Ketua OSIS yang baik hati, lemah lembut, anggun, dan selalu patuh dengan peraturan (X)
Ketua OSIS yang cantik, seksi, liar, gemar dugem, suka mabuk, hingga main cowok (✓)
Itulah Naresha Ardhani Renaya. Di balik reputasi baiknya sebagai seorang ketua OSIS, dirinya memiliki kehidupan yang sangat tidak biasa. Dunia malam, aroma alkohol, hingga genggaman serta pelukan para cowok menjadi kesenangan tersendiri bagi dirinya.
Akan tetapi, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat saat dirinya harus dipaksa menikah dengan Kaizen Wiratma Atmaja—ketua geng motor dan juga musuh terbesarnya saat sedang berada di lingkungan sekolah.
Akankah pernikahan itu menjadi jalan kehancuran untuk keduanya ... Atau justru penyelamat bagi hidup Naresha yang sudah terlalu liar dan sangat sulit untuk dikendalikan? Dan juga, apakah keduanya akan bisa saling mencintai ke depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setelah Acara
Happy reading guys :)
•••
“Akhirnya selesai juga … benar-benar nguras banyak energi banget gara-gara harus akting dan berpura-pura jadi pasangan serasi di depan keluarga besar, tapi untungnya semuanya berjalan dengan sangat lancar.”
Naresha mengembuskan napas panjang penuh akan kelegaan, sebelum mendudukkan tubuh di atas tempat tidur dan menyandarkan punggung ke headboard kasur. Ia menyingkirkan serta menyelipkan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan ke belakang telinga, lantas sedikit mengukir senyuman tipis saat mengingat tentang kemenangan besarnya terhadap Elvira beberapa waktu lalu.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi Naresha seketika teralihkan saat tiba-tiba saja mendengar suara pintu masuk ruangan kamarnya sedang dibuka oleh seseorang dari arah luar.
Dari tempatnya berada sekarang, Naresha dapat melihat sosok Kaizen sedang melangkahkan kaki masuk ke dalam sambil memasang ekspresi wajah sangat tidak bersahabat.
“Kenapa lu?” tanya Naresha, sembari sedikit mengerutkan keningnya—merasa penasaran dengan hal yang sedang terjadi terhadap sang suami.
Kaizen tidak langsung memberikan jawaban. Ia justru tanpa aba-aba merebahkan tubuh di atas tempat tidur Naresha—lantaran malam ini mereka berdua diharuskan menginap karena sudah terlalu larut untuk pulang ke rumah—kemudian mengambil salah satu guling yang berada di atas sana.
“Sa … beberapa sepupu lu itu emang rese banget, ya?” tanya balik Kaizen dengan suara serak yang terdengar sangat lemah, sembari memeluk guling.
Naresha semakin mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan itu, dapat merasakan bahwa Kaizen baru saja mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa saudara sepupunya.
“Cuma beberapa doang … kenapa? Mereka rese ke lu?” jawab dan tanya Naresha, menyilangkan kedua kaki yang sedang berselonjor di atas tempat tidur.
Kaizen terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya menggelengkan kepala pelan, lalu sesegera mungkin bangun dari posisi tidurnya dan menatap sekilas ke arah Naresha. “Lu mau bersih-bersih dulu nggak?”
Naresha menghela napas panjang—menyadari ada suatu hal yang sedang ditutupi oleh Kaizen—lantas menggelengkan kepala pelan, karena merasa malas untuk membahas lebih jauh tentang hal yang sedang ditutupi oleh suaminya itu. “Duluan aja … gue masih males buat ke kamar mandi.”
Kaizen mengangguk paham, lalu segera bangun dari atas tempat tidur dan bergegas melangkahkan kaki menuju pintu kamar mandi yang berada di sisi kanan kamar milik Naresha.
Sepeninggal Kaizen, Naresha mengambil handphone dari dalam sling bag branded miliknya untuk sedikit menghilangkan rasa malas serta lelah. Ia membuka layar handphone, sedikit mengerutkan kening ketika melihat banyak sekali chat yang telah dikirimkan oleh Nayla dan Thalita di dalam group milik mereka bertiga.
Tanpa menunggu waktu lama, Naresha segera membuka kolom chat bersama kedua sahabatnya itu, lalu membaca semua pesan satu per satu untuk mengetahui konteks yang sedang Nayla dan Thalita bahas pada malam hari ini.
“Udah sampai ke mereka ternyata,” gumam Naresha, sebelum pada akhirnya menggerakkan kedua ibu jarinya untuk menari-nari di atas keypad handphone.
Naresha:
“Iya … gue udah bosen sama Gavin. Jadi, gue tinggalin, deh.”
“Lagian juga gue udah nggak perlu dia … soalnya dompet, kartu ATM, kartu kredit, sama e-wallet gue udah dibalikin sama papa beberapa hari lalu.”
Tanpa memerlukan waktu lama, chat yang telah Naresha kirimkan mendapatkan respon dari Nayla dan Thalita—seolah kedua gadis itu memang sedari tadi sudah menunggu di dalam kolom chat.
Nayla:
“Gelo … sahabat gue yang satu ini emang ngeri banget kalau soal ghosting cowok.”
“By the way, berapa duit yang udah dia keluarin buat lu, Sa?”
Thalita:
“Iya, Sa, berapa? Kalau nggak salah terakhir hampir lima juta, kan, ya, dia transfer ke e-wallet lu?”
Naresha diam sejenak, berusaha mengingat total uang yang telah dirinya dapatkan dari Gavin selama setengah bulan kembali bersama, sebelum pada akhirnya kembali menggerakkan kedua ibu jarinya di atas keypad handphone.
Naresha:
“Hmm … keknya tiga puluh ada, deh.”
“Itu dari sejak kita berdua keliling dua bar beberapa minggu lalu, Nay … gue bayar pakai duit pemberian dia.”
Setelah mengirimkan balasan itu, Naresha mengalihkan pandangan sejenak ke arah kamar mandi saat mendengar suara pintu sedang dibuka. Ia tanpa sadar mengukir senyuman samar, ketika melihat Kaizen keluar dari dalam dengan wajah yang sudah kembali segar, meskipun masih ditutupi oleh banyak sekali perban dan plester luka.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran Naresha sesegera mungkin menggeleng-gelengkan kepala pelan dan kembali menunduk untuk melihat balasan yang telah dikirimkan oleh kedua sahabatnya.
Nayla:
“Pantesan minggu lalu lu ngotot banget buat bayarin semuanya sendirian.”
“Mana kita waktu itu minum sama makanannya banyak banget lagi.”
“Ternyata ini alasannya … Keren juga lu, ya, Sa.”
Thalita:
“Ih, nyesel gue minggu lalu nggak ikut kalian … kalau ikut, kan, lumayan bisa seneng-seneng tanpa harus ngeluarin uang.”
Nayla:
“Ya, salah lu … udah gue sama Resha ajakin, tapi malah nggak mau.”
Thalita:
“Bukan nggak mau. Lu lupa Resha waktu itu minta gue buat nyiapin beberapa keperluan meeting?”
“Itu kalau ketua OSIS-nya bukan Resha juga gue males banget … mending juga tidur cantik.”
Naresha spontan terkekeh pelan saat membaca beberapa chat itu, sebelum pada akhirnya juga ikut memberikan respons atas keluhan Nayla.
Naresha:
“Hahaha … sorry, Babes … soalnya itu rapat penting banget.”
“Next time gue traktir, deh … Lu boleh pesen apa pun yang lu mau.”
“Asal nggak keterlaluan aja, ya.”
Nayla:
“Deal … setelah semuanya beres, gue tagih janji lu, Sa.”
Naresha hanya memberikan respons menggunakan emoticon love serta jempol, sebelum mematikan layar handphone dan mengalihkan pandangan ke arah kiri—melihat Kaizen yang entah sejak kapan sudah tertidur dengan sangat pulas di sampingnya.
“Cepet bener tidurnya … Dasar Kebo,” batin Nayla, menaruh handphone ke tempat semula, lantas secara perlahan-lahan mulai turun dari atas tempat tidur—berusaha tidak membuat suara, meskipun dirinya tahu bahwa Kaizen sangat susah untuk bangun kalau sudah masuk ke dalam alam mimpi.
Naresha mengembuskan napas panjang beberapa kali, meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit kaku, sebelum pada akhirnya melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan aktivitas tidur pada malam hari ini.
Sekitar sepuluh menit berlalu, pintu kamar mandi secara perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan sosok Naresha yang telah kembali segar setelah mencuci muka. Ia melangkahkan kaki secara perlahan-lahan mendekati tempat tidur, menatap wajah Kaizen sejenak, sebelum merebahkan tubuh di samping suaminya itu—tanpa mengganti pakaian karena sudah benar-benar sangat lelah—kemudian mulai menutup mata untuk masuk ke dalam alam mimpi.
“Hari ini berjalan dengan lancar … semoga aja besok juga sama … apalagi besok kegiatan OSIS masih cukup padat … terus juga ada beberapa tugas yang harus diselesaikan ….”
To be continued :)