
"Tidak," tolak Jade dengan tegas. "Anda tidak perlu menambahnya. Percuma."
Adriano mengerutkan keningnya. "Percuma? Maksudmu?"
Jade menelan ludahnya. Dia ingin mengatakan bahwa dia tidak mungkin mendapatkan bayaran dari menjadi ibu susu untuk Maximo, tetapi dia masih merasa ragu.
Namun, sebelum Jade sempat menjawab, ponsel Adriano berdering. Begitu dia menjawab panggilan itu, wajahnya langsung berubah penuh amarah.
"Aku akan ke sana sekarang," ucap Adriano.
Setelah panggilan berakhir, pria itu menoleh kepada Jade. "Tolong jaga putraku. Aku ada urusan penting malam ini. Aku akan kembali besok pagi."
Jade mengangguk. "Tentu saja, Tuan. Aku pasti akan menjaga Maximo. Ini sudah menjadi tugasku."
Adriano hanya mengangguk singkat. Tanpa mengatakan apapun, dia segera keluar dari kamar itu.
Jade menatap pintu yang baru saja tertutup kembali, sambil bergumam, "Semoga saja Tuan Adriano tidak menambah bayarannya. Eric pasti akan semakin merasa senang jika mendapatkan bayaran berkali lipat. Laki-laki brengsek itu.." Dia menggeram pelan. "Aku harap dia segera mati!"