NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:753
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Rapat direksi dimulai pukul delapan. Tapi Nathan sudah ada di ruangannya sejak pukul delapan kurang lima menit. Tiga layar terbuka di hadapannya. Laporan penjualan, surat audit internal, dan satu dokumen evaluasi program CSR yang ia minta tinjau ulang. Jari-jarinya cekatan menandai bagian-bagian penting dengan highlighter digital.

Setahun lalu, ia bahkan tak paham perbedaan laporan kas dan arus laba. Sekarang, ia bisa menunjukkan letak kebocoran biaya dalam dua menit pertama presentasi keuangan. Bukan karena ia jenius. Tapi karena ia bertahan, belajar, bertumbuh. Setiap pagi datang lebih awal. Setiap malam pulang lebih lambat. Setiap kali malu karena tak tahu, ia mencatat. Bukan diam.

Pukul delapan lebih sepuluh menit, Nathan sudah duduk di kepala meja. Matanya tenang, tangan di atas meja, dan postur tubuhnya tak lagi menyiratkan bayang-bayang siapa pun. Ia bukan lagi bayangan dari sang ayah. Ia berdiri sendiri sekarang.

"Baik," suaranya terdengar mantap. "Kita mulai dengan review laporan kuartal ketiga. Hilda, silakan."

Presentasi berjalan. Beberapa anggota direksi melirik ke arahnya sesekali, menunggu komentar atau pertanyaan. Dulu, tatapan itu mengandung ragu. Sekarang mereka tahu, setiap keputusan akan ditanya. Setiap angka akan diurai. Tidak ada lagi tempat untuk pura-pura paham di meja itu.

Setahun terakhir, ia mengganti hampir seperempat struktur tim manajemen. Bukan karena ingin menunjukkan kuasa, tapi karena ingin tempat ini sehat. Ada yang mundur karena tidak tahan ritmenya. Ada yang tetap tinggal, dan kini tumbuh bersamanya.

Ia bahkan menghafal nama beberapa staf di luar divisinya. Bagian legal, bagian logistik, hingga tim pengembangan anak magang. Ia tak lagi menghindar saat diajak berdiskusi mendalam, bahkan sering menjadi orang yang justru memulai. Ia membangun sistem pelaporan baru yang lebih transparan. Ia duduk bersama IT, bukan menyuruh dari jauh. Ia datang ke gudang, bukan hanya menandatangani laporan pengiriman.

Kini, semua itu terasa bukan sebagai beban. Tapi bagian dari dirinya.

Sesi rapat berakhir satu setengah jam kemudian. Nathan menutup laptopnya, lalu berdiri. Semua anggota direksi ikut berdiri. Ada anggukan hormat. Bukan karena posisi. Tapi karena proses.

Di ruangannya, ia duduk sejenak sambil menatap meja kosong. Di sana pernah ada kebingungan. Pernah ada rasa asing. Tapi hari ini, ruang itu tak lagi membuatnya merasa kecil. Justru sebaliknya, ia mengisi ruang itu. Dengan caranya sendiri. Dengan versinya sendiri.

Dan saat cangkir kopinya datang, ia tersenyum tipis.

Hari ini, bukan kopi yang membuatnya terjaga.

Tapi rasa bahwa ianakhirnya... menjadi seseorang yang layak dikenali bukan karena warisan. Tapi karena usaha.

Nathan melirik jam di sudut layar: 17.58. Masih ada satu dokumen evaluasi CSR yang belum sepenuhnya ia pahami. Beberapa catatan margin laba dan rincian mitra daerah tampak janggal, dan ia tak ingin membiarkannya begitu saja.

"Sepuluh menit cukup," katanya. Ia melepas jas, menyingsingkan lengan kemeja, dan duduk kembali.

Jari-jarinya berpindah cepat dari satu kolom ke kolom lain. Ia membuka file perbandingan tahun sebelumnya, lalu spreadsheet tambahan yang dikirim tim lapangan. Angkanya mulai membentuk pola. Masalahnya jelas. Ia mulai menulis.

Ketika layar laptop meredup, Nathan mengedipkan mata. Jam di taskbar menunjukkan 19.26.

Napasnya tercekat. Seketika ia berdiri, meraih jas dan ponsel. Ia ingat ada janji dengan Kayla untuk makan malam bersama. Ada empat panggilan tak terjawab dari Kayla. Satu pesan pendek.

"Aku tunggu di meja biasa."

Langkah Nathan cepat, tapi tak panik. Ia menyisipkan ponsel ke saku, menekan tombol lift, dan menghembuskan napas panjang. Ia tahu Kayla tidak akan marah.

***

Restoran.

Kayla duduk di dekat jendela, tangan melingkari gelas lemon tea yang tinggal separuh. Wajahnya hangat, tapi tidak seceria biasanya.

Nathan datang dengan langkah terburu. "Maaf. Aku... tadi mau beresin satu hal. Kupikir cuma sebentar."

Kayla tersenyum kecil. "Aku tahu. Ini bukan pertama kalinya. Aku tahu kalau kekasihku ini sedang gila kerja. Tidak apa-apa. Mau makan apa?" tanya Kayla di akhir kalimat seraya menyodorkan buku menu.

Nathan duduk pelan di hadapan Kayla, menyambut buku menu yang disodorkan itu tanpa langsung membukanya. Matanya tertuju pada wajah perempuan di depannya. Wajah yang tersenyum, tapi matanya terasa lebih sunyi dari biasanya.

"Iya... maaf ya," gumamnya sambil menunduk sedikit. "Kupikir cuma sebentar, ternyata kebawa fokus."

"Sudah kubilang, tidak apa-apa." Kayla membuka menu miliknya, seolah tak ingin membuat momen itu canggung. Tapi nada suaranya terlalu datar untuk disebut tulus.

Nathan tahu itu. Ia bukan bodoh.

Sambil membolak-balik halaman menu, ia mencuri pandang ke arah tangan Kayla yang sedikit gemetar. Mungkin karena dingin. Mungkin juga karena lelah menunggu. Ia menyesap udara, mencoba mencari kalimat yang tepat, tapi tak ada yang cukup layak untuk menambal keterlambatan itu.

"Kayla... aku beneran-"

"Gimana kalau kita pesan menu paket yang biasa aja?" potong Kayla, kali ini dengan senyum sedikit lebih lebar, seperti mencoba menyelamatkan makan malam yang sudah lewat waktunya. "Kita belum makan di sini lagi sejak kamu sibuk banget sama kerjaan kamu, kan?"

Nathan mengangguk perlahan. Ia membenarkan posisi duduknya, lalu membuka menu dengan enggan. Tapi fokusnya tak benar-benar pada daftar makanan. Yang lebih mengganggunya adalah kalimat tadi. "Ini bukan pertama kalinya."

Nathan terdiam. Ia mengingat sesuatu, pelukan yang terasa jauh, satu pagi dengan bubur ayam dingin, dan suara tangis yang tak pernah ia sangka bisa keluar dari perempuan setegar Kayla.

Itu sudah setahun lalu. Sungguh ia tak mau momen itu terulang kembali.

"Aku... sesering itu ya, bikin kamu nunggu?"

Kayla terdiam beberapa detik. Tangan yang tadinya sibuk membolak-balik menu kini berhenti di satu halaman.

"Bukan sesering itu," katanya akhirnya. "Tapi cukup sering sampai aku hapal rasanya."

Kalimat itu menampar lebih pelan dari nada suaranya, tapi lebih dalam dari yang Nathan duga.

Ia menunduk. "Aku nggak sadar..."

"Aku tahu," potong Kayla cepat. "Makanya aku nggak pernah bilang apa-apa. Aku ngerti kamu kerja keras. Aku bangga bahkan."

Nathan menatapnya. "Tapi... kamu nggak keberatan?"

Kayla tersenyum, tipis sekali. "Nggak. Tapi kadang aku mikir, pengertian aku ini... cukup nggak buat kamu sadar?"

Suara piring dan garpu dari meja lain mengisi jeda di antara mereka. Tapi di meja itu, waktu seperti menahan napas.

Nathan tak langsung menjawab. Ia menatap jendela, lalu kembali ke wajah perempuan yang selama ini paling sabar ia kenal. Ia merasa kecil. Padahal tadi pagi, ia merasa besar. Di kantor.

"Aku janji bakal coba lebih..."

"Jangan janji," potong Kayla lagi, kali ini suaranya lebih lembut. "Aku nggak minta apa-apa malam ini. Cuma pengin kita makan bareng, kayak dulu."

Nathan mengangguk, meski hatinya terasa berat. Malam ini, untuk pertama kalinya, Nathan mulai takut, takut kalau kerja keras yang membuatnya berdiri, juga yang pelan-pelan menjauhkan satu-satunya tangan yang selalu menuntunnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!