"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Surga Kecil Dalam Rumah
Sarah bangun lebih awal dari biasanya. Fajar belum sepenuhnya merekah saat itu, namun dari dapur, aroma harum santan dan bawang tumis telah menyebar ke seluruh penjuru rumah. Membangkitkan rasa lapar bagi siapa saja yang menghirup aroma itu.
Hari ini adalah hari yang begitu istimewa bagi Sarah. Putri sambungnya—Serena—baru saja kembali kemarin siang, setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Seolah ingin menebus semua momen yang terlewat, Sarah telah merancang berbagai hal sejak jauh-jauh hari sebagai wujud sambutan hangatnya. Salah satu bentuk kasih sayangnya ia tuangkan dalam sajian istimewa: hidangan kesukaan Serena yang disiapkannya sendiri dengan sepenuh hati.
Laksan tersaji dalam mangkuk besar, kuah santannya kental dan harum, berpadu dengan potongan lontong yang empuk, ditaburi bawang goreng renyah di atasnya. Di sampingnya, pempek kapal selam, lenjer, adaan, dan pempek kulit tertata rapi di atas piring saji. Cuko hitam kental mengundang selera dengan aroma asam manis pedas yang menggigit.
Udara pagi masih segar ketika Serena keluar dari kamarnya setelah menunaikan salat subuh. Kakinya melangkah pelan menuju dapur, berniat membantu Bunda menyiapkan sarapan. Namun, langkahnya terhenti saat melihat meja makan sudah tertata rapi. Piring-piring sudah berjejer, makanan tersaji lengkap—bahkan lebih dari cukup untuk mereka semua.
Dia terlambat lagi.
"Kamu sudah bangun, Nak?" suara lembut Sarah menyapanya, membuat Serena tersadar dari lamunannya.
Serena menoleh cepat. "Bunda, dari jam berapa bangun? Ini masih subuh, tapi Bunda udah masak banyak banget."
Sarah tersenyum hangat sambil merapikan piring. "Bunda lagi semangat bikin sarapan buat kita sekeluarga. Rasanya udah lama banget Bunda pengin bisa makan bareng semua orang di rumah ini. Alhamdulillah, sekarang akhirnya doa Bunda terkabul juga."
Serena menggigit bibir bawahnya, merasa canggung. "Tapi 'kan, Re niatnya mau bantuin Bunda. Re nggak enak kalau apa-apa semuanya Bunda lakuin sendiri."
Sarah menghentikan gerakannya dan menatap Serena dengan penuh kasih. "Bunda tanya, selama kamu di perantauan, ada yang nyiapin semua ini buat kamu?"
Serena menggeleng pelan. "Enggak, semua Re kerjain sendiri."
"Nah, sekarang ini kamu lagi di rumah, Re. Selama di sini, Bunda harap kamu merasa seperti selayaknya seorang putri. Lagi pula, Bunda nggak keberatan. Bunda malah seneng banget. Ini kali pertama kita bisa sarapan bareng, lengkap. Ada kamu, ada Romi, ada Rafa, dan juga Dafa."
Serena menunduk, hatinya menghangat. "Bunda, kenapa Bunda sebaik ini?"
Sarah tersenyum, lalu mengusap lengan Serena dengan lembut. "Karena dengan menjadi baik ... Bunda bisa bertemu dengan ayahmu. Bunda bisa mengenal kamu. Bunda punya Dafa ... dan akhirnya, Bunda punya keluarga kecil yang bahagia."
Suara Sarah meredup di akhir kalimatnya. Mata perempuan itu tampak mulai berkaca-kaca. Serena bisa merasakannya—ketulusan kasih sayang yang begitu dalam, meski ia bukan anak kandung Sarah. Tapi setiap perlakuan dan tutur kata sang Bunda tak pernah menunjukkan perbedaan.
Keheningan yang hangat menyelimuti sejenak, sebelum Sarah bertanya dengan nada lembut, "Kamu sudah salat, Sayang?"
Serena mengangguk pelan, tak mampu menahan senyum kecil yang mengembang di wajahnya. "Sudah, Bun."
"MasyaAllah. Kalau kamu mau bantu, Bunda. Bunda minta tolong buatin teh hangat, sama susu hangat untuk adik-adikmu, ya. Kamu terserah mau minum apa, Sayang. Bunda mau lihat ke atas dulu, Ayahmu udah bangun apa belum. Sekalian, Bunda mau salat subuh juga."
"Iya, Bun."
Serena langsung mengerjakan permintaan bundanya begitu wanita itu melangkah keluar dari dapur.
Udara subuh masih begitu dingin, menggigit kulit dan menusuk tulang. Serena merapatkan jaket tipis yang membalut tubuhnya. Napasnya tampak seperti asap kecil yang menguap di udara, menjadi bagian dari pagi yang sunyi.
