Di barat laut Kekaisaran Zhou berdiri Sekte Bukit Bintang, sekte besar aliran putih yang dikenal karena langit malamnya yang berhiaskan ribuan bintang. Di antara ribuan muridnya, ada seorang anak yatim bernama Gao Rui, murid mendiang Tetua Ciang Mu. Meski lemah dan sering dihina, hatinya jernih dan penuh kebaikan.
Namun kebaikan itu justru menjadi awal penderitaannya. Dikhianati oleh teman sendiri dan dijebak oleh kakak seperguruannya, Gao Rui hampir kehilangan nyawa setelah dilempar ke sungai. Di ambang kematian, ia diselamatkan oleh seorang pendekar misterius yang mengubah arah hidupnya.
Sejak hari itu, perjalanan Gao Rui menuju jalan sejati seorang pendekar pun dimulai. Jalan yang akan menuntunnya menembus batas antara langit dan bintang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlatih Senjata
Gao Rui kembali berlatih di bawah bimbingan gurunya. Setelah sarapan sederhana, bubur panas dan sedikit rebusan sayur, ia langsung berdiri tegak di halaman depan, menunggu instruksi berikutnya. Wajahnya masih kelelahan, namun semangatnya kembali menyala.
Boqin Changing berdiri di hadapannya dengan tangan bersedekap.
“Duduklah.”
Tanpa banyak bicara, Gao Rui duduk bersila. Ia menenangkan napasnya, mencoba menata pikirannya.
Lalu dari ujung telunjuk Boqin Changing, seberkas cahaya putih yang sangat tipis ditembakkan. Cahaya itu menembus langsung ke titik di antara alis Gao Rui.
“U-Ugh!”
Tubuh Gao Rui sedikit tersentak. Matanya melebar, napasnya tertahan.
Saat itulah ilmu baru mulai mengalir dalam pikirannya begitu saja, menyeruak masuk seolah ada seseorang yang menuangkan segunung pengetahuan langsung ke dalam otaknya. Jurus, pola napas, teknik gerakan, semuanya masuk dalam bentuk memori yang tiba-tiba ia seperti pernah pelajari sebelumnya.
Rasanya aneh. Seperti menerima kitab ilmu tanpa harus membuka lembaran apa pun. Pengetahuan itu langsung terukir dalam ingatan.
Namun bersamaan dengan itu, muncul juga rasa sakit menusuk di kepalanya, seperti otaknya dipaksa bekerja melampaui batas.
Gao Rui menggertakkan gigi, menahan rasa sesak itu. “Uhuk!”
“Jangan melawan,” ujar Boqin Changing datar. “Terima, lalu serap...”
Gao Rui memejamkan mata. Napasnya mulai teratur. Ia mulai mengerti. Ia mulai membiarkan aliran cahaya itu bergerak dan menyatu dengan pikirannya, bukan melawannya. Perlahan, rasa sakit itu berkurang berganti dengan kejernihan.
Gao Rui membuka mata perlahan. Ilmu yang tadi dikirim gurunya kini telah tersusun rapi dalam pikirannya. Namun alih-alih teknik pukulan atau pernapasan seperti sebelumnya, ia justru dibuat bingung.
“…Ini… ilmu menggunakan senjata?” gumamnya heran.
Ia berdiri dan menatap gurunya.
“Guru… kenapa kali ini kau memberiku ilmu bersenjata? Aku bahkan tidak punya senjata…”
Boqin Changing tidak menjawab. Ia hanya menatap Gao Rui sebentar dengan ekspresi tak terbaca, lalu mengangkat tangannya dan melemparkan sesuatu.
Swush!
Refleks, Gao Rui menangkap benda melayang itu. Saat ia melihatnya, matanya membelalak.
“Cincin ruang?”
Ia memandang gurunya dengan tidak percaya.
“Pakai itu untuk latihan,” ujar Boqin Changing datar.
Gao Rui mengerutkan dahi.
“Tapi guru, ini....”
“Lihat saja sendiri isinya”
Gao Rui menelan ludah dan menurut. Ia melihat ke dalam cincin itu dan seketika tubuhnya terpaku.
“…Ini… apa…?”
Di dalam cincin itu tersimpan ratusan senjata. Pedang panjang, pedang pendek, tombak, trisula, sabit bulan, rantai besi, kipas tajam, cambuk baja, kapak besar, bahkan sarung tangan dan berbagai macam senjata dari berbagai aliran teknik bela diri.
Tapi itu bukan yang membuatnya gemetar.
“…Semua ini… pusaka… kelas satu?”
Ia memeriksa satu per satu. Semua senjata itu berkilauan dengan ciri khas pusaka kelas satu. Di luar sana, bahkan tidak banyak orang mempunyai pusaka sekelas ini. Ini gila.
Ia menatap gurunya dengan wajah kaku.
“Guru, ini… terlalu berlebihan untuk latihan! Pusaka-pusaka ini… terlalu mahal!”
Boqin Changing hanya mendengus kecil.
“Hmph. Mental miskin tetap mental miskin. Sudah kubilang, jangan buat aku menyesal menjadi gurumu.”
“Itu bukan maksudku, aku hanya....”
“Apa gunanya punya guru kaya kalau muridnya tetap berpikir seperti pengemis?”
Gao Rui langsung terdiam.
Boqin Changing melanjutkan dengan tenang, seakan itu adalah hal yang wajar.
“Apa kau lupa kata-kataku sebelumnya. Kalau aku berkata aku adalah orang terkaya kedua di Kekaisaran Qin....”
“..... maka mungkin tidak ada orang lain yang berani menyebut dirinya di posisi pertama,” sambung Gao Rui secara otomatis tanpa sadar.
Sunyi sejenak. Boqin Changing menatapnya… lalu tersenyum tipis.
“Pintar.”
Gao Rui hanya bisa menatap cincin ruang di tangannya sambil berkeringat dingin. Latihan dengan berbagai senjata ini sepertinya akan sangat panjang.
Boqin Changing berbalik dan berjalan pelan melewati deretan batu latihan di halaman itu, kedua tangannya bersedekap di belakang punggung. Ia berhenti sejenak sebelum berkata tanpa menoleh.
“Aku tidak memberimu ilmu senjata hanya untuk pajangan. Mulai hari ini, kau akan mempelajari semua jenis senjata.”
Gao Rui mengangkat kepala cepat.
“Semua…? Maksud guru… satu per satu?”
“Betul,” jawab Boqin Changing ringan. “Satu per satu hingga kau bisa menguasai semuanya.”
“Ha?”
Boqin Changing menoleh sekilas dan menatap muridnya seperti menatap seseorang yang tidak punya otak.
“Apa kau tuli? Bukankah sudah jelas aku bilang semuanya?”
“T-Tapi Guru! Ada begitu banyak senjata! Bahkan teknik dasar membiasakan diri dengan satu senjata saja butuh....”
“Berhenti mengeluh.” Boqin Changing memotong dingin. “Kalau kau masih sempat mengeluh, itu berarti kau masih punya sisa tenaga. Artinya latihanmu belum cukup.”
Gao Rui langsung menutup mulut.
Boqin Changing kembali melanjutkan.
“Kau akan mempelajari pedang, tombak, pisau, sabit, cambuk, kipas baja, rantai besi, trisula, kapak, cakram, dan lainnya. Satu minggu dari sekarang aku akan datang kembali untuk memeriksa perkembanganmu.”
Gao Rui menelan ludah.
“…Guru ingin aku menguasai semua senjata?”
“Menguasai?” Boqin Changing tertawa kecil. “Tentu saja tidak. Jangan terlalu bermimpi tinggi, dasar pemula.”
Gao Rui sedikit lega, sampai Boqin Changing menambahkan,
“Kau hanya perlu memahami karakter setiap senjata dengan benar dan bagaimana cara menggunakannya. Itu saja.”
Gao Rui membeku.
"Itu saja" katanya.
Padahal itu sudah gila.
Boqin Changing lalu berjalan melewatinya, seolah hendak pergi.
“Mulai hari ini aku akan melakukan pelatihan tertutup untuk urusanku sendiri,” katanya tenang. “Aku tidak akan berada di sini selama seminggu. Jadi jangan berharap akan ada yang mengawasimu.”
Gao Rui mengangkat wajahnya dengan kaget.
“Guru pergi? L-Lalu aku.....”
“Jika ada hal yang tidak kau pahami,” Boqin Changing berhenti sejenak dan menatapnya dengan tajam, “kau simpan dulu. Catat semuanya. Saat aku kembali, kau boleh bertanya. Tapi…” ia mendekat sedikit, suara menjadi tajam seperti pisau, “…jangan tanya hal bodoh.”
Gao Rui mengangguk cepat. “Ba-Baik!”
Boqin Changing kemudian menunjuk halaman rumahnya..
“Mulai latihanmu sekarang. Ingat kata-kataku, bukan senjatanya yang menentukan kekuatanmu, tetapi kau yang menentukan kekuatan senjatamu.”
Dalam sekejap, Boqin Changing menghilang dari tempat itu, meninggalkan hanya hembusan angin yang berputar pelan.
Gao Rui berdiri sendiri di tengah halaman, cincin ruang di tangan, ratusan senjata menunggu untuk dipelajari.
Ia menarik napas dalam-dalam dan bergumam,
“…Baik. Kalau ini ujianmu, Guru… aku tidak akan mengecewakanmu.”
Gao Rui berdiri sendirian di tengah halaman yang sepi. Udara pagi masih dingin, embun menempel di rumput, dan cahaya matahari baru mulai menyelinap di sela pepohonan. Ia mengepalkan tangan, menatap cincin ruang di jarinya.
“Baik. Mulai sekarang… tidak ada lagi alasan.”
Dengan satu tarikan napas panjang, ia mengaktifkan cincin ruang itu, menarik keluar satu benda.
Clang!
Sebuah pedang lurus sederhana dengan gagang hitam jatuh ke tanah. Bentuknya ramping, seimbang, dan tampak mudah digunakan. Ia mendesah lega, setidaknya ia tidak memulai latihan dengan senjata yang aneh seperti cakram terbang atau cambuk berduri.
“Kau yang pertama,” gumamnya pada pedang itu, lalu menggenggamnya dengan kedua tangan.
Di awal latihannya ini, Gao Rui tidak didampingi gurunya., Tak ada arahan lagi, hanya ilmu yang tertanam di dalam kepalanya dan tekad untuk tidak mengecewakan Boqin Changing.
Ia mulai mengingat kembali teknik dasar yang baru saja ditanamkan gurunya ke dalam pikirannya. Jurus Pedang Dasar Helai Angin, sebuah teknik dasar yang menekankan kecepatan, keluwesan, dan presisi.
Ia mengangkat pedang, mengambil kuda-kuda.
“Haaah!”
Pedang bergerak perlahan, kemudian semakin cepat. Ukirannya membelah udara, menciptakan desir halus. Gerakannya masih kaku, tapi terarah. Tapi setelah sepuluh jurus, tiba-tiba ia berhenti.
“Tidak benar…”
Ia merasakan sesuatu yang salah. Bukan pada jurusnya, tapi pada dirinya. Pegangannya terlalu kaku, tenaga terlalu fokus pada pergelangan tangan, bukan bahu dan pinggang.
Ia menutup mata sebentar, mengatur napas, membiarkan ingatan ilmu yang tertanam dalam pikirannya mengalir. Ia mencoba merasakan pedang, bukan hanya memegangnya. Mempelajarinya bukan meniru.
Ia membuka mata lagi. Kali ini, pedang bergerak mengikuti aliran napasnya. Jurusnya menjadi lebih lembut, lebih alami.
Swish! Swish!
Gerakannya masih jauh dari sempurna, tapi kini ia mulai mengerti.
Saat matahari naik semakin tinggi, peluh mulai membasahi tubuhnya. Latihan berulang-ulang tanpa arahan langsung ternyata lebih sulit dari yang ia kira.
Sesekali ia berhenti total, menancapkan pedang ke tanah lalu duduk bersila. Dari luar, mungkin terlihat seperti ia sedang bermalas-malasan. Namun sebenarnya, ia sedang mencoba memahami inti dari teknik itu.
Ia menutup mata, menganalisis, bertanya pada dirinya sendiri.
Apakah pedang hanya untuk menebas? Bagaimana cara memaksimalkan kecepatan tanpa kehilangan kestabilan? Apa yang dimaksud guru dengan "karakter senjata"?
Kadang ia bahkan bermeditasi singkat, hanya untuk menenangkan pikiran agar bisa mengerti ilmu yang ia pelajari, bukan sekedar menirunya.
Setelah itu ia bangun, mengulangi lagi.
Tak terasa sudah cukup lama ia berlatih. Tangan kanannya mulai gemetar. Otot lengannya menegang. Tapi ia tidak berhenti. Ia mengingat jelas kata-kata gurunya.
"Kalau kau masih sempat mengeluh, berarti kau masih punya tenaga."
Gao Rui menggenggam pedang lebih erat.
“Aku… tidak akan mengecewakanmu, Guru.”
Ia kembali berlatih, satu jurus, lalu satu lagi, lalu satu lagi. Matahari bergerak dari timur ke barat, tapi pedangnya tidak berhenti bergerak.
Saat senja turun dan langit berubah jingga, Gao Rui masih berdiri di halaman, memegang pedang dengan napas terengah dan tubuh bergetar.
Namun di tengah kelelahan yang luar biasa, di sudut bibirnya muncul senyuman kecil.
“Pedang… bukan hanya tajam. Ia juga tegas. Tapi kalau aku bersikeras memaksanya, ia akan menolak bergerak,” gumamnya pelan. “Aku mengerti sekarang…”
Meski baru awal, ia merasa satu pintu kecil dalam dunia ilmu senjata mulai terbuka di depan matanya.