NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: Waktu bersama

Setelah meninggalkan kediaman pengacara tersebut, mobil Zevian kembali melaju. Kali ini sama seperti sebelumnya, hanya keheningan yang mengiringi perjalanan mereka. Baik Nayara maupun Zevian, tidak ada yang membuka suara.

Hingga akhirnya, setelah perjalanan yang cukup jauh namun rasa penasaran masih belum terjawab, Nayara menutup ponselnya dan menoleh pada Zevian yang tampak fokus menyetir tanpa banyak bicara.

“Kita mau ke mana?” tanya Nayara.

“Jalan-jalan,” jawab Zevian santai.

“Kemana?” Nayara mengulang pertanyaannya.

“Kemana saja,” ujar Zevian seolah perjalanan mereka ini tanpa tujuan pasti.

“Aku serius, Tuan,” Nayara menegaskan, yang membuat Zevian menghentikan mobilnya di bahu jalan.

“Berhentilah memanggilku ‘Tuan’, kamu bukan pekerjaku, kita sudah bicara lebih informal dari sebelumnya, jadi berhentilah.” ujar Zevian tegas, membuat Nayara terdiam. Sesaat di dalam mobil itu hening, mata mereka saling beradu pandang.

“Aku terbiasa begitu,” ujar Nayara sembari menundukkan kepalanya.

“Ubah. Kebiasaan itu bisa dirubah,” balas Zevian, membuat Nayara kembali mendongak.

“Aku harus panggil apa? Usia mu lebih tua dariku?” tanya Nayara, yang membuat Zevian terkekeh. Entah kenapa, meski berusaha bersikap cool, ucapan Nayara barusan berhasil membuatnya tertawa.

“Aku terlihat setua itu?” tanyanya.

“Ya, mungkin,” jawab Nayara yang sebenarnya tidak tahu persis usia pria di hadapannya.

“Aku masih 32. Apakah aku terlihat setua itu?” ujar Zevian menatap Nayara.

“Iya, aku 24 tahun,” jawab Nayara, yang sebenarnya agak terkejut mendengar usia Zevian. Bukan karena dia lebih tua, melainkan wajah Zevian yang terlihat jauh lebih muda daripada usianya sebenarnya.

“Itu usia ideal untuk pasangan. Tapi kamu tahu tidak? Wajahmu terlihat seperti remaja umur tujuh belas tahun. Coba lihat badanmu yang kurus itu, apa kamu kekurangan makanan?” ujar Zevian sambil menelisik penampilan Nayara dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Enak saja! Aku juga ingin punya tubuh yang berisi, tapi mau bagaimana lagi? Tuhan sudah memberikan yang seperti ini, aku terima saja,” sahut Nayara dengan nada kesal, memalingkan wajahnya ke jendela.

Zevian hanya tersenyum kecil melihat reaksi itu. Tanpa memperpanjang perdebatan, ia tiba-tiba mengalihkan topik dengan nada ringan.

“Panggil aku sayang.” ujar nya yang membuat Nayara langsung menoleh cepat, ekspresi wajahnya antara kaget dan tidak percaya.

“Tidak mau. Aku tidak sayang padamu,” balasnya tajam, membuat Zevian terkekeh pelan, seolah sudah menduga jawaban itu.

“Belum... nanti pasti. Tapi untuk sekarang, panggil saja begitu. Aku tidak akan menyaut kalau kamu tidak memanggilku dengan itu,” ucap Zevian santai, namun dengan nada serius yang membuat Nayara melongo mendengarnya.

“Aku tidak peduli,” gerutu Nayara, masih menatap ke luar.

“Aku yang akan membuatmu peduli,” jawab Zevian penuh percaya diri, sembari kembali menyalakan mesin mobilnya. Ia memutar kemudi, dan mobil mereka kembali melaju membelah jalanan ibu kota yang mulai lenggang, seiring matahari siang yang kian meninggi di langit.

Sekitar dua puluh lima menit perjalanan mereka lalui dalam diam, hingga akhirnya mobil Zevian memasuki area parkiran sebuah villa yang berdiri megah di antara rimbunnya pepohonan. Bangunan itu tampak mewah sekaligus asri, menyatu dengan lingkungan sekitarnya yang begitu kontras dengan hiruk pikuk ibu kota.

Deretan pohon tinggi menjulang mengelilingi villa, ranting-rantingnya menari lembut diterpa angin. Dedaunan hijau segar memayungi jalan masuk, menciptakan lorong alami yang menyejukkan mata. Udara di sana terasa jauh lebih bersih dan segar, seolah membawa siapa pun yang menghirupnya ke dimensi yang berbeda—lebih tenang, lebih damai. Suara burung-burung berkicau di kejauhan terdengar berirama, menyatu sempurna dengan suasana seperti tengah berada di tengah hutan liar. Tapi siapa sangka, semua itu hanyalah hasil karya tangan manusia—sebuah hutan buatan yang diciptakan dengan sedemikian cermat dan teliti.

“Ayo turun…” ujar Zevian sembari menghentikan mobilnya tepat di depan villa.

