Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Malam Oliver
Lampu-lampu neon kota menari di atas kaca mobil Oliver yang melaju kencang. Musik dari klub sudah terdengar bahkan sebelum ia memarkirkan mobil. Begitu masuk, dentuman bass lanjut menyambut. Asap rokok bertebaran di udara, alkohol dan tubuh-tubuh yang bergoyang jadi pemandangan menyenangkan baginya. Oliver melangkah percaya diri dengan jas navy yang kini terbuka dan dasi longgar menggantung di leher. Tatapannya menyapu ruangan, mencari satu sosok yang ia tahu pasti sudah menunggunya datang.
“Oliver…” suara manja itu terdengar begitu ia sampai di VIP lounge. Selena, dengan gaun merah ketat yang memeluk lekuk tubuhnya sempurna, menyambutnya dengan senyum genit. Bibirnya merah menyala dan matanya berkilat nakal. Tangan lentik Selena langsung melingkar di leher Oliver, tubuhnya menempel erat. “You’re late, i almost got bored.”
Oliver terkekeh rendah, jemarinya menyusuri punggung telanjang Selena. “But now I’m here, baby. And you’re not bored anymore, right?”
Selena mendesah kecil, lalu menarik Oliver duduk di sofa kulit hitam. Segelas wine disodorkan, lalu ia sendiri duduk di pangkuan Oliver, menatapnya sambil menggerakkan bahu dan pinggul dengan irama musik yang sensual.
Mereka terlihat seperti pasangan sempurna untuk dunia malam. Oliver dengan pesona liarnya disandingkan dengan Selena yang keahliannya menggoda. Tawa dan bisikan nakal berbaur dengan dentuman musik keras, seolah tak ada ruang untuk bersedih dan berduka. Bagi Oliver inilah dunianya, dunia yang liar, bebas dan tanpa aturan. Dan bagi Selena, Oliver adalah pria kaya yang bisa ia kendalikan dengan hasrat dan sentuhan.
Selena menatap Oliver dengan tatapan penasaran. Setelah menyesap wine-nya ia mencondongkan tubuh, bibir merahnya nyaris menyentuh telinga Oliver.
“Aku dengar gosip…” bisiknya manja. Jemarinya menggambar garis di dada Oliver yang terbuka karena kemeja sengaja dibiarkan longgar. “…katanya kamu menikah dengan gadis lain? Itu benar, sayang?”
Oliver mendengus, kepalanya menoleh dengan ekspresi jengkel. “Sial… berita sampah itu sudah menyebar? Aku yakin ini ulah Papa.” Ia meneguk minumannya cepat menahan emosi. “Tapi tenang baby, aku tidak menikah atas keinginanku. Itu cuma formalitas murahan, kau tidak mungkin keberatan dengan itu kan?”
Selena tergelak kecil, tidak peduli. “So what? Aku nggak peduli siapa jalang itu. Yang penting kamu masih datang ke sini, hanya padaku.” Tangannya menekan dada Oliver lalu menunduk, mencium lehernya dan sensual.
Dentuman musik semakin bergema, namun dua manusia berbeda jenis kelamin itu sudah hilang dari kerumunan. Oliver menarik pinggang Selena lebih dekat, bibirnya membalas ciuman penuh nafsu. Tubuh mereka saling menempel dengan gerakan yang semakin berani. Selena menggiring Oliver menuju salah satu kamar VIP di lantai atas. Begitu pintu tertutup, Oliver langsung mendorongnya ke dinding, bibir mereka bertemu liar dan napas memburu. Tangan Oliver menelusuri punggung dan pinggul Selena, membuat desahan kecil keluar dari bibirnya.
“Aah… Oliver…” suara itu menggema di ruangan berlampu redup. Ciuman mereka berulang kali pecah hanya untuk mengambil napas, lalu kembali menyatu semakin dalam.
Oliver melihat ke bawah, menatap Selena yang bekerja dalam diam dan menggairahkan hingga akhirnya desahan keras tanda kepuasan terdengar di ruangan itu.
Selena mengusap dada Oliver dengan senyum penuh kemenangan, matanya berbinar nakal. “Sayang… kita bisa lebih jauh lagi, kan? Don’t stop here…” bisiknya, jemarinya sudah mulai menelusuri.
Namun Oliver menahan pergelangan tangannya. “No Baby, you know the rule.” Ia mengatur napas, lalu melangkah mendekati pintu keluar.
Selena memicingkan mata cemberut. “Kamu selalu berhenti di sini, kamu pikir aku boneka pemuas?”