Gadis itu memulai dengan memanaskan air di atas kompor menggunakan teko. Sambil menunggu air mendidih, ia menyempatkan diri mencuci piring, gelas, dan peralatan dapur lain yang menumpuk di wastafel. Tangan mungilnya cekatan bergerak di antara busa sabun dan aliran air, sementara matanya sesekali melirik ke arah kompor.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara khas dari dalam teko—siulan pelan yang menandakan air telah mendidih. Serena segera mematikan kompor, lalu mengeringkan tangannya dengan lap bersih. Ia mengambil dua gelas keramik dari rak dan mulai meracik teh hangat.
Dengan hati-hati, ia menuangkan air panas ke dalam teko kecil berisi teh celup. Aroma wangi teh langsung menyebar di udara. Setelah itu dilanjutkan dengan menyeduh dua gelas susu hangat untuk adik-adiknya: Rafa dan Dafa.
Meski hanya tugas sederhana, Serena melakukannya sepenuh hati. Ada rasa tenang yang tumbuh diam-diam dalam dirinya, seperti api kecil yang kembali menyala setelah lama padam. Pagi itu, di dapur kecil yang dipenuhi aroma teh dan susu, Serena merasa seolah sedang kembali mengambil peran—peran kecil yang dulu pernah ia tinggalkan, tapi kini terasa begitu berarti.
Khusus susu yang akan diminum oleh Rafa, Serena sesekali mencicipi sedikit untuk memastikan rasanya pas—tidak terlalu manis, tidak terlalu hambar, dan suhunya cukup hangat untuk diminum. Meski hanya tugas sederhana, Serena melakukannya dengan hati-hati dan sepenuh hati. Ada rasa hangat yang tumbuh dalam dirinya, seolah ia sedang mengambil peran kecil dalam rumah ini. Sesuatu yang sudah lama ia tinggalkan.
Beberapa menit kemudian, Sarah kembali memasuki dapur—kali ini tidak sendiri. Di dalam pelukannya, Dafa terlelap setengah sadar, masih meringkuk dalam gendongan hangat sang bunda. Tak jauh di belakang, Romi menyusul masuk, senyumnya merekah lebar begitu melihat putri sulungnya tengah sibuk di dapur.
"Wangi tehnya enak banget," ujar Sarah sambil tersenyum kecil. Ia segera menarik kursi dan mendudukkan Dafa dengan hati-hati di tempat duduknya.
Serena mendekat, menyerahkan segelas susu pada adik bungsunya, Dafa.
"Ini buat Dafa," katanya pelan.
"Maacih, Mbak Le," sahut Dafa dengan polos, mengucap terima kasih dengan lidah cadelnya.
"Sama-sama, Sayang," balas Serena sambil membelai lembut kepala adiknya.
"Kamu rajin sekali, Re. Pagi-pagi udah bantu Bunda di dapur," kata Romi sambil tersenyum bangga.
Serena tersenyum malu. "Aku cuma bantu bikin teh sama susu aja, Yah. Semua makanan di meja ini Bunda yang masak. Padahal aku juga pengin bantuin Bunda masak, tapi udah kelar duluan."
Sarah menoleh dan menimpali dengan lembut, "Nggak apa-apa, Sayang. Nanti siang kamu bisa bantuin Bunda, ya?"
Serena mengangguk penuh antusias. "Beneran, Bunda! Boleh banget, Bun!"
Romi menoleh ke arah lorong yang mengarah ke kamar Rafa. Anak lelakinya yang satu itu belum juga turun dari kamarnya.
"Ayah ke kamar Rafa dulu, ya. Mau ngecek, anaknya udah bangun apa belum," ucap Ayah.
Namun, belum sempat ia melangkah, terdengar derap langkah pelan dari lorong, yang disusul dengan kemunculan Rafa.
Mata remaja lelaki itu masih setengah terpejam, mengenakan kaus longgar dan celana tidur. Wajah dan rambutnya yang sedikit berantakan itu terlihat masih basah oleh sisa air wudhu. Ia berjalan perlahan, lalu tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat Serena berdiri di dapur. Pandangan mereka bertemu. Serena juga melihat ke arahnya.
Ada rasa canggung yang tiba-tiba merayap dalam diri Rafa. Ia teringat percakapan semalam dengan ayahnya—tentang masa lalu Serena, tentang pahitnya hidup yang harus dilalui oleh saudari tirinya itu. Rasa bersalah menyelimutinya, karena selama ini ia terlalu sibuk dengan penilaiannya sendiri. Padahal, Serena bukanlah sosok egois yang pergi tanpa alasan, seperti yang dia pikirkan selama ini.