Nayara membuka pintu mobil dengan pelan. Begitu keluar, matanya langsung disuguhi pemandangan yang membuatnya tertegun. Ia memutar tubuhnya perlahan, memperhatikan setiap sudut tempat itu, seolah tak ingin melewatkan satu detail pun.

“Ini… hutan buatan?” tanyanya pelan, suaranya masih dibungkus kekaguman. Zevian mengangguk kecil sambil tersenyum.

“Ayo, masuk,” ajaknya, kali ini meraih tangan Nayara dan menggandengnya menuju pintu utama villa.

Bangunan itu sendiri adalah perpaduan sempurna antara nuansa pedesaan yang hangat dan sentuhan modern yang elegan. Atapnya dibuat dari kayu berwarna coklat tua dengan ukiran khas tradisional di setiap ujungnya. Dinding-dinding luarnya dilapisi batu alam yang tersusun rapi, memberi kesan kokoh namun tetap alami. Jendela-jendela besar dengan bingkai kayu menghadap ke hutan buatan, memungkinkan cahaya alami masuk menyinari interiornya yang luas dan lapang.

“Cantik sekali…” gumam Nayara, matanya terus menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya. Pohon-pohon rindang yang ditanam mengelilingi villa tampak terawat dengan sangat baik. Burung-burung kecil beterbangan bebas, bersarang di pepohonan, seolah-olah tempat itu memang hutan sungguhan.

Zevian melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan, diikuti Nayara di belakangnya yang masih larut dalam kekaguman.

Dan lagi-lagi, Nayara dibuat terpana oleh keindahan arsitektur bagian dalam villa. Setiap sudut ruangan mencerminkan ketelitian dan selera tinggi sang pemilik. Lantai kayu yang mengilap, tangga melingkar dengan pegangan dari besi tempa, hingga lampu gantung bergaya rustic-modern menggantung tepat di tengah ruang tamu yang luas dan terang. Meski Nayara bukan berasal dari keluarga sederhana, dan sudah cukup sering bepergian ke luar negeri bersama teman-temannya, ia harus mengakui bahwa ia belum pernah melihat tempat seindah ini sebelumnya.

“Mau minum?” tanya Zevian sambil melirik ke arah Nayara yang sedang berdiri di sisi meja dapur, sedang Nayara hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

“Aku tidak minum,” ujarnya singkat, menolak tawaran itu. Zevian tersenyum kecil, menyadari salah paham yang terjadi.

“Air maksudku. Apa kamu tidak haus?” jelasnya, meluruskan maksudnya.

“Oh… Mau… tapi ambil sendiri.” Nayara mengangguk pelan.

"Ayo.” ujar nya tanpa protes sama sekali.

Mereka berjalan berdampingan menuju dapur yang terletak di sisi kiri ruang tengah. Dapur itu luas dan bersih, dengan nuansa kayu alami dan sentuhan marmer putih di meja island-nya. Rak-rak terbuka menampilkan deretan gelas dan peralatan makan yang ditata rapi. Di sudut dapur, terdapat dispenser berwarna hitam elegan yang menyatu dengan keseluruhan desain ruangan.

Zevian mengambil dua gelas kaca bening dari rak dan mengisinya dengan air dingin. Setelah menyerahkan satu gelas kepada Nayara, ia berdiri di sampingnya, membiarkan momen itu berjalan dalam keheningan sejenak.

“Ajak aku tur keliling villa ini,” ujar Nayara tiba-tiba, menoleh ke arah Zevian dengan tatapan penuh harap. Zevian menoleh sambil menyeringai nakal.

“Panggil ‘sayang’ dulu,” ujarnya ringan, mencoba menggoda.

“Tidak mau,” sahut Nayara cepat, nada suaranya jelas-jelas menolak.

“Yasudah… tidak usah padahal aku bisa menunjukkan sesuatu yang mungkin kamu suka,” balas Zevian santai, pura-pura tidak peduli.

Kalimat itu langsung menyalakan rasa penasaran di dalam diri Nayara. Ia mengernyit pelan, pikirannya mulai dipenuhi ekspektasi. Sejak pertama melihat villa ini dari luar, ia sudah merasakan bahwa tempat ini menyimpan banyak kejutan. Namun, di sisi lain, ia juga ragu—jangan-jangan Zevian hanya sedang bermain-main dengannya.

Zevian menatapnya diam-diam, memperhatikan ekspresi Nayara yang tampak sedang berdebat dengan dirinya sendiri. Ada ego, ada rasa penasaran, dan ada pula rasa ingin menang.

“Sayang…” ucap Nayara akhirnya, dengan nada setengah kesal disertai helaan napas panjang, seolah-olah masih berusaha berdamai dengan keputusannya sendiri hal itu membuat Zevian mengangkat alisnya.

“Sayang apa?” tanyanya, sengaja mempermainkan suasana.

“Tadi kamu bilang seperti itu,” sahut Nayara, kini mulai jengkel.

“Hanya ‘sayang’? Itu bukan permintaan. Katakan kamu mau apa,” balas Zevian sambil menahan tawa, wajahnya begitu puas karena berhasil mendorong Nayara selangkah lebih jauh. Nayara memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan.

“Ajak aku tur keliling villa ini… sayang,” ucapnya akhirnya, menekankan kata terakhir dengan suara pelan dan terpaksa. Zevian tersenyum lebar. Lagi dan lagi, ia merasa dirinya menang dalam permainan kecil mereka. Ia tak berkata apa-apa lagi, hanya meraih tangan Nayara dan menggenggamnya erat.

“Ayo…” ucapnya tenang, lalu mulai melangkah, mengajak Nayara menjelajahi lebih dalam isi villa itu—tempat yang ternyata menyimpan lebih dari sekadar keindahan arsitektur.

"Di sini ada empat kamar. Satu kamar biasanya ditempati Mommy dan Daddy saat berkunjung, kamar lainnya untukku dan Valen, serta satu kamar lagi untuk pelayan," jelas Zevian, nadanya seperti seorang tour guide profesional yang sedang memandu tur pribadi. Mereka menyusuri lorong villa hingga tiba di halaman belakang. Zevian menunjuk ke arah kolam renang yang luas dan berkilauan.

“Kolam ini bisa menyala saat malam,” ujarnya sambil melangkah ke sisi kolam.

Kolam renang itu dikelilingi oleh pohon-pohon kecil dengan cabang yang menjuntai indah, melambai pelan karena tiupan angin siang yang sejuk. Lampu-lampu taman tersembunyi di antara tanaman, siap menyala saat malam datang dan memantulkan cahaya ke permukaan air. Meski begitu, Nayara hanya mengangguk tipis—bagian ini belum cukup membuatnya takjub.

Tanpa banyak bicara, Zevian melanjutkan langkah menuju sebuah pintu kayu yang berada di sisi barat kolam. Pintu itu terlihat biasa saja, tapi dihiasi pahatan bunga-bunga halus yang membuatnya tampak elegan dan misterius.

“Ini kejutannya… tutup matamu,” ucap Zevian sambil berdiri di depan pintu.

"Aku tidak mau… aku takut jatuh," sahut Nayara, menahan langkah.

“Ada aku. Aku tidak sejahat itu,” ujarnya meyakinkan, mata nya menatap Nayara dengan tenang. Hal itu membuat Nayara akhirnya menyerah.

“Baiklah…” ucapnya, lalu tanpa sadar menggenggam tangan Zevian lebih erat. Ia mengikuti langkah pria itu perlahan, tertatih-tatih karena tidak bisa melihat. Setelah beberapa langkah, Zevian menghentikan langkah mereka.

“Baiklah, sudah sampai. Ayo buka matamu,” katanya lembut.

Nayara membuka mata perlahan. Begitu matanya terbuka sempurna, ia langsung terdiam, lalu membelalakkan mata karena terkejut dan takjub sekaligus.

“Oh my God… cantiknya…” gumam Nayara nyaris tak percaya.

Di hadapannya terbentang sebuah taman indoor yang sangat memukau. Ruangan itu berdinding kaca bening, sehingga sinar matahari masuk sempurna dan membuat bunga-bunga di dalamnya tampak bersinar alami. Deretan rak kayu bertingkat menghiasi sisi kanan dan kiri ruangan, masing-masing dipenuhi pot-pot bunga dengan beragam warna dan jenis.

Di sudut kanan, tumbuh mawar merah yang besar dan tampak segar. Di sebelahnya, terdapat anggrek bulan berwarna putih yang menggantung anggun dari pot gantung. Bunga lavender tumbuh di petak tanah kecil di sisi kiri, menyebarkan aroma lembut yang menenangkan. Di sebelah kanan nya ada bunga matahari yang cukup besar, terlihat bersinar terang di bawah pantulan cahaya. Lili putih berdiri tegak dengan kelopaknya yang mekar sempurna, dan di beberapa sisi, tampak ranunculus berwarna peach dan kuning yang memberi sentuhan hangat pada ruangan itu. Tak ketinggalan, bunga baby's breath ditanam sebagai aksen lembut di antara pot-pot lainnya.

“Mommy suka semua bunga di sini, dia bilang tempat ini seperti surga kecil untuknya.” ujar Zevian pelan, menatap taman itu dengan sedikit senyum di sudut bibirnya. Nayara terdiam. Baginya, tempat ini memang tampak seperti dunia lain—sunyi, damai, dan sangat cantik. Hatinya seperti disentuh sesuatu yang lembut, tanpa ia sadari, ia terus memandangi sekeliling dengan tatapan berbinar.

“Siapa yang merawat semuanya?” tanyanya lirih.

“Mommy sendiri yang mendesain dan memilih bunganya. Tapi ada tim khusus yang merawat taman ini. Setiap kelopaknya berharga bagi dia,” jawab Zevian, suaranya terdengar lebih hangat dibanding biasanya. Nayara hanya mengangguk, terdiam, menikmati keindahan dan ketenangan yang entah bagaimana membuat pikirannya terasa lebih ringan perlahan dia mulai merasa nyaman dengan Zevian, entah sejak kapan percakapan kedua nya sudah tidak formal seperti di awal pertemuan mereka.

“Aku boleh pegang?” tanyanya, melirik ke arah Zevian dengan mata penuh harap.

“Boleh,” jawab Zevian santai, membuat Nayara tersenyum puas.

Dia melangkah mendekati sebuah bunga matahari yang berdiri gagah dengan kelopak kuning cerah, tampak begitu indah di bawah sinar matahari siang yang hangat. Nayara sangat menyukai bunga itu, entah kenapa tempat ini terasa seperti surga dunia di tengah hiruk-pikuk ibukota yang berisik dan penuh polusi.

Zevian menyalakan ponselnya secara diam-diam dan mulai merekam. Nayara tampak asyik dengan tanaman bunga di depannya, mengambil gambar, dan menyentuh kelopak-kelopak yang halus. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa momen itu sedang diabadikan oleh Zevian.

Tiba-tiba, di tengah ketenangan itu, Nayara menjerit keras dan berlari ke arah Zevian. Tanpa sadar, dia memeluk pria itu dengan erat.

“Akhhh...” teriak Nayara panik, membuat Zevian kebingungan sekaligus geli.

“Kenapa?” tanya Zevian panik, tapi matanya masih berbinar menikmati momen itu.

“Ada ulat... besar sekali! Ikhh, astaga, menjijikkan sekali!” ujar Nayara sambil bergetar, bulu kuduknya berdiri karena merinding.

“Mana?” tanya Zevian sambil melangkah maju untuk melihat, tapi Nayara tetap menempel, memeluknya tanpa sadar.

“Di bunga mawar putih itu, astaga, jijik sekali!” lanjut Nayara dengan suara gemetar, matanya masih terpaku pada bunga putih yang indah itu.

“Ayo lihat, kita harus buang sebelum dia memakan semua pohon itu,” ujar Zevian sambil terkekeh kecil.

“Kamu saja… aku tidak mau, ikhh, menjijikkan!” jawab Nayara dengan nada ketakutan.

“Baiklah… tapi lepaskan dulu, aku tidak bisa melangkah ke sana kalau kamu terus memelukku,” kata Zevian sambil tersenyum lembut.

Mendengar itu, Nayara langsung tersadar dan melepaskan pelukannya dengan wajah memerah karena malu. Namun, Zevian hanya menggelengkan kepala, tak ingin membuatnya semakin tidak nyaman.

Dia menunduk mengambil sebuah ranting kering yang tergeletak di bawah pot bunga, lalu berjalan mendekati pohon mawar putih yang Nayara sebutkan. Benar saja, di sana terlihat seekor ulat pohon yang cukup besar sedang merayap di batangnya. Dengan hati-hati, Zevian mengambil ulat itu menggunakan ranting, lalu menunjukkannya kepada Nayara.

“Ini?” tanya Zevian sambil tersenyum, matanya penuh candaan.

“Ikh... jangan dimainkan! Bunuh cepat!” ujar Nayara sambil beringsut mundur, menjaga jarak dari Zevian dan ulat itu.

“Tapi ini bagus... bagaimana kalau aku koleksi di dalam tempat kaca? Lihat corak di tubuhnya,” goda Zevian.

“Cepat buang! Ikhh, astaga, menjijikkan sekali!” Nayara terlihat kesal dan sedikit ketakutan.

“Ini hanya ulat, Nay,” Zevian mencoba menenangkan.

“Aku punya entomofobia, aku takut,” ujar Nayara hampir menangis, suaranya bergetar. Mendengar itu, Zevian segera membuang ulat tersebut ke tempat yang dia rasa jauh dan aman, tanpa membunuhnya. Setelah itu, dia langsung berjalan mendekati Nayara yang hampir menangis, memeluknya erat.

“Maaf… sekarang sudah tidak ada,” bisik Zevian sambil mengusap rambut Nayara dengan lembut. Sentuhannya yang hangat membuat Nayara akhirnya melepaskan air mata, menangis tersedu-sedu dalam pelukan pria itu.

“Ikh… menyebalkan,” gerutu Nayara, sudah entah berapa kali dia mengucapkan kata itu hari ini, masih kesal dengan ulat tadi.

“Masih mau di sini?” tanya Zevian lagi, suara lembut tapi penuh perhatian.

“Tidak, nanti ada ulat lagi,” jawab Nayara cepat, diikuti anggukan dari Zevian yang berusaha mengerti ketakutan calon istrinya itu. Namun, baru saja mereka hendak melangkah keluar, Nayara tiba-tiba menjerit. Sesuatu menyentuh kakinya dengan lembut. Matanya terpejam, dia langsung memeluk Zevian seolah mencari perlindungan.

“Kenapa lagi?” tanya Zevian dengan nada penasaran, tapi juga sedikit khawatir.

“Ada… se… sesuatu di… ka… kaki… kakiku,” gumam Nayara dengan suara gemetar.

Zevian menunduk untuk melihat apa yang dimaksud Nayara. Matanya membelalak melihat seekor kelinci Anggora berbulu lebat dan sangat terurus yang sedang duduk di kakinya. Warna bulunya putih seperti susu, membuat kelinci itu tampak sangat anggun dan mahal.

“Ya ampun, Ivy… kamu membuatnya takut,” ujar Zevian sambil tersenyum, mengangkat kelinci itu dengan hati-hati. Nayara membuka matanya perlahan dan langsung membulatkannya begitu melihat kelinci itu di tangan Zevian.

“Ikh… cantik sekali!” serunya, langsung merebut kelinci itu dan memeluknya erat, merasakan kenyamanan dari bulu tebal yang sangat lembut itu.

“Aku kira kamu takut,” goda Zevian sambil tersenyum lebar melihat perubahan ekspresi Nayara.

“Dia cantik, aku pikir itu ular!” balas Nayara dengan wajah sedikit malu, membuat Zevian hanya menggeleng sambil tertawa kecil.

“Boleh tidak dibawa ke dalam?” tanyanya lagi dengan harap, mata berbinar.

“Kalau kamu mau,” jawab Zevian, membuat Nayara tersenyum puas. Dia berjalan lebih dulu meninggalkan Zevian, lalu duduk di kursi di tepi kolam renang. Kelinci itu terlihat tenang saat dia memangku dan terus mengelus kepala berbulu halus itu dengan penuh kasih sayang.

Suasana siang yang panas seolah tidak berarti di tempat itu. Pepohonan rindang yang tumbuh di sekeliling taman menciptakan bayangan teduh, membuat udara terasa sejuk dan segar. Angin berembus pelan, menyusup di antara daun-daun, membawa aroma khas dedaunan basah yang menenangkan. Gemericik air dari kolam renang yang jernih menambah kesan damai, seolah memisahkan tempat itu dari kebisingan dunia luar.

Zevian melangkah perlahan mendekati Nayara, lalu duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya. Wanita itu tampak sepenuhnya fokus pada kelinci putih berbulu tebal di pangkuannya. Ia membelai lembut kepala hewan lucu itu tanpa sekalipun melirik ke arah Zevian, seolah dunia miliknya hanya berisi Ivy saat ini.

“Ini milikmu?” tanya Nayara sambil menoleh sekilas pada Zevian, matanya masih berbinar melihat kelinci tersebut.

“Bukan punyaku. Itu punya Valen. Aku juga tidak tahu bagaimana Ivy bisa lepas dan berkeliaran seperti tadi,” jawab Zevian, suaranya santai namun tetap terdengar bingung.

“Aku kira punyamu,” ujar Nayara, alisnya terangkat sedikit.

“Itu kelinci kembar. Aku juga punya, dan mereka memang berbeda gender,” jelas Zevian sambil menyilangkan kakinya, tubuhnya condong sedikit ke depan.

“Ya… berarti punyamu yang jantan? Warnanya putih juga?” tanya Nayara, kini tampak semakin tertarik dengan topik itu.

“Eum… warnanya sedikit lebih gelap. Bukan hitam, tapi abu-abu muda. Sepertinya dia masih di kandangnya,” jawab Zevian sambil melirik ke arah dalam rumah.

“Namanya siapa?” Nayara menatapnya dengan rasa ingin tahu yang tulus, tangannya masih sibuk memainkan telinga panjang Ivy yang terasa hangat dan lembut.

“Zest. Tapi biasanya mereka tidak keluar dari kandang. Sepertinya pelayan lupa menutup pintunya,” balas Zevian sambil menghela napas ringan. Nayara mengangguk, lalu mengangkat wajahnya sambil berkata.

“Tapi dari tadi aku tidak melihat pelayan.” tanya Nayara bingung.

“Mungkin belum kembali. Aku menyuruh mereka keluar sebentar untuk membeli bahan-bahan barbeque nanti malam,” jawab Zevian sambil tersenyum kecil, memperhatikan Nayara yang tampak begitu nyaman dengan Ivy.

“Akan ada orang lain yang datang ke mari?” tanya Nayara pelan, sambil terus mengelus bulu halus Ivy yang kini tertidur tenang di pangkuannya, Zevian menggeleng pelan.

“Hanya kita berdua. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu… mengenalmu lebih dalam. Perkenalan kita terlalu singkat, Nayara. Dan mungkin sulit bagimu untuk percaya bahwa aku sungguh tulus,” ujar Zevian, suaranya tenang namun sarat makna.

Perkataan itu membuat Nayara terdiam. Matanya menatap kosong ke arah kolam, seakan mencoba menimbang isi hatinya sendiri. Hening beberapa saat sebelum akhirnya ia menghela napas dalam, lalu menyelipkan tangan ke dalam tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berkilau.

“Aku membawanya,” ucap Nayara sambil menyodorkan kalung couple yang dulu pernah diberikan oleh Zevian. Kalung itu tampak sederhana namun menyimpan simbol yang tak bisa diabaikan—sebuah harapan. Zevian memandang kalung itu sejenak, lalu mengangguk.

“Baiklah… jika kamu tidak suka, akan aku ambil kembali,” ujarnya dengan nada tenang, meskipun Nayara bisa melihat sedikit kekecewaan dalam tatapan matanya.

“Pakaikan padaku,” kata Nayara tiba-tiba, membuat Zevian sempat tertegun.

“Apa?” tanyanya, memastikan ia tak salah dengar.

“Jujur saja… aku menerima semua ini bukan karena aku menyukaimu. Aku… aku tidak tega melihat wajah ibumu kalau harus mengecewakan harapannya. Aku tidak punya ibu, Zevian. Dan ketika aku melihat tatapan serta perlakuannya padaku, aku merasa seperti merasakan kembali kasih sayang seorang ibu… sesuatu yang sudah lama hilang dariku,” ucapnya lirih, suaranya menggetarkan hati Zevian. Ia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan.

“Aku tidak sanggup menghancurkan harapannya dengan mengatakan bahwa kita sebenarnya tidak pernah memiliki hubungan apapun sebelumnya. Jadi… tolong yakinkan aku. Yakinkan bahwa kamu pria yang berbeda. Aku tidak menyukaimu sekarang… tapi tolong, buat aku percaya. Mari jalani pernikahan ini sebagai sahabat dulu. Kita mulai dari saling mengenal, bukan?” ujar nya yang membuat Zevian terdiam. Kata-kata Nayara seperti menampar logikanya, namun sekaligus menguatkan hatinya. Ia sadar, yang Nayara katakan adalah awal yang jujur—sebuah pondasi untuk membedakan cinta dari obsesi.

“Baiklah…” ucap Zevian akhirnya. Ia bangkit pelan, lalu berjalan mendekat. Dengan hati-hati, ia memasangkan kalung itu di leher Nayara. Tangannya sempat bergetar sedikit, namun sorot matanya tetap tenang.

Setelah itu, Zevian mengeluarkan kalung miliknya sendiri yang tadi sempat ia lepaskan. Ia menyodorkannya ke arah Nayara. Awalnya, Nayara hanya diam menatap kalung itu, ragu. Namun akhirnya ia mengambilnya perlahan, lalu melakukan hal yang sama seperti Zevian lakukan padanya—memasang kalung itu di leher pria yang kini duduk di hadapannya.

“Ini… tanda persahabatan kita,” ucap Nayara pelan namun mantap, mengunci mata Zevian dengan tatapan yang jujur.

“Persahabatan yang akan membawa kita menuju sesuatu yang lebih baik,” jawabnya lirih, namun penuh harapan. Nayara hanya tersenyum tipis hingga akhirnya Zevian Kembali berkata.

“Eumm... mari berfoto, hanya untuk kita,” ujar Zevian tiba-tiba, suaranya terdengar lembut namun mengandung antusiasme.

Awalnya Nayara terlihat ragu. Matanya menatap Ivy yang masih berada di pangkuannya, lalu berpindah pada Zevian yang kini menatapnya penuh harap. Namun pada akhirnya, ia mengangguk pelan.

“Baiklah…” Ujar nya.

Zevian langsung tersenyum tipis, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia berpindah tempat duduk dan kini berada di samping Nayara, cukup dekat hingga bahu mereka saling bersentuhan ringan. Nayara sempat melirik ke arahnya, tapi tak berkata apa-apa.

Mereka mulai mengambil beberapa foto. Meskipun Nayara tidak tersenyum lebar, hanya tersenyum tipis dan menatap kamera dengan malu-malu, namun hasil fotonya tampak begitu indah dan alami. Ada sesuatu yang tulus dan hangat dari cara mereka duduk berdampingan—seperti potongan waktu yang tidak dibuat-buat. Zevian menatap hasil foto di layar ponselnya dan mengangguk puas.

“Mau aku ambilkan foto kamu dengan Ivy?” tawar Zevian kemudian, setelah memastikan hasil foto mereka tersimpan dengan baik. Nayara mengangkat kepala dan menatap Zevian sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Boleh… tapi jangan terlalu dekat. Nanti Ivy kabur.” ujar nya yang membuat Zevian membalas senyuman itu dengan ekspresi tenang.

“Tenang saja, dia sepertinya nyaman denganmu. Dan, kamu tahu, aku cukup ahli dalam hal ini,” ujarnya sambil berdiri perlahan dari tempat duduknya. Ia melangkah ringan, mengambil jarak yang pas, lalu mengangkat ponselnya.

“Lihat ke arahku, Nayara,” ucapnya lembut, suara yang menenangkan itu berpadu dengan hembusan angin siang yang menggerakkan rambut Nayara sedikit ke belakang. “Dan... usahakan sedikit senyum, ya.” lanjut nya.

Nayara menurut, mengangkat wajahnya sambil memangku Ivy yang tampak begitu tenang, seolah tahu bahwa saat itu sedang diabadikan. Senyum tipis muncul di bibirnya, tidak dipaksakan, justru terasa hangat dan alami. Cahaya matahari yang menyusup di antara dedaunan menciptakan kilau halus pada rambutnya.

Klik.

Zevian menekan tombol kamera beberapa kali, matanya tidak lepas dari layar ponsel.

“Sempurna,” gumamnya puas, lalu kembali melangkah ke arah Nayara dan duduk di sampingnya. Ia menunjukkan hasil jepretannya pada Nayara, memiringkan ponsel agar cahaya tidak terlalu memantul.

“Kamu menyukainya?” tanyanya pelan, sambil sedikit menoleh ke arah wajah gadis itu. Nayara memperhatikan layar sejenak, lalu mengangguk pelan.

“Iya... aku suka. Ivy tampak tenang sekali,” ucapnya sambil membelai lembut telinga Ivy yang panjang dan halus.

“Bukan hanya Ivy,” kata Zevian pelan, nada suaranya berubah menjadi lebih dalam dan lembut. “Kau juga terlihat... damai.” lanjut nya yang membuat Nayara menoleh cepat, tidak menduga kalimat itu keluar dari mulut pria di sebelahnya. Namun, Zevian buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk menggulir layar ke foto berikutnya.

“Kalau kamu ingin salinannya, aku bisa kirim nanti,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Iya, kirimkan saja… terima kasih, ya,” balas Nayara dengan suara yang lebih lembut, seolah mengimbangi suasana yang mulai mencair di antara mereka.

"Aku senang kamu suka" ujar nya yang membuat Nayara mengangguk pelan.

“Ivy cantik sekali,” tambahnya sambil kembali memainkan telinga kelinci kecil itu. Ivy tampak nyaman, bahkan sedikit meringkuk di pangkuan Nayara. Zevian menatap mereka, dan senyum tipis terbit di wajahnya—bukan senyum sok percaya diri seperti biasanya, melainkan senyum hangat yang nyaris tak kentara.

“Kamu suka?” tanyanya pelan.

“Eum... dia cantik, kan?” jawab Nayara pelan, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, nanti kita lihat Zest juga, ya?” tanyanya meminta izin.

“Kalau kamu mau... mari kita lakukan,” sahut Zevian, senyumnya melebar sedikit.

Akhirnya, mereka melanjutkan obrolan ringan tentang kelinci, tentang kebiasaan Ivy, dan bagaimana Zest sering mencuri makanan dari kandang. Percakapan mereka berjalan lancar, tanpa beban, seperti dua teman lama yang sedang menikmati waktu di bawah rindangnya pohon siang itu.

Namun, tanpa sadar, topik pembicaraan pun perlahan bergerak ke arah yang lebih dalam—tentang masa kecil, tentang kehilangan, tentang mimpi yang belum sempat terwujud. Ivy tetap di pangkuan Nayara, menjadi saksi bisu dari percakapan yang entah bagaimana mulai membongkar sisi rapuh mereka satu per satu. Dan di sela tawa yang pelan, serta diam yang kadang menggantung, sebuah kedekatan mulai terbangun—diam-diam, namun kuat.

•••

Sementara itu, di tempat lain, seluruh anggota keluarga Steel tengah disibukkan oleh persiapan pesta pernikahan putra pertama mereka. Segala hal harus dipersiapkan dengan cepat dan sempurna, mengingat acara tersebut akan berlangsung kurang dari satu minggu lagi. Dalam waktu singkat, putra kebanggaan keluarga Steel itu akan resmi melepas masa lajangnya.

Dira dan Vallen menjadi dua orang yang paling antusias menghadapi momen ini. Keduanya terlibat langsung dalam memastikan setiap detail berjalan sempurna. Tim profesional yang telah disewa pun bekerja cepat dan cermat untuk memastikan tidak ada celah atau kesalahan sedikit pun dalam pelaksanaan acara megah tersebut.

"Iya, kirimkan saja gaunnya ke mari," ucap Dira—ibunda Zevian—sembari mengakhiri panggilan teleponnya. Ia menyandarkan kepala di sandaran sofa dengan ekspresi lelah yang tak bisa disembunyikan. Di sisi lain, Vallen juga tampak tidak jauh berbeda. Sejak pagi, keduanya telah disibukkan oleh berbagai urusan penting yang berkaitan dengan acara besar itu.

“Daddy belum kembali?” tanya Vallen pelan kepada sang ibu.

“Belum, dia masih ada urusan,” jawab Dira dengan suara lesu, menatap kosong ke depan seakan berharap kelelahan itu bisa lenyap seiring dengan heningnya ruangan.

“Persiapannya akhirnya selesai... Kita hanya tinggal menunggu hari-H,” ujar Vallen sambil menarik napas lega.

“Mommy harap semuanya berjalan sesuai rencana... Mommy juga sangat berharap mereka berdua bisa bahagia dengan semua ini.” Ujar Dira sembari mengangguk pelan.

“Ouh iya, Mom, Kak Ze di mana? Masih tidur?” tanya Vallen sambil memandang sekeliling, baru menyadari bahwa sejak tadi ia belum melihat kakaknya di rumah.

“Entahlah, coba tanya pada pelayan. Rani!” panggil Dira sedikit lebih lantang. Tak lama, seorang wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan di rumah mereka, datang menghampiri dengan langkah cepat namun tetap sopan.

“Iya, Nyonya?” sahut Rani dengan hormat.

“Zevian di mana?” tanya Dira sambil menatapnya penuh tanya.

“Tadi pagi sekali Tuan Zevian sudah pergi, Nyonya. Saya tidak tahu pasti ke mana beliau pergi, tapi beliau terlihat lebih santai dari biasanya,” jawab Rani hati-hati, mencoba menjelaskan sebaik mungkin.

“Dia tidak bilang apa-apa?” tanya nya lagi.

“Saya tidak sempat bertanya, Nyonya. Maaf untuk itu. Oh, dan tadi sore Tuan Aditya sempat datang untuk mengantarkan beberapa dokumen penting yang katanya perlu segera dilihat oleh Tuan Zevian. Saya sudah menyimpannya di ruang kerja,” lanjut Rani menjelaskan.

“Baiklah. Tolong siapkan makan malam, sebentar lagi suami saya pasti pulang,” ucap Dira singkat namun tegas.

“Baik, Nyonya,” Rani menunduk sopan lalu bergegas melaksanakan tugasnya.

Setelah suasana kembali tenang, Dira dan Vallen memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri. Mereka berharap setelah mandi, kelelahan yang menggelayuti tubuh dan pikiran mereka bisa sedikit menghilang, agar tetap siap menghadapi hari-hari penting berikutnya.

•••

Sementara itu, di tempat lain, Zevian dan Nayara terlihat jauh lebih dekat dibanding hari-hari sebelumnya. Malam itu, mereka tengah memanggang beberapa potong daging, sosis, dan makanan lainnya di atas alat panggang portabel yang diletakkan di halaman belakang vila kecil tempat mereka menginap.

Udara malam yang sejuk berpadu dengan aroma sedap dari daging yang terbakar perlahan, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Sesekali, tawa kecil terdengar dari mereka, menyatu dalam percakapan ringan dan lelucon-lelucon sederhana yang terlontar dengan alami. Tidak ada tekanan, tidak ada jarak—hanya kebersamaan yang terasa mengalir begitu saja.

“Coba sausnya,” ujar Nayara sambil menyodorkan jari telunjuknya yang sudah dicelupkan ke dalam saus, tepat ke arah Zevian.

Zevian, yang sedang fokus membalik potongan daging di atas panggangan, sempat melirik ke arah tangan calon istrinya itu. Tanpa banyak bicara, ia langsung menyambutnya dan menjilat saus di jari Nayara dengan santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang aneh bagi mereka.

“Akhh… ini terlalu pedas,” ucap Zevian sambil mengernyitkan dahi. Wajahnya refleks memerah karena rasa pedas yang menyergap lidahnya—ia memang tak terlalu suka makanan dengan rasa tajam seperti itu.

Melihat reaksi Zevian, Nayara segera mengambil botol air mineral dari atas meja kecil di samping mereka, lalu menyodorkannya kepadanya tanpa berkata apa-apa.

“Terima kasih,” ujar Zevian sambil menerima botol tersebut. Nayara hanya mengangguk pelan, menahan senyum geli melihat ekspresi Zevian yang masih berusaha menetralisir rasa di mulutnya.

Malam itu, batasan yang selama ini sempat membentengi hubungan mereka seolah memudar perlahan. Tawa dan percakapan ringan membuat segalanya terasa begitu natural. Nayara tampak semakin nyaman berada di dekat Zevian—meskipun kadang ia masih merasa kesal dengan sikap dominan pria itu, namun tidak bisa disangkal bahwa cara Zevian mendekatinya dengan perlahan dan penuh ketegasan justru menciptakan ruang aman tersendiri dalam hatinya.

Dan di tengah hangatnya api panggangan, taburan bintang di langit malam, serta aroma makanan yang terbawa angin, dua insan itu seperti menemukan ritme baru yang mereka ciptakan bersama—pelan, tenang, dan mulai menyatu.

Tanpa sadar, malam itu menutup harinya dengan kesan sederhana namun begitu dalam: mereka mungkin sedang menuju sesuatu yang tak lagi bisa mereka sangkal.

1
Ramapratama
kupikir bakal 🤣
Araya
akhirnya sah😆
Ramapratama
benerr Bene gak tau bersyukur jadi cewek
Ramapratama
loh bab 3 6 ya ada 2? salah gak sih? kaya ke ulang?
Araya: loh iya baru sadar sangking terhayut nya gak sasar kalau double
total 2 replies
Dimas Ferdiansyah
kenapa jef tak jujur sama nay kl dia sangan cinta dan sayang sama nay seharusnya jef jujur sama nay tentang perasaanya agar nay tau kl dia sangat mencintai. nay
Ramapratama
mulut nya 😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!