Oliver mengenakan kembali kemejanya dengan gerakan santai lalu mendekat, menangkup dagu Selena dengan bibirnya yang melengkung angkuh. “Tas keluaran terbaru akan sampai di apartemenmu besok, Baby. Birkin limited edition, warna kesukaanmu merah darah.”
Senyum Selena yang tadinya kisut kini hilang digantikan dengan senyum merekah dan menggoda. “You always know how to tame me, huh?”
Oliver terkekeh rendah, ia meraih jaketnya lalu melangkah pergi dengan langkah penuh percaya diri setelah mendapatkan kepuasannya.
Pintu rumah besar keluarga Brata berderit pelan ketika Oliver masuk dengan langkah gontai. Jasnya kusut, kemeja separuh terbuka dan wajahnya merah karena alkohol. Aroma tajam wine bercampur langsung menyebar ke ruang tamu.
Brata yang sedang duduk membaca laporan perusahaan mendongak. Soraya ada di sampingnya, menatap dengan tatapan cemas.
“Dari mana kau?” suara Brata datar tapi dingin dan membara.
Oliver hanya mendengus, melempar jas sembarangan ke sofa. “Dari luar, Pa.”
Soraya meraih lengan suaminya, berbisik agar menahan diri. Tapi Brata sudah bangkit, wajahnya menegang membuat kerutannya lebih jelas terlihat.
“Setelah semua masalah yang kau buat, setelah mempermalukan keluarga ini, kau masih berani pulang dengan bau alkohol seperti ini?!”
Satu pukulan telak mendarat di pipi Oliver hingga tubuhnya oleng membentur meja kecil di depan sofa.
“Pa…!” Soraya menahan tapi Brata sudah memberi pukulan kedua, kali ini lebih keras. Oliver tersungkur di lantai, bibirnya pecah dan darah menetes dari bibirnya.
“Kalau bukan karena ibumu, sudah lama aku menghancurkanmu!” bentak Brata, dadanya naik turun menahan amarah.
Oliver menghapus darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Ia mendongak pongah, senyum miringnya tetap muncul meski wajahnya babak belur. “Silakan Pa, bukankah itu yang kau tunggu-tunggu?”
Tinju Brata terangkat lagi, tapi Soraya buru-buru menahan tubuh suaminya dengan tangis. “Sudah, cukup! Kau bisa membunuh anakmu sendiri kalau begini terus!”
Brata berdiri terengah, lalu menghela napas kasar. “Bawa dia ke kamar, aku tidak mau melihat mukanya malam ini.”
Soraya menoleh pada Laras yang sejak tadi berdiri di ujung tangga. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar melihat semua kejadian barusan. “Laras, tolong… bawa suamimu ke kamar.”
Dengan langkah terbata Laras menghampiri Oliver. Tubuhnya yang kecil membuatnyanya kewalahan menopang tubuh tinggi suaminya. Aroma alkohol yang begitu menyengat membuat perutnya mual dan hampir muntah.
“Ya Allah… Astaghfirullah… Astaghfirullah,” lirihnya berulang kali.
Oliver terkekeh lemah, kepalanya nyaris terjatuh di bahu Laras. “Jangan pura-pura suci. Kau harusnya senang… bisa menyentuhku sedekat ini.”
Laras menggigit bibir. “Ayo Pak ke kamar… jangan bicara dulu.”
Setelah perjuangan berat, ia berhasil menyeret Oliver ke kamar. Tubuh pria itu dihempaskan ke ranjang. Laras mengambil napas panjang, lalu bergegas ke kamar mandi mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih.
Laras duduk di tepi ranjang, menatap wajah suaminya yang kini terlelap setengah sadar. Laras menunduk, jemarinya gemetar saat menempelkan kain basah ke wajah Oliver.
“Kenapa begini, Pak…” bisiknya lirih. “Bapak nggak kasihan sama diri Bapak sendiri?”
Oliver hanya mengerang pelan, tidak benar-benar mendengar. Laras mengompres lembut luka lebam di wajahnya dengan air hangat meski hatinya campur aduk antara takut dan bingung. Sebenarnya dari mana Oliver, kenapa sampai pulang dengan keadaan begini.
Setiap kali kain menyentuh kulit Oliver, Laras berbisik pelan. “Astaghfirullah ya Allah, lindungi saya… lindungi juga suamiku dan juga keluargaku.”
Sambil mengompres luka, Laras menatap wajah Oliver lama-lama. Air matanya jatuh entah untuk siapa, untuk dirinya yang terjebak dalam pernikahan paksa, atau untuk Oliver yang tenggelam dalam kesia-siaan hidupnya.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