Kepergian Serena dari rumah ini bukan tanpa alasan. Ia pergi demi satu hal: untuk tetap waras dari luka-luka yang terus menggerogoti batinnya.
Rafa menarik napas dalam-dalam. Ia sadar, ia telah terlalu lama terdiam di tempat. Maka ia pun melangkah maju, mendekat ke meja makan.
Sekarang. Semua telah duduk di kursi mereka masing-masing. Aroma hangat dari teh dan makanan tersaji menambah kenyamanan suasana pagi itu. Namun sebelum sarapan dimulai, Romi tiba-tiba menatap anak lelakinya.
"Sebelum kita makan, ada sesuatu yang Rafa ingin sampaikan ke kita semua, kan?" ucap Ayah dengan lembut.
Suasana mendadak hening. Semua mata kini tertuju pada Rafa—kecuali Dafa, si bungsu sibuk mengunyah pempek lenjer di atas piringnya yang sudah dipotong menjadi bagian-bagian kecil. Teksturnya yang kenyal disesuaikan agar mudah dikunyah oleh balita berusia dua tahun itu.
Rafa tampak gugup. Tangannya mencengkeram ujung kausnya erat-erat, wajahnya menegang, tapi ia mencoba menarik napas dalam-dalam.
"Mbak Re," panggilnya kemudian, dengan suara yang rendah.
"Iya, Rafa?" Serena membalas, sambil menunggu dengan penasaran, apa yang akan disampaikan oleh adik tirinya itu.
"Aku ... aku mau minta maaf sama Mbak. Untuk semua sikapku selama ini. Aku udah kasar sama Mbak Re. Aku egois ... cuma mikirin perasaanku sendiri."
Serena terdiam sejenak. Matanya mendadak berkaca-kaca. Ia tidak menyangka Rafa meminta maaf lebih dulu padanya hari ini, padahal Serena juga berniat akan meminta maaf setelah mencari waktu yang tepat.
Rafa melanjutkan, "Aku benar-benar minta maaf atas semua yang sudah aku lakukan pada Mbak, sejak Mbak pulang ke rumah. Aku nggak pernah mencoba untuk ngerti perasaan Mbak. Aku cuma marah, tanpa tahu alasan Mbak Re ngelakuin semua itu. Maaf, karena aku sudah menyakiti Mbak. Aku sangat menyesal sudah salah paham sama Mbak."
Sorot mata Serena meredup, menggambarkan perasaannya yang kini dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah. Dia pun berkata, sebagai jawaban atas permintaan maaf yang tulus dari Rafa. "Mbak Re juga minta maaf, Rafa. Mbak memaklumi kalau kamu sampai semarah itu sama Mbak. Memang salah Mbak, pergi gitu aja tanpa bilang apa pun sama kamu. Sampai kamu marah dan kecewa selama bertahun-tahun, bahkan Mbak nggak kasih kabar sama sekali. Kamu pasti kecewa banget sama, Mbak. Kamu mau maafin Mbak, kan?"
Melihat kedua putra dan putrinya telah saling memaafkan, Sarah dan Romi tak bisa menyembunyikan kelegaan yang membuncah di dada. Mata mereka sedikit basah, tapi senyum hangat tak lepas dari wajah. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Sang ayah menyambung dengan nada lembut dan senyum bangga yang terpahat jelas di wajahnya.
"Nah, begini kan adem rasanya. Ayah harap, apa pun yang terjadi nanti, keluarga kita tetap rukun, saling menjaga, dan nggak pernah lelah untuk saling memahami."
"Baik, Ayah."
"Iya, Ayah."
Sahut Serena dan Rafa hampir bersamaan, membuat senyum di wajah Romi makin lebar. Momen itu seolah menghapus semua kerikil kecil yang sempat menyakiti hati.
Sarah kemudian menyela dengan suara lembut yang khas keibuan, "Mumpung makanannya masih hangat, yuk kita makan dulu. Ngobrolnya bisa dilanjut sambil santai."
Mereka pun mulai menikmati sarapan bersama. Piring-piring terdengar beradu pelan, aroma makanan menguar menambah kebahagiaan berkali-kali lipat.
Di meja makan sederhana itu, mereka tak hanya menyantap makanan, tapi juga meneguk kembali kasih sayang yang sempat redup. Tak ada yang lebih nikmat daripada kebersamaan yang tulus—dan pagi itu, rumah mereka terasa seperti surga kecil yang damai.
***
Langit perlahan berganti rupa—dari kelabu sisa malam, berubah menjadi semburat oranye keemasan, lalu berangsur cerah menyambut pagi. Udara masih terasa sejuk, dan embun belum sepenuhnya menguap dari dedaunan di halaman.
Di dalam rumah, jam dinding berdetak tenang, menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Cahaya matahari menelusup lembut melalui celah-celah jendela.
Sarah berdiri sambil merapikan kerudungnya dan menyampirkan tas kain ke bahu. "Serena, Bunda mau ke kalangan sebentar, ya. Sekalian beli bahan buat makan siang dan malam."
Serena yang sedang membantu membereskan meja langsung menoleh dengan mata berbinar. "Kalangan? Wah, aku ikut dong, Bun! Udah lama banget nggak ke sana. Kira-kira udah banyak berubah belum, yaa? Aku kangen sama suasananya."
Sarah tertawa kecil, senang melihat semangat anak gadisnya. "Boleh, tapi cepetan ganti baju, ya. Jangan lama-lama, nanti keburu rame."
"Siap, Bun!" jawab Serena antusias sebelum berbalik dan berlari kecil menuju kamarnya.
Sementara itu, Sarah melirik ke arah Rafa yang tengah duduk santai di ruang tengah. "Rafa, bantu Bunda, Nak. Ajak Dafa main ke belakang atau ke mana aja. Jangan sampai dia lihat Bunda dan Mbak Re pergi, nanti tantrum lagi."
Rafa mengangguk meski wajahnya terlihat agak malas. "Iya, Bunda."
Dengan langkah malas tapi pasrah, Rafa menghampiri adiknya yang sedang asik bermain. "Rafa, kita nonton film dinosaurus yang kemarin, yuk."
Mendengar kata 'dinosaurus', mata Dafa langsung berbinar. Dia langsung bangkit dan minta digendong oleh kakaknya. Maka Rafa pun menggedong dan membawanya pergi ke kamar.
Tak lama kemudian, Serena akhirnya keluar dari kamar. Ia mengenakan salah satu gamis hitam miliknya, dipadukan dengan jilbab berwarna pastel yang lembut, memberi sentuhan manis pada penampilannya. Pakaian gelap sengaja ia pilih untuk berjaga-jaga, siapa tahu nanti di pasar terkena cipratan air atau noda tanpa sengaja.
"Yuk, kita berangkat sebelum makin ramai."
"Siap, Bun," ujarnya sambil menghampiri ibunya yang sudah menunggu di ruang depan.
Kalangan—begitulah warga menyebutnya—adalah pasar tradisional yang hanya digelar pada hari-hari tertentu, biasanya seminggu sekali. Berbeda dengan pasar permanen yang buka setiap hari, kalangan tumbuh dari tradisi dan kebutuhan masyarakat desa atau pinggiran kota yang ingin berbelanja langsung dari petani, nelayan, atau pedagang keliling.
Setiap pekan, lapangan kosong atau ruas jalan yang biasanya sepi mendadak berubah menjadi lautan beraneka kebutuhan rumah tangga; seperti aneka sayuran segar, buah-buahan musiman, jajanan tradisional, pakaian murah meriah, hingga barang-barang elektronik. Tenda-tenda darurat akan didirikan di sepanjang perjalanan, dengan meja kayu dan terpal yang digelar.
Kalangan pagi itu terasa riuh seperti seharusnya. Suara pedagang bersahutan menawarkan dagangan, aroma bumbu dan sayur mayur memenuhi udara, dan deru langkah kaki berpadu dengan percakapan ibu-ibu yang tawar-menawar.
Serena menatap sekeliling dengan senyum penuh nostalgia. "Udah lama banget nggak ke sini. Bunda hari ini mau beli apa aja?" tanyanya, tak lepas menggandeng lengan sang bunda.
Sarah tersenyum sambil menatap selembar catatan belanja yang tergenggam di tangannya. "Lumayan banyak juga yang mau Bunda beli. Kayak sayur, tempe, dan bumbu dapur. Sisanya lihat-lihat aja, siapa tahu ada yang murah."
Serena mengangguk, mengerti. Dalam hati, dia berniat ingin membelikan mainan dan makanan ringan untuk dibawa pulang. Dafa dan Rafa pasti senang saat menerima oleh-oleh darinya. Memikirkannya saja, sudah membuat Serena merasa senang.
Baru beberapa langkah sejak Serena memasuki keramaian pasar kalangan itu, sebuah suara memanggil pelan dari arah samping.
"Serena?"
Serena menghentikan langkahnya. Ia menoleh perlahan ke arah suara itu. Penasaran, siapa yang memanggil namanya?
Di sana, berdiri seorang pria dengan mengenakan jaket tipis dan membawa tas belanja. Ia memandang Serena sambil menyunggingkan senyum kecil.
Serena terpaku sejenak. Wajahnya berubah seketika—terkejut, namun tak bisa menyembunyikan gurat kebahagiaan yang perlahan muncul di matanya.
"Kamu ...."
Suara Serena nyaris tak terdengar, tertelan riuhnya pasar yang tak pernah hening.
Bersambung
Selasa, 26 Agