Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.
Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!
Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”
Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH 3
Setelah hari itu, Tuan Bao tak langsung pergi.
Ia tinggal beberapa hari di rumah kecil Shen Hao — alasannya sederhana: “mengajarkan dasar-dasar kultivasi agar bocah ini tidak mati konyol karena kesalahan latihan.”
Shen Hao sendiri menerima dengan wajah datar dan ucapan ringan,
“Kalau saya mati konyol, ya paling cuma nambahin beban bumi dikit.”
Sejak pagi pertama pelajaran dimulai, suasana hening memenuhi pekarangan rumah kecil itu.
Kabut spiritual di sekitar mereka terasa padat, berkilau samar dalam sinar matahari.
Tuan Bao duduk bersila di atas batu datar, sedangkan Shen Hao duduk di depannya dengan ekspresi… bosan.
Keduanya tampak seperti murid dan guru, meski yang satu lebih terlihat seperti ingin tidur ketimbang belajar.
“Pertama,” ujar Tuan Bao perlahan, “kultivasi bukan hanya mengumpulkan energi spiritual ke dalam tubuh. Kau harus menyesuaikan napasmu dengan aliran dunia ini. Dengarkan ritmenya, rasakan denyutnya.”
Shen Hao menatapnya dengan wajah kosong.
“Dengar napas dunia, ya? Kalau dunia ini lagi flu gimana, Tuan?”
Tuan Bao menatapnya datar. “Shen Hao.”
“Baik, baik, saya diam.”
Setelah itu, latihan pun dimulai.
Shen Hao mengikuti instruksi perlahan, menutup mata, mengatur napas, lalu mencoba menyalurkan energi spiritual ke dalam tubuhnya sesuai pola dasar yang diajarkan.
Awalnya semua berjalan tenang… hingga wajahnya menegang.
“Ugh…!”
Suara batuk keras terdengar, dan darah segar memercik ke tanah.
“Shen Hao!”
Tuan Bao terlonjak, namun pemuda itu hanya mengangkat tangan.
“Saya baik-baik aja… cuma kayak paru-paru saya seperti ditinju naga.”
Tuan Bao menatapnya tajam. “Kau memaksa energinya terlalu cepat masuk!”
“Eh, bukannya makin cepat makin bagus?”
“Tidak kalau kau masih manusia.”
Shen Hao hanya nyengir, lalu mencoba lagi.
Hasilnya?
Batuk darah.
Lalu lagi.
Batuk darah.
Dan lagi.
Hingga akhirnya ia tergeletak di tanah sambil memegangi dada, wajahnya kusut antara frustrasi dan pasrah.
“Kenapa selalu seperti ini sih… Aku tidak bisa mejadi kultivator sejati, Tuan Bao. Mungkin aku memang cuma cocok jadi pemancing.”
Tuan Bao menatapnya lama.
Ia bisa merasakan — setiap kali Shen Hao “gagal” dan batuk darah, riak energi spiritual di sekitarnya justru semakin stabil.
Tubuh Shen Hao menyesuaikan diri dengan cepat, seperti menyerap setiap kesalahan untuk membentuk pemahaman baru.
Ia sadar… bocah ini tidak gagal. Justru setiap “gagal”-nya adalah berhasil.
Namun pria tua itu tidak mengatakan apa pun.
Ia hanya tersenyum samar, menepuk pundak Shen Hao pelan.
“Jangan menyerah. Kadang, jalur menuju kekuatan bukan tentang seberapa bersih kau berlatih, tapi seberapa sering kau bertahan meski darahmu keluar.”
Shen Hao mendesah, menatap langit yang mulai oranye.
“Kalimatnya bagus… tapi dada saya rasanya seperti masih berlubang.”
Tuan Bao terkekeh kecil, menatap kabut spiritual yang berputar lembut di sekitar rumah itu.
Ia bisa melihat bagaimana energi dunia menari di dekat Shen Hao, seolah mengenali keberadaannya.
“Teruslah berlatih, Shen Hao. Suatu hari kau akan paham.”
“Paham apa?”
Tuan Bao menatapnya dengan senyum penuh makna.
“Bahwa terkadang, darahmu bukan tanda kegagalan — tapi bukti bahwa tubuhmu sedang tumbuh lebih kuat daripada yang bisa kau sadari.”
Shen Hao hanya mendengus, lalu berbaring di rumput, menatap langit sore.
“Kalau gitu, semoga besok saya batuk darah lebih banyak lagi.”
Tuan Bao tertawa keras kali ini, sampai membuat beberapa burung di pohon terbang kaget.
Dalam tawa itu, matanya menyimpan pandangan rumit — kagum, prihatin, dan juga sedikit gentar.
Karena di depan matanya, seorang pemuda tanpa dasar, tanpa ilmu, tanpa teknik,
telah menyentuh fondasi dunia kultivasi dengan cara yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manusia.
Matahari pagi menembus sela dedaunan, membiaskan cahaya lembut ke dalam halaman rumah kecil itu.
Kabut spiritual masih menggantung tenang, berputar di antara pohon-pohon, seperti enggan berpisah dengan tempat yang mereka sebut rumah.
Shen Hao sedang duduk di tangga depan, memoles bambu pancingnya dengan serius — seolah itu benda paling berharga di dunia.
Tuan Bao berdiri tak jauh darinya, menatap pemandangan itu dengan ekspresi samar antara lega dan khawatir.
“Masih memancing juga, hah?”
Suara Tuan Bao pelan tapi terdengar jelas.
Shen Hao melirik sekilas tanpa menoleh penuh.
“Ya. Setidaknya ikan tidak butuh aku punya kultivasi tinggi buat datang ke kail.”
Tuan Bao tersenyum tipis. “Tapi dunia di luar sini jauh lebih luas daripada yang bisa kau tangkap dengan kail, Shen Hao.”
Shen Hao berhenti menggosok bambunya, lalu menatap ke arah hutan.
Kabut putih yang selama ini melindunginya terlihat seperti tirai tebal yang membatasi pandangan.
Dibalik sana, entah ada apa — kota, sekte, gunung suci, atau mungkin sekadar jurang kematian.
“Aku tahu maksud Anda, Tuan Bao…” katanya pelan. “Tapi rumah ini… tempat ini… satu-satunya tempat di mana aku bisa tenang.”
“Tenang tidak selalu berarti hidup, Shen Hao.”
Suara Tuan Bao lembut, tapi mengandung beban pengalaman puluhan tahun.
“Kadang, kau harus berjalan keluar dari tempat yang membuatmu nyaman. Bukan karena kau ingin, tapi karena kau harus.”
Shen Hao menatap pria tua itu, lalu tersenyum kecut.
“Kalimat bijak lagi, ya? Kadang saya pikir Anda ini lebih cocok jadi penulis daripada kultivator.”
Tuan Bao hanya tertawa pelan, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya — sebuah kantung kecil dari kulit hitam, diikat dengan benang emas halus.
Ia melemparnya perlahan ke arah Shen Hao.
Shen Hao menangkapnya dengan refleks.
“Ini apa?”
“Sedikit bekal. Beberapa koin emas, dan jimat pelindung sederhana. Tidak banyak, tapi cukup untuk memulai perjalananmu.”
Shen Hao menatap kantung itu lama, lalu kembali menatap Tuan Bao.
“…Jadi, Anda beneran menyuruh saya pergi, ya?”
“Bukan menyuruh. Menyadarkan.”
Tuan Bao menatap jauh ke arah hutan.
“Dunia ini luas, penuh bahaya, tapi juga penuh pelajaran. Kau tak akan pernah tahu siapa dirimu sebenarnya kalau hanya berdiam di tempat ini.”
Shen Hao menghela napas panjang.
“Aduh… kedengarannya melelahkan.”
“Itu karena kau belum mencoba.”
Sunyi sejenak.
Hanya suara angin yang melewati pepohonan, menggoyangkan dedaunan seperti gumaman pelan dari alam.
Akhirnya Shen Hao berdiri, menyampirkan tongkat pancing di bahunya, dan menyimpan kantung itu di sabuknya.
Ia menatap rumah kecil itu — tempat ia tertawa, terluka, bahkan hampir mati berkali-kali — lalu tersenyum samar.
“Baiklah, Tuan Bao… kalau dunia ini benar-benar luas seperti yang Anda bilang, mungkin aku harus melihatnya sendiri.”
Tuan Bao mengangguk.
Senyumnya kali ini berbeda — bukan senyum guru kepada murid, tapi senyum seorang ayah kepada anak yang akhirnya siap meninggalkan rumah.
“Satu hal terakhir, Shen Hao,” katanya perlahan. “Jangan takut pada darahmu sendiri. Dunia ini keras, tapi kadang kekuatan sejati lahir dari luka yang tak kau pahami.”
Shen Hao menatapnya sebentar, lalu tertawa kecil.
“Kalimat bijak lagi. Tapi baiklah, saya catat.”
Tuan Bao hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu perlahan berjalan meninggalkan rumah itu.
Langkahnya ringan, tapi setiap langkah terasa seperti menandai akhir sebuah bab.
Shen Hao berdiri diam sampai bayangan pria tua itu menghilang di balik kabut.
Lalu ia menarik napas panjang, menatap hutan lebat di hadapannya — dunia yang belum pernah ia lihat, dunia yang kini memanggilnya.
“Yah,” gumamnya sambil tersenyum, “semoga di luar sana tidak ada truk lagi.”
Dengan langkah tenang, Shen Hao akhirnya mulai menuruni jalan setapak hutan itu.
Dan untuk pertama kalinya, kabut spiritual yang melindunginya selama ini berpisah perlahan, seolah memberikan restu.