NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:465
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kekacauan

“Dasar wanita j4lang! Kamu perusak rumah tangga orang!” teriak wanita itu sambil tiba-tiba meraih rambut Cantika. Dengan kasar ia menarik, membuat Cantika meringis.

“Awww… lepas,” bisik Cantika tak berdaya.

“Mah, kamu apa-apaan? Lepasin!” Pak Wahyu berusaha melerai.

“Oh, jadi kamu lebih membela dia?” sahut Bu Heni menyerang, suaranya meninggi.

“Bukan—bukan begitu, tapi dia nggak salah apa-apa.”

Plaaakkkkk… terdengar sebuah tamparan.

“Tega kamu, Mas, lebih bela dia daripada aku, istrimu!” teriak Bu Heni, menarik perhatian banyak orang. Musik klub yang berisik tak sanggup menutupi amarahnya.

“Aku bukan membela, tapi ini tempat umum. Ayo, lebih baik kita pulang,” Pak Wahyu menarik tangan istrinya, namun Bu Heni menepisnya.

“Aku nggak mau pulang. Aku mau beri pelajaran dulu sama dia!” Bu Heni menunjuk ke arah Cantika dengan napas berat.

Tiba-tiba sebuah tangan menahan Bu Heni. Mami Viola muncul, ekspresinya tegas.

“Jangan buat keributan di sini,” katanya pendek.

“Oh, kayaknya ini yang punya tempat terkutuk ini. Saya peringatkan, lebih baik tutup. Tempat seperti ini cuma akan meruntuhkan rumah tangga orang,” Bu Heni melontarkan kata-kata menghakimi. Cantika masih syok; baru beberapa hari bekerja, sudah menghadapi kekacauan seperti ini.

“Anda tidak berhak bicara begitu pada saya,” Mami Viola membalas dengan nada yang dalam.

“Aku punya hak, karena sa—” Bu Heni belum sempat selesai.

“Mah, udah. Ayo pulang,” Pak Wahyu menarik lebih kuat. Mabuk membuat emosinya tak stabil.

“Aku nggak akan pulang sebelum kamu talak aku!” Bu Heni menggoyang-goyangkan tubuhnya, langkahnya berat.

“Kita bicarakan nanti di rumah,” rayu Pak Wahyu mencoba menenangkan.

“Nggak ada lagi pembicaraan baik-baik. Aku mau cerai. Aku capek!” bu Heni teriak sambil berjalan pergi, langkahnya meninggalkan jejak kemarahan.

Cantika terus menatap punggungnya sampai hilang di kerumunan. Ia menunduk, menyesal, merasa bertanggung jawab karena ulahnya dianggap telah meruntuhkan rumah tangga orang lain.

Mami Viola, yang sejak tadi memperhatikan Cantika hanya diam membeku, mendekat lalu menepuk pundaknya dengan lembut.

“Jangan dipikirkan, sayang. Itu cuma masalah kecil,” ucapnya tenang, seakan tak ingin menambah beban pikiran Cantika.

Cantika mendongak, tersenyum tipis untuk sekadar menghormati.

“Iya, Mi.”

“Bagus. Sekarang kamu lanjut lagi, masih banyak tamu yang perlu ditemani. Ingat, kalau ada kejadian kayak tadi, jangan pasrah. Kamu harus lawan.” Nada Mami Viola terdengar tegas, seperti ibu yang sedang mendidik anaknya.

Cantika hanya mengangguk pelan. “Iya, Mi.”

Mami Viola menghela napas puas. Ia paham betul Cantika masih kaku, masih belajar. Lalu, seperti biasa, ia kembali berkeliling, memantau suasana klub dari segala sudut.

Sementara itu, Cantika justru makin ragu. Bayangan insiden barusan menempel kuat di kepalanya. Jantungnya masih berdebar, tangannya gemetar, hingga ia meremas ujung gaun yang dikenakannya.

" Huffttt… ternyata aku lemah sekali " batinnya getir.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaknya. Cantika terlonjak kecil.

“Hey, Cantika. Kamu pasti masih syok sama kejadian tadi, ya?” suara ramah Lestari, salah satu LC senior, membuyarkan lamunannya.

Cantika menatapnya, mencoba tersenyum.

“Iya… aku baru pertama kali lihat yang kayak gitu.”

“Haha, tenang aja. Kalau udah lama kerja di sini, kamu bakal biasa. Kejadian kayak gitu sering banget. Apalagi di ruangan umum kayak gini, beda sama VIP yang lebih terjaga.”

Cantika mengangguk, masih kaku. “Mungkin karena aku masih baru, jadi kaget banget.”

Lestari terkekeh, menepuk tangannya lalu meraih lengan Cantika.

“Udah, yuk! Jangan kepikiran terus. Malam masih panjang. Tips banyak yang nunggu.”

Dengan langkah ragu, Cantika ikut berjalan bersamanya. Musik berdentum, lampu berkelap-kelip. Ia kembali menuangkan minuman ke gelas para tamu, sesekali ikut berjoget meski tubuhnya kaku. Senyumnya tipis, tapi di balik itu, hatinya masih diselimuti rasa takut dan ragu.

Tak terasa, waktu sudah merambat ke pukul satu dini hari. Cantika kini bersiap pulang, gaun kerjanya sudah ia ganti dengan pakaian sederhana yang ia kenakan dari rumah.

Ia melangkah keluar klub, lalu memanggil sebuah taksi. Sepanjang perjalanan, matanya sesekali melirik ke luar jendela. Jalanan lengang, lampu jalan redup, hanya sesekali kendaraan melintas. Kesepian itu menyalakan rasa sedih di dadanya. " Orang-orang lain sudah lelap di rumah, sementara aku baru saja pulang dari dunia yang penuh hiruk-pikuk ini. " batinnya.

Taksi akhirnya berhenti di depan rumah kecilnya. Cantika buru-buru meraih tasnya dan membuka pintu.

“Terima kasih, Nona,” sapa sopir taksi ramah.

“Sama-sama, Pak,” jawab Cantika sambil tersenyum tipis.

Ia segera masuk, membuka pintu pelan dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Semua ia lakukan hati-hati, takut suara kecil saja mengganggu tidur ibunya. Malam yang berat akhirnya berakhir, meski hatinya masih terasa penuh beban.

**

Pagi kembali menyapa. Kelopak mata Cantika perlahan terbuka saat cahaya matahari menembus celah jendela, mengusik tidurnya yang masih berat. Rasa kantuk masih menghantui, tapi ia memaksa diri bangun. Hari ini bukan hari biasa, hari ini ia kembali kuliah setelah dua bulan tertunda karena biaya.

Dengan semangat bercampur gugup, Cantika segera mandi dan bersiap. Sebelum berangkat, ia memutuskan keluar untuk membeli sarapan. Di rumah sederhana itu, belum ada perlengkapan masak sama sekali.

Begitu melangkah ke halaman, senyum merekah di wajahnya. Ia melihat ibunya berdiri di depan rumah, tengah meregangkan otot-otot tubuh dengan perlahan. Ada rasa hangat yang mengalir di dada Cantika. Semua lelah, semua pengorbanan yang ia lakukan, serasa terbayar saat menyaksikan ibunya tampak sehat kembali.

Meski Cantika tahu, penyakit ginjal yang diderita ibunya masih membutuhkan pengobatan panjang, tapi setidaknya untuk saat ini ia bisa bernapas lega. Yang terpenting, ia masih bisa melihat senyum ibunya, dan itu sudah cukup membuatnya kuat.

“Ibu udah bangun?” sapa Cantika sambil menghampiri, senyum merekah di wajahnya.

Ibunya menoleh, ikut tersenyum lembut. “Iya, Nak. Sejak subuh tadi. Udara pagi enak buat badan.” Ia mengusap lengan Cantika sebentar, lalu menatap anaknya penuh rasa sayang. “Kamu kelihatan capek. Pulang semalam larut sekali, ya?”

Cantika terdiam sejenak, lalu tersenyum menenangkan. “Iya, Bu. Tapi nggak apa-apa. Toh sekarang aku bisa lanjut kuliah lagi. Itu yang paling penting.”

Ibunya menarik napas panjang, wajahnya sempat murung. “Ibu cuma khawatir kamu terlalu banyak pikiran dan tenaga terforsir. Kamu kerja malam, kuliah siang, belum lagi ngurusin rumah. Badan kamu itu masih muda, tapi jangan dipaksa, Nak.”

Cantika menggenggam tangan ibunya erat. “Justru karena Ibu, aku kuat. Kalau aku nyerah, siapa lagi yang jagain Ibu? Lagi pula, semua yang aku lakuin ini buat kita berdua.”

Mata sang ibu sedikit berkaca-kaca, lalu mengusap kepala Cantika dengan lembut. “Anak Ibu memang luar biasa. Semoga Allah selalu jaga langkahmu, Nak.”

Cantika mengangguk, senyumnya menguat. “Amin. Doa Ibu yang bikin aku semangat.” Ia lalu pamit sebentar untuk membeli sarapan, hatinya terasa penuh kehangatan.

Setelah sarapan sederhana bersama ibunya, Cantika bergegas pergi ke kampus. Seperti biasa, ia naik angkot, satu-satunya transportasi yang paling terjangkau baginya. Di dalam angkot yang berguncang di jalanan kota, ia sesekali menatap keluar jendela, membayangkan bagaimana hari pertamanya kembali kuliah setelah lama tertunda.

Sesampainya di depan gerbang, ia turun, membayar ongkos, lalu melangkah dengan langkah ringan. Senyum merekah di wajahnya saat matanya menatap gedung kampus yang menjulang kokoh.

Di momen itu, hatinya bergetar, seakan menemukan secercah harapan yang kembali menyala. Kampus itu bukan hanya tempat belajar, tapi pintu menuju masa depan. Masa depan yang selalu ia impikan: kehidupan yang lebih baik, yang bisa membanggakan ibunya, dan membayar semua pengorbanan yang telah mereka lalui bersama.

Namun senyum Cantika mendadak memudar. Nafasnya terhela berat begitu matanya menangkap dua sosok yang paling ingin ia hindari: Elsa dan Sindi. Dua orang yang sejak dulu tak pernah lelah merendahkannya.

“Eh, lihat deh… ada si miskin datang,” suara Elsa terdengar nyaring, penuh ejekan. “Gue kira lo udah berhenti kuliah karena nggak mampu bayar. Hahaha!”

Sindi langsung menimpali dengan nada tengil. “Haha, bener banget. Dan coba liat penampilannya, masih aja dekil. Nggak ada bedanya sama dulu.”

Tawa keduanya pecah, menyayat telinga.

Cantika mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, kuku hampir menusuk telapak. Hatinya muak, namun ia menolak memberi mereka kepuasan. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah mantap tanpa menoleh.

“Uh, dia pergi! Jangan-jangan mau nangis tuh!” ledek Elsa lagi.

Cantika tetap tak menggubris. Aku datang ke sini untuk menimba ilmu, bukan untuk meladeni mulut mereka. Ia mengulang mantra itu dalam hatinya, menjaga agar semangat yang tadi membuncah tidak runtuh hanya karena dua orang yang iri dan tak punya empati.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!