Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (10)
2 tahun tak terasa Hidra tinggal di Desa Rusa, ia mempunyai dua orang anak kembar dengan Nalani. Putra yang lahir beberapa menit lebih dulu bernama Basa dan putri yang saat terlahir badanya sangat mungil bernama Tilani. Mereka hidup bahagia bersama, dan Zai, ia masih hidup bersama keduanya. Awalnya, Zai berpikir akan membangun rumah bilik baru atau tinggal di rumah utama sekaligus menjadi pengurus, takut menganggu rumah tangga adiknya. Tapi keduanya -Hidra dan Nalani- menolak. 'Lebih ramai lebih seru!' kata Hidra. Toh, Zai juga bisa menjadi teman untuk anak-anaknya bermain.
Namun, kebahagiaan itu tidak berjalan lama. Ah, keluarga Hidra tetap haronis. Tapi, desa. Kemaru datang membuat keringan menyerang desa sehingga mengalami krisis air. Hidra pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota, ia berpikir untuk mencari cara agar bisa membuat beberapa sumur di desa dengan kedalaman yang cukup memadai hingga saat kemarau pun kendala seperti ini tidak terjadi. Untungnya, Nalani juga buka tipe waita yang akan merengek ketika di tinggal pergi, ia hanya meminta kepada Hidra untuk berhati-hati selama perjalanan kembali ke kota.
"Terutama terhadap rusa, jangan lagi adu teriak sama rusa!" omel Nalani sambil membereskan beberapa pakaian Hidra kedalam tas.
Yang diomeli malah sibuk bermain di atas kasur dengan kedua anaknya yang sedang menjadikan diriya sebagai perahu kayuh. Basa dan Tilani secara sejajar duduk di perut Hidra, keduanya memegang kayu kecil yang dibentuk seperti dayung oleh Zai. Mengayuh angin di sisian mereka.
"Oh, ya, Benda yang aku buat saat setengah tahun lalu ke kota. Mau di hidupkan?" tanya Hidra saat Nalani duduk disebelahnya, ikut bermain dengan sang anak.
"Manusia buatan yang kau buat mukanya mirip dengan anakku itu? tidak, tidak!" tolak Nalnai mentah-mentah.
Hidra terkekeh, ia perlahan bangun membuat Nalani menggendong Tilani dan mendudukannya di pangkuan. Sedangkan Basa yang tetap setia pada posisi awal membuat Hidra mengulurkan tangan untuk memeluk anaknnya.
"Robot, namanya robot. Kau masih saja takut? padahal aku buat itu untuk memudahkan," Hidra menurunkan intonasi seolah dirinya sangat tersakiti. Berakting sedih dengan bibir yang di kerutkan
plak!
Tamparaan tigan mendaarat di bahunya. Nalani menatap Hidra jengah. Dari awal saat Hidra memberikan gambar rancangan robot yang dirinya akan buat, Nalani sudah menolak. Tapi, melihat suaminya sangat bahagia ia tidak bisa melarang dengan keras. Toh, sebenarnya Hidra membuat benda itu juga untuk membantu dirinya.
Keesokan harinya Hidra pun berpamitan dengan warga desa untuk kembali ke kota. Beberapa warga memberinya bekal perjalanan buah-buahan dan juga cemilan yang dapat mengganjal rasa lapar. Zai mendekat dengan Basa yng duduk di bahunya.
"Tarik," Zai menunjuk kepala Hidra, membuat Basa menjambak rambut ayahnya dengan kencang.
"Aw! kenapa?!" bingung Hidra.
"Nanti pas pulang, dia bakal bisa lebih dari sekedar jambak orang." sombong Zai dengan senyum bangga.
Hidra mendengus, "Dasar pelatih desa."
Setelah itu, Hidra merangkul Nalani yang sedang menggendong Tilani. Diberinya kecupan ringan kepada istri dan sang anak lalu akhirnya berpamitan.
Waktu dari Hidra berpamitan ke kota sampai saat ini Basa dan Tilani sudah bisa berlari bahkan bermain kehutan hanya berdua, mungkin..., sekitar 6 tahun sudah. Tidak dipungkiri ada beberapa omongan menyakitan. Terutama darj para ibu-ibu.
"Orang kota itu tidak kembali, pasti dia kabur."
"Padahal kekeringan di desa ini juga salah dia."
"Loh? kita kekuraangan air gara-gara dia?"
"Lah, iya. Dia yang suru kita tebang pohon, kan. Penunggu situ jadi marah."
"Loh, pantes. Tapi ada untungnya, sih. Rumah kita sekarang jadi lebih tahan badai."
"Ihh, tahan badai doang. Rumahku, dong. Suamiku abis buat dapur baru yang lebih luas."
"Gitu doag? Kamar mandi rumahku bisa di pakai untuk tinggal satu keluarga."
Dan, banyak, perkataan lainnya Yah... begitu lah.
Tiga tahu kemudian, akhirnya Hidra baru bisa kembali ke desa. Melihat kedatangan Hidra, banyak orang yang menatap dirinya tajam. Para wanita yang telihat kurus, lesu, dan tidak memiliki tanda-tanda kehidupan dalam mata mereka itu membuat Hidra merasa tidak nyaman. Mungkin mereka marah karena dirinya pergi telalu lama. Tapi, Saat sampai tadi Hidra sudah mememriksa bahwa kondisi air sudah kembali membaik. Ia berjalan menuju rumahnyanya, mungkin arena sudah sangat lama ia tinggalkan ingatannya sedikit pangling. Untung ia masih mengngat rumahnya. Temapat tinggalnya bersama Nalani dan kedua anak kembarnya. Tempat sahabat karibanya tinggal. Tapi, sesampainya dirumah, ia mendapati Nilani yang terbaring lemas, meringkuk di atas kasur yang biasa mereka gunakan. Beberapa langkah hampir mendekati Nilani, seorang menariknya mundur. Membuat Hidra membalikan badan.
"Oh, Zai. Ada apa dengan-" tanpa ada sepatah kata terucap, Zai menarik Hidra keluar dari Desa.
Hidra yang pikirannya diwang-awang sibuk menerka dan memikirkan apa yang terjadi, mengikuti Zai dengan pasrah. Memasuki hutan jati dan terus melangkah maju sampai sebuah cahaya terang menyapa. Bola mata Hidra melebar, kali ini bukan karena kenikmatan alam seperti saat dirinya pertama kali datang ke desa ini, melainkan karena kondosi hutan. Hutannya,
"Hutannya... kenapa?" Hidra terjatuh lemas melihat kondisi hutan yang sudah separuh musnah. Ingatannya kembali di tarik saat dirinya tadi baru memasuki desa. Banyak rumah-rumah besar dan mewah yang terbuat dari kayu. Bukan lagi bilik. Hanya rumahnya saja yang masih tidak berubah.
"Para warga berpikir, lebih baik semuanya membangun rumah dari pohon jati. Rumah sudah terbangun, tapi mulai banyak yang ketagihan menebang pohon unuk merenovsi rumah menjadi samakin besar. Padahal penduduk di desa tidak ada yang memiliki lebih dari 5 kepala dalam satu rumah."
Zai duduk disebelah Hidra, "Aku dan Nalani berusaha menghentikan. Tapi Paman Ahal sendiri yang mangarahkan semuanya, tentu kami kalah. Dan ada hal yang membuat Nalani lebih terpuruk," Zai menghela naps dalam.
"Tenagamu sudah terkumpul belum? ayo ikut aku."
Zai membwa Hidra ketempat dimana mereka pertama kali bertemu, lalu keduanya berjalan menelusuri sungai. Zai membuka semak-semak menuju tempat rahasia mereka bertiga. Zai memimpin di depan dengan Hidra yang berjalan gontai di belakangnya. Sesampainya di bagian dasar jurang, Zai tidak berjalan ke arah gua melainkan menuju tebing yang dialiri air sungai.
"Dulu, saat pertama kalai kemari. Kau memandang bagian tebing ini dengan sangat kagum, jadi kupikir kau sangat menyukainya. Nalani juga begitu. Karenanya...,"
Lagi-lagi, Zai menghela napas dalam. kepalanya tertuduk, ia mengangkat tangan kirinya yang bergetar entah sejak kapan. Menuntuk bagian dasar dari tebing yang di aliri air.
"Aku, menguburnya disana... Tilani," Walau terasa mencekik dan tercekat di pangkal tenggorokan. Zai tetap berusaha untuk mengatakkannya.
Bagai disambar oleh tajamnya petir, Hidra terjatuh. Padangan kosong menatap tempat yang di tunjuk oleh Zai. Dalam perjalannnya pulang, ia sudah merasa sangat bahagia dapat menemui dunianya lagi. Walau ada banyak masalah dan fakta menejutkan saat dirinya kembali ke kota. Ia pikir itu dapat terselasaikan dengan baik setelah berdiskusi dengan Nalani. Namun, dunia terbelah mejadi dua dalam pijakannya.
"Basa..." gumam Hidra pelan.
"Bagiamna dengan basa?"
Zai bertumpu dengan lutut, mensejajaran tingginya di hadapan Hidra. Kedua tangannya terangkat menggengam kedua bahu Zai erat. Mereka saling bertatapan.
"Dia selamat," Bagai beban ringan tengkat dari bahunya. Hidra dapat bernapas lega, tapi, tidak dengan raut wajah Zai yang justru semakin terlihat gelap. "Sekarang dia di rumah utama... bersama adiknya,"
bugh!
Pukulan berat mendarat di pipi Zai hingga membuatnya tersungkur ke samping. Zai hanya diam tanpa ada perlawanan. Hidra menarik kerah Zai, tangan kanannya terkepal di samping wajah yang sudah memerah sempurna.
"Apa ini ? prank? tidak lucu sampai harus melibatkan kematian untuk candaan!"
Zai mengangkat tangan pasrah, "pra- apa? aku tidak paham bahasa kotamu. Tapi, lebih baik sekarang kau pergi ke rumah utama." Hidra menghempaskan Zai dengan kencang membuat sahabat yang juga berstatus sebagai kakaknya itu terbanting.
Dengan emosi penuh di hati, napas tidak teratur yang semakin memberat mengundang sedikit sesak, hingga suara di kepala yang tidak henti-hentinya meneriaki berbagai kemungkinan.
Hidra membuka pintu rumah utama dengan kesal. Sesaknya semakin bertambah dan kedua mata yang sudah memerah melebar sempurna. Ia berjalan ketengah ruangan, menatap tajam Ahal yang duduk dengan seorang anak kecil dipiggir ruangan. Pandangannya ia alihkan pada sosok di seberang yang Zai bilang sebagai 'adiknya Basa'.
"Apa-apaan ini?!" protes Hidra penuh emosi.
Ahal tersenyum cerah, ia berdiri menghampiri Hidra "Akhirnya kau kembali. Putrimu ini memang luar biasa, ia sekarang mejadi putri dari desa ini. Desa kami juga dapat melewati kekeringan karenanya."
Anak kecil yang ternyata Basa hanya dapat menunduk, ia tidak mengenali siapa orang asing yang datang. Hanya saja, dirinya mersakan gejolak aneh.
"Nak Hidra," Tangan Ahal yang hendak memberikan tepukan di bahu segera Hidra tepis.
Telunjuk tangan Hidra menunjuk tegas ke arah Tilani, "Ia bukan manuia!" teriaknya.
Basa, saat itu juga mengkat kepala dan menatap orang di depanya dengan tatapn kagum. Pasalnya, setelah kecelakaan yang terjadi ia merasakan juga, adiknya bukan lagi adiknya. Tapi ibu hanya diam tidak menjawab, dan Ahal selalu membentakya ketika mengatakan hal itu. Tapi orang ini, pria asing di depannya ini menyuarakan isi hatinya yang menahan takut selama 3 tahun terakhir.
"Dasar orang luar!" Ahal membalik badan, ia keluar dari rumah utama bersamaan dengan beberapa pria yang masuk lalu menyeret Hidra. Mereka membawa Hidra kedalam penjara yang berisi beberapa pria lain yang juga menocba menentang. Bukan karena sadar Tilani bukan manusia, tapi karena tidak terima, dengan apa yang terjadi dengan putri mereka. Bukan putri desa mereka.
°°°
Mendengar cerita Paman Zai mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada desa membuat Warta yang tidak mengalami saja terasa sesak. Ia menatap Basa, sedari tadi ank itu hanya tertunduk dengan tangan mengepal di atas paha yang sudah basah oleh air mata. Basa membekap mulutnya dengan tangan kanan yang bergetar, tubuhnya terasa mual oleh isi perut yang memanjat menaiki kerongkongan.
Merasa dirinya mulai membaik, Basa menuruntan tangan yang membekap mulut. Menarik napas dalam dan menghela dengan panjang, ia ulang selama tiga kali. Kemudian, remaja dengan tubuh mungil itu kembali menegakan kepala dan menatap Paman Zai lekat.
"Jadi waktu itu, saat setengah dari badannya tertimpa pohon... Tilani... benar-banar sudah tiada?" suara gemetar melafalkam perkataan putus asa. Menolak kenyataan. Basa dibawa kembali pada ingatan saat ia dan adiknya malam itu harus berari di tengah hutan karena kejaraan seekor rusa. Saat berusaha menghindar, Tilani terselandung hingga terjatuh. Sayangnya, saat ia mencoba bangun, pohon jati besar di samping dirinya terjatuh, menimpa tubuh bagian kanan Tilani tepat dihadapan Basa. Jantung Basa berpacu dengan cepat, ia terjatuh panik. Kepalanya menoleh kesana kemari meminta pertolongan. Di ujung pangkal pohon yang jatuh, ia melihat seorang pria dengan kapak besar berlari menghampirinya.
"Saat itu....Kakek Ahal?!" Basa menggebrak meja lalu berdiri dengan wajah penuh emosi.
"Paman. Kakek yang membuuh Tilani!"