Subgenre: Wanita Kuat · Second Chance · Love Healing
Tagline pendek: Kisah tentang aktris yang hidup lagi — dan menemukan cinta manis dengan CEO muda, si sponsor utama dalam karirnya
Sinopsis:
Cassia, adalah artis cantik A-class. Semua project film, drama,iklan bahkan reality show nya selalu sukses dan terkenal. Namun, menjadi terkenal tidak selalu menyenangkan. Cinta yang disembunyikan, jadwal padat tanpa jeda, dan skandal yang merenggut segalanya. Maka dari itu ketika mendapatkan kesempatan terlahir kembali, Cassia mulai menjauhi orang-orang toxic di sekitarnya dan pensiun jadi artis. Ia ingin menikmati hidup yang dulu tak sempat ia lewatkan, dengan caranya sendiri. Bonusnya, menemukan cinta yang menyembuhkan dari CEO tampan, si sponsor utama dalam karirnya.
Ayo klik dan baca sekarang. Ikuti terus kisah Cassia, si aktris kuat ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 🌻Shin Himawari 🌻, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Patah Hati Max
...Disarankan baca bab ini dengan mendengarkan;...
...BM Artic Monkey - I Wanna Be Yours...
...🌻🌻🌻...
Cassia tersentak, tak siap dengan pertanyaan dari Max.
Ia baru saja ingin menjelaskan sesuatu ke Max agar tidak terjadi salah paham, tapi Max malah mendahuluinya—pertanyaan dengan nada tenang namun tepat sasaran.
Max yang masih menunggu jawaban Cassia, menatap dekat mata Cassia yang bergetar kerena kebingungan itu. Tatapannya bukan tatapan pria yang cemburu, tapi tatapan seseorang yang mulai bersiap kalau jawaban yang ia dengar akan menyakitinya.
Cassia menarik napas. Aku nggak boleh biarkan dia salah paham lebih jauh lagi. Aku harus mengakuinya, tekat Cassia dalam hati.
“Bukan seperti itu, Max. Aku sudah move on dari Felix. Tapi, iya… aku senang dia akhirnya ngerasain sakit yang sama sepertiku dulu. Itu alasan aku tersenyum tadi.” Jujur Cassia dengan nada pelan, ada keraguan apakah jawaban ini bisa di terima oleh Max.
Keheningan terasa sebentar sebelum Max menggangguk perlahan, “I see.”
Tapi Cassia melihat sesuatu dari mata teduh pria tampan itu, seolah tetap ada beban yang masih tertinggal.
Max menatapnya lama seolah sedang berpikir sesuatu lalu berkata, “Kalau kamu sudah move on, kenapa masih ingin dia ngerasain sakit yang sama, Cassia?”
Cassia menggigit bibirnya, “Karena dia pantas. Dia nyakitin aku demi menikah dengan tunangan kaya. Dan dia juga… selingkuh sama manajerku sendiri. Max, aku benci dia. Aku cuma mau dia hancur.”
Max menatap Cassia dengan sedih, menahan diri untuk bertanya lagi.
Melihat perubahan ekspresi Max yang tidak terkejut dengan fakta hubungan Felix dan Maura, Cassia yang heran jadi menyadari sesuatu yang penting.
“Kamu… sudah tahu? Jadi, semua orang selalu tahu duluan dibanding aku, ya?” Cassia tertawa getir.
“Tidak, Cassia. Aku juga baru tahu semalam,” jawab Max lembut.
“Aku datang setelah acara amal karena karena melihat ekspresi dan kondisimu tidak bagus, kupikir kamu sedang nggak baik-baik aja. Di lobby aku lihat Felix… dan Maura. Jadi aku bisa tebak pasti ada sesuatu diantara mereka.” Jujur Max, ia memberikan dukungan dengan menggenggam tangan mungil Cassia yang terlihat gemetar.
Kehangatan genggaman tangan Max tidak serta merta menghapus perasaan Cassia saat ini, “Maura datang juga semalam? Tapi kenapa dia nggak naik?” Cassia membulatkan matanya masih tidak percaya.
Sungguh keterlaluan mereka berdua! Rasanya ingin sekali Cassia mengumpat sekencang kencangnya, namun ia pendam kembali di hati.
“Aku nggak tahu, ” Max menjawab pelan sambil menggangkat bahunya.
“Yang ku lihat Maura hanya datang sebentar dan langsung pergi lagi.” Lanjut Max dengan tenang.
Max berhenti menjelaskan sampai situ saja. Mengenai rekaman CCTV yang mencurigakan yang terlihat Maura sudah mengambil foto Cassia dan Felix—yang mungkin manager itu akan pakai untuk rencana buruknya, ia memilih untuk menyimpan sendiri. Setidaknya untuk sekarang.
Max tidak ingin membebani pikiran Cassia lebih jauh. Lagipula masalah itu sudah ia handle sendiri. Max akan terus berusaha melindungi Cassia dalam diam, sesuai janjinya.
“Semalam kamu pasti kesulitan. Kamu beneran okay? Dia nggak ngelakuin apa-apa lagi kan?” Max memiringkan kepalanya, meneliti wajah Cassia. Ada kekhawatiran jelas di matanya.
Ia memang sudah memastikan sendiri dengan matanya bahwa tidak ada luka fisik Cassia, namun Max tetap bertanya karena ingin mendengar sisi jujur Cassia juga.
Cassia tersenyum sedikit lega. Meskipun tatapan sedih Max belum berubah setidaknya dari pertanyaan barusan Cassia jadi tahu Max tidak marah padanya.
“Pembicaraanku dengan Felix memang menyebalkan dan bikin capek, tapi aku masih bisa handle kok. Dan, dia itu tidak melukaiku Max. Aku baik-baik aja.” lirih Cassia diakhiri dengan tawa pelan.
Lalu Cassia memandang Max sejenak lalu melanjutkan, “Maaf ya… aku nggak tahu kamu datang. Habis bicara dengan pria itu, aku langsung tidur. Baru baca pesanmu pagi ini.” Akhirnya Cassia menyampaikan rasa bersalahnya karena tidak membuka pesan Max dengan segera semalam.
Karena memang tubuhnya sungguh kelelahan—berusaha berakting untuk menghadapi mantan manipulatif yang terus mengoceh tentang omong kosong. Sangat menguras energi dan emosi, bahkan sampai tubuhnya menjadi sakit.
Cassia tahu demamnya pasti kelihatan. Tapi ia hanya berharap Max tidak menghubungkannya dengan luka emosional. Namun, Cassia sepertinya lupa bahwa Max sudah memperhatikannya terlalu lama—jelas pria itu tahu semuanya, namun memilih tidak membahasnya sesuai keinginan Cassia.
Max menarik napas pelan sebelum berkata, “Just fine. No worries.” Balas Max, suaranya terlalu tenang. Namun terdengar menggantung seperti sedang menahan sesuatu
Max melanjutkan, lebih pelan. Dua kalimat yang terdengar seperti ia bertaruh dengan hatinya sendiri.
“Kamu tidak perlu menghadapi semua itu sendirian, Cassia. Biarkan aku di sisimu, dan membuatmu melupakan semua rasa sakit masalalu. I will take care of you today and forever.” Genggaman tangan besar Max semakin erat terasa di tangan Cassia saat ini.
Blush.
Seketika tubuh Cassia menegang, ada ledakan hangat seperti kembang api di hatinya. Entah kenapa, pernyataan Max barusan terdengar seperti pernyataan cinta di telinga Cassia—tanpa harus mengucapkan kata kata aku cinta kamu.
Terlalu jujur. Terlalu tulus, membuat jantungnya berdebar seperti habis berlari
Bagaimana ini...aku harus jawab apa? Batin Cassia menunduk, menyembunyikan seluruh wajahnya yang merah padam.
Max tidak menunggu jawaban Cassia saat melanjutkan kalimatnya lagi, ia hanya ingin Cassia melihatnya dan masa depan. “Dan soal balas dendam… apa kamu nggak bisa lepasin aja? Fokus ke dirimu sendiri. Kamu layak dapat yang lebih baik.” Suara bariton Max, terdengar yakin.
Max tidak ingin Cassia terluka lebih dalam. Ia berharap Cassia melihat keseriusannya dengan baik kali ini. Namun jawaban Cassia berikutnya membuat Max terluka—seperti ada sesuatu yang memukul kuat di dadanya.
“Max, aku tetap harus melakukan ini. Aku harus balas dendam.” Jawab Cassia, pendiriannya teguh meskipun ia tahu hal ini membuat dirinya terlihat keras kepala. Tapi, keputusan itu sudah bulat sejak semalam.
Rahangnya menegang sesaat, dengan cepat Max kendurkan kembali—takut Cassia melihatnya. Ia menunduk sebentar lalu menatap Cassia lagi, “...Aku tahu kamu akan bilang begitu. Tapi kalau kamu izinkan, aku mau bantu rencanamu. Libatkan aku, Cassia.”
Cassia terdiam, menggigit bibirnya terlihat menimbang sesatu. Lalu ia menggeleng cepat sebagai jawaban.
Tidak. Jangan. Ia tidak mau Max terseret kekacauan dan hubungan toxic antara dirinya, Felix, dan Maura, jawab Cassia dalam hati. Tapi karena tidak bisa jujur, ia memilih jawaban aman.
“Tentu aku butuh bantuanmu Max. Yang soal rencana bisnis kosmetik kemarin kita bicarakan. Tolong pertimbangkan itu, ya.” Pura pura tidak tau arah pembicaraan yang Max maksud, berusaha mengalihkan topik.
Max menelan ludahnya, seolah kekecewaan itu ada di tenggorokannya. "Jadi hanya itu saja? Hanya sekedar bantuan rekan bisnis saja?" suara Max terdengar stabil, tapi tatapan matanya menggelap—jelas Max terluka ini seperti pernyataan cinta dan bantuannya ditolak oleh Cassia.
Max tiba-tiba menarik tangannya pelan dari genggaman Cassia. Gerakan yang kecil, halus. Tapi justru itu membuat dada Cassia terasa sakit.
“Okay, baiklah,” ujarnya pendek tanpa tersenyum. Sepertinya Max sedang tidak mencoba menyembunyikan kekecewaan ataupun perasaannya lagi.
Cassia membuka mulut, ingin menjelaskan, “Max, aku—”
Namun sebuah bunyi membuat obrolan Max dan Cassia terhenti, Max pun berdiri melangkah menjauh dari Cassia.
Bersambung.
...🌻🌻🌻...
...I hope i can be your calm after storm. I wonder, there's anything that i can do for you. Because I wanna be yours. But sadly, 9 years waiting, seems not good enough. -Maximillian...
🌻: Max jadi sad boy dulu ya. Semoga Cassia bisa berubah pikiran dan lihat effortmu, bang Max
Thanks for staying with Cassia's story
ayoo keluarlah dr lingkungan yg menyakitkan itu
.