Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Konferensi pers
Aula utama gedung Wardhana Royal Group sore itu dipenuhi wartawan. Logo WRG terpampang besar di latar belakang, dengan panggung sederhana namun megah di depan. Mikrofon-mikrofon berjejer di meja panjang, siap merekam setiap kata yang keluar. Suasana riuh oleh suara bisik-bisik, kamera, dan kilatan lampu blitz.
Pintu samping terbuka. Arvenzo melangkah masuk, tegap dengan jas hitam dan dasi perak, ekspresi serius menempel di wajahnya. Di sampingnya, Velora berjalan pelan, elegan dengan gaun sederhana berwarna lembut. Keduanya duduk berdampingan di kursi tengah, sorotan kamera langsung mengarah pada mereka.
Arvenzo meraih mikrofon pertama. Suaranya berat, jelas, dan penuh wibawa.
“Terima kasih atas kedatangan rekan-rekan media. Saya tahu, saat ini berita mengenai kehidupan pribadi saya dan istri saya menjadi perbincangan. Saya hadir di sini bukan untuk membela diri, melainkan untuk meluruskan.”
Ruangan langsung hening.
“Pertama, saya tegaskan bahwa pernikahan saya dengan Velora sah secara hukum maupun agama. Tidak ada yang direbut, tidak ada perselingkuhan. Hubungan saya dengan Leona telah berakhir sebelum saya menikah.”
Sorakan kecil terdengar di antara wartawan. Blitz kamera semakin deras. Velora menunduk, jemarinya saling menggenggam erat.
Seorang wartawan mengangkat tangan. “Bagaimana dengan pernyataan Leona yang mengatakan Velora merebut Anda darinya?”
Arvenzo menatap lurus, sorot matanya tajam. “Itu tidak benar. Velora tidak merebut siapa pun. Kalau ada yang harus disalahkan, itu saya! Karena saya yang mengakhiri hubungan dengan Leona. Keputusan itu murni dari saya, tidak ada hubungannya dengan Velora. Menyalahkan istri saya adalah bentuk ketidakadilan.”
Velora mendongak sejenak, menatap Arvenzo. Kata-kata itu bagai tameng, namun hatinya tetap terasa getir. Karena meskipun dibela, ia sadar dirinya hanya masuk ke dalam hidup Arvenzo lewat sebuah perjodohan, bukan karena cinta.
Wartawan lain angkat tangan. “Ada kabar yang menyebut pernikahan ini hasil perjodohan keluarga besar Wardhana. Apakah benar?”
Suasana ruangan menegang. Velora menahan napas, menatap meja agar tidak terlihat panik.
Arvenzo diam sejenak sebelum menjawab dengan senyum tipis. “Detail pribadi keluarga saya bukan untuk dijadikan konsumsi publik. Yang perlu kalian ketahui, Velora adalah istri saya. Dan saya berdiri di sini untuk menegaskan satu hal, siapa pun yang mencoba merendahkannya, berarti berurusan dengan saya, keluarga Wardhana serta keluarga Atmadja.”
Suasana aula mendadak riuh. Kamera berkilatan, suara wartawan bersahutan, namun Arvenzo tetap tenang.
Velora merasakan sesuatu yang aneh di dadanya campuran lega dan sedih. Lega karena Arvenzo berdiri melindunginya, sedih karena semua ini bukanlah pilihannya. Ia hanya korban perjodohan, namun kini harus menanggung beban gosip dan sorotan publik.
Arvenzo melirik ke arahnya, sekilas. Tatapan itu singkat, tapi jelas memberi pesan, jangan goyah, aku di sini.
Sorotan kamera semakin tajam. Wartawan yang duduk di barisan depan mengangkat tangan, kali ini langsung menujukan pertanyaan pada Velora.
“Nyonya Velora,” ucapnya lantang, “Bagaimana perasaan Anda disebut sebagai perebut pasangan orang lain? Apakah benar Anda sudah mengenal Tuan Arvenzo sebelum ia resmi mengakhiri hubungannya dengan Leona?”
Velora tertegun. Suasana ruangan seakan menekan dadanya. Jari-jarinya meremas ujung gaun yang ia kenakan di bawah meja. Ia mencoba mengatur napas, namun kilatan kamera dan tatapan tajam wartawan membuat lidahnya kelu.
Arvenzo langsung mengambil alih, suaranya berat dan dingin.
“Pertanyaan itu tidak pantas!” tegasnya. “Sekali lagi saya tegaskan hubungan saya dengan Leona sudah berakhir sebelum pernikahan. Velora tidak ada hubungannya dengan keputusan itu. Semua kesalahan ada pada saya, bukan dia!”
Wartawan lain menimpali cepat, memotong suasana. “Tapi publik melihat pernikahan ini terlalu cepat setelah putus dengan Leona. Apa bukan berarti benar ada Velora di balik keputusan itu?”
Arvenzo menatap lurus, ekspresinya kaku tapi berwibawa. “Saya tidak berkewajiban menjelaskan timeline kehidupan pribadi saya pada publik. Yang harus kalian catat hanyalah, saya memilih Velora. Karena dia adalah perempuan yang paling tepat mendampingi saya sebagai istri.”
Ruangan langsung bergemuruh. Blitz kamera kembali menyala-nyala.
Velora menunduk, matanya panas. Kata-kata Arvenzo jelas membela, tapi hatinya terasa pedih karena semua ini bukan tentang cinta, melainkan pilihan sepihak yang dipaksakan keadaan. Ia ingin menghilang dari sorotan itu, ingin bersembunyi, tapi kursi tempatnya duduk terasa seperti jebakan.
Seorang wartawan wanita mencondongkan tubuh ke depan, tajam menatap Velora. “Kalau boleh jujur, nyonya Velora, apakah Anda mencintai Tuan Arvenzo? Atau ini hanya pernikahan formalitas?”
Pertanyaan itu menusuk tepat ke dadanya. Velora membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Kata “ya” atau “tidak” terasa sama-sama berbahaya.
Arvenzo mengetuk meja dengan jarinya, suaranya kembali terdengar, dingin dan tegas. “Cukup. Pertanyaan itu sudah melewati batas. Konferensi pers ini bukan untuk mengorek perasaan pribadi istri saya. Fokus pada inti masalah membersihkan nama baik Velora dari fitnah. Jika ada yang masih ingin menuduhnya tanpa dasar, berarti Anda siap berurusan secara hukum dengan WRG!”
Keheningan sesaat menggantung. Aura dominasi Arvenzo jelas menekan seluruh ruangan.
Di balik wajah dinginnya, Arvenzo menyimpan bara yang tidak terlihat orang lain. Matanya menatap tajam para wartawan yang sibuk mencatat, tapi pikirannya hanya terarah pada satu nama. Leona... Lo sudah melampaui batas. Gue bersumpah, gue bakal bikin lo menyesal.
Velora menoleh sekilas ke arah suaminya. Untuk pertama kalinya sejak konferensi dimulai, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu harus lega atau semakin sedih karena perlindungan ini datang dari seorang pria yang menikahinya bukan karena cinta, melainkan karena kewajiban.
Sorotan kamera kembali menyala, membekukan momen itu Arvenzo, dengan wajah setegas batu, duduk di samping Velora yang menunduk dengan hati rapuh. Tak seorang pun di ruangan itu menyadari bahwa di balik ketenangan Arvenzo, ada sumpah dingin yang kelak bisa mengguncang siapa saja yang berani mengusik rumah tangganya.
Di dalam mobil hitam yang melaju meninggalkan gedung WRG, suasana begitu hening. Hanya suara mesin dan deru jalanan yang terdengar. Velora duduk diam di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam ujung dress sederhana yang ia kenakan, berusaha menahan gemetar.
Arvenzo duduk di sampingnya, pandangannya lurus ke depan sebelum akhirnya ia menoleh. Suaranya rendah tapi tegas, tanpa nada manis, namun cukup untuk menunjukkan perhatian. “Kamu baik-baik saja?”
Velora menelan ludah, suaranya lirih. “Aku cuma kaget. Semua orang menatapku seolah aku memang bersalah. Padahal aku tidak pernah mengganggu hidup Leona... aku bahkan tidak mengenalnya.”
Arvenzo menghela napas panjang, sorot matanya dingin tapi kali ini bukan untuk Velora melainkan pada bayangan Leona di benaknya. “Jangan pikirkan tatapan mereka. Aku sudah pastikan nama kamu dibersihkan. Kamu tidak sendirian.”
Velora terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi cukup membuat dadanya sedikit hangat. Ia tahu Arvenzo bukan tipe pria yang pandai menenangkan dengan kelembutan. Tapi justru dari kalimat singkat dan tatapan kokoh itu, ia bisa merasakan sesuatu kepedulian yang tersembunyi di balik sikap kaku suaminya.
Pak Budi yang duduk di kursi kemudi melirik lewat kaca spion, sesekali memperhatikan Velora dengan tatapan penuh iba, lalu kembali fokus ke jalan. Dalam hati, ia bisa membaca bahwa Tuan Muda Arvenzo memang berbeda, tapi nyatanya ia peduli pada istrinya, hanya caranya saja yang dingin dan kaku.
Mobil akhirnya berhenti di halaman rumah besar keluarga Wardhana. Begitu pintu dibuka, Velora sedikit terkejut melihat semua orang sudah berkumpul di ruang tamu.
Mela berdiri paling depan, langsung menghampiri menantunya dengan wajah penuh kekhawatiran. “Velora, sayang... kamu nggak apa-apa? Mama lihat beritanya, jantung Mama hampir copot.”
Pradipta berdiri di samping istrinya, wajahnya lebih tenang tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu. “Syukurlah kamu pulang. Duduklah dulu, tenangkan dirimu, nak.”
Dari sisi lain, Rendra dan Ariella segera bangkit dari sofa. Ariella langsung memeluk putrinya erat. “Nak... Ibu hampir gila baca berita itu. Kamu baik-baik saja kan?”
Velora terisak kecil, akhirnya menemukan pelukan hangat yang ia butuhkan. “Aku nggak apa-apa, Bu.” suaranya bergetar.
Atmadja, berdiri dengan tongkatnya, suaranya berat tapi bergetar menahan emosi. “Cucu Kakek tidak boleh diperlakukan seperti ini. Orang itu sudah melewati batas.”
Sementara Dewi, duduk di kursi dengan wajah sedih. “Velora, jangan simpan sendiri kesedihanmu, Nak. Kamu punya kami semua.”
Wardhana, akhirnya angkat bicara dengan wibawa khasnya. “Apa pun gosip di luar sana, tidak ada yang bisa menjatuhkan keluarga ini. Velora, kamu bagian dari keluarga besar Wardhana sekarang. Tidak ada yang boleh merendahkan mu.”
Velora menatap semua orang yang mengelilinginya, dadanya sesak oleh rasa campur aduk. Ia ingin kuat, tapi juga lelah. Sementara itu, Arvenzo berdiri di belakangnya, ekspresinya tetap kaku. Namun tanpa banyak kata, ia berdiri sedikit lebih dekat dari biasanya, seolah menjadi perisai tak kasat mata.
Dingin, ya. Kaku, iya. Tapi Velora mulai menyadari satu hal, walau tanpa cinta, walau tanpa kelembutan, pria itu sudah mulai peduli. Ia melindunginya, bukan hanya karena nama keluarga, tapi karena Velora kini adalah istrinya.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