Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!” Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—32
Malam itu Cassia tampak menawan dalam balutan gaun navy berlengan pendek, selutut, dengan potongan kerah sabrina yang memperlihatkan garis bahunya dengan anggun.
Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang tersenyum sekilas—lalu mengerutkan dahi. Senyum itu memudar perlahan. Malam ini ia tidak benar-benar ingin datang ke acara perusahaan itu.
Andai bukan karena desakan Joel yang mewajibkannya hadir sebagai sekretaris, Cassia pasti lebih memilih malam itu untuk menemani ibunya yang terbaring di rumah sakit.
‘Malas sekali... tapi mau bagaimana? Masih bekerja di bawah orang, tentu harus patuh pada segala perintah, bukan?’ batin Cassia.
Ia menghela napas panjang, meraih clutch kecilnya, menalikan ke bahu dengan gerakan malas. Satu tatapan terakhir ia lemparkan pada cermin, sebelum melangkah keluar dari kamarnya.
Acara malam itu diselenggarakan di aula sebuah hotel mewah, dihiasi lampu kristal dan bunga putih yang tersusun rapi di setiap sudut ruangan. Para tamu—kebanyakan karyawan perusahaan—telah hadir, menanti dimulainya pesta. Hanya Cassia yang belum tiba.
Cassia berjalan cepat, hampir tergesa, tumit sepatunya mengetuk lantai dengan ritme cemas. Panggilan dari Joel beberapa menit lalu—yang mengatakan pesta baru akan dimulai setelah ia datang—membuatnya merasa tertekan.
Begitu sampai di depan aula, dua sosok segera menyambutnya. Nania tersenyum ramah, sementara Jasmine melirik dengan nada sinis yang terselip di balik senyumnya.
“Cassy, kau ini bagaimana sih?” katanya pelan tapi menusuk. “Sebagai sekretaris Presdir J, harusnya kau datang lebih awal. Lihat, karenamu semua jadi menunggu untuk memulai pesta.”
Cassia baru hendak membuka mulut untuk menjawab, ketika sosok lain datang menghampiri. Irene—dengan kedua tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat—menatapnya penuh ketidaksukaan.
“Sekretaris macam apa kau ini? Bisa-bisanya membuat Joel menunggu, sampai harus menunda dimulainya pesta,” ujarnya sinis, setiap katanya seperti ditimbang untuk melukai.
Ia menatap Cassia dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu menambahkan dengan nada dingin, “Tidak beretika. Kalau memang tak sanggup bekerja di bawah tekanan, lebih baik mundur saja.”
Ucapan itu langsung membuat darah Nania mendidih. Ia mengepalkan tangan, siap membalas dengan nada lebih tajam, namun Cassia cepat menahan lengannya—tatapannya meminta diam.
Tepat saat suasana memanas, langkah berat terdengar dari arah pintu. Joel muncul, mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya tenang namun tegas. Tanpa banyak kata, ia melangkah mendekat dan mengulurkan tangan pada Cassia.
Gerakan sederhana itu membuat semua orang di sekitarnya menahan napas.
Jasmine terpaku, sementara Irene menegang—mata membulat tak percaya.
“Joel… apa-apaan ini? Kenapa kau harus menggandengnya?” sergah Irene, suaranya meninggi di antara musik lembut ruangan. Ia masih berusaha tersenyum, tapi nada cemburu di baliknya tak lagi bisa disembunyikan.
Joel menatapnya sekilas, lalu menjawab dengan tenang namun tegas, “Bukankah tadi sudah kukatakan, Irene? Cassia pantas mendapatkan apresiasi. Berkat presentasinya, klien yakin untuk berinvestasi dan bekerja sama memasarkan produk baru kita.”
“Tapi, Joel… bukankah yang lain juga ikut andil? Lalu kenapa hanya Cassia yang kau istimewakan?” suara Irene terdengar bergetar, setengah menahan cemburu. Tatapannya menusuk ke arah Cassia, seolah kehadiran perempuan itu adalah duri yang tiba-tiba tumbuh di antara mereka. Mulutnya terus saja merajuk, mencari celah agar Joel menarik ucapannya.
Joel menatapnya tanpa emosi. “Kau benar, yang lain memang berperan,” katanya tenang, namun nadanya tegas. “Tapi kemarin, yang memegang kendali sepenuhnya adalah Cassia. Jika ia gagal membawakan presentasi itu, aku ragu klien akan setuju untuk bekerja sama dengan perusahaan kita.”
Nada suaranya tak meninggi, tapi caranya menyebut nama Cassia—penuh keyakinan—cukup membuat Irene memucat. Api amarah dan ketidakpercayaan mengalir di matanya, sementara Cassia hanya bisa berdiri di sana, terdiam, antara bangga dan takut.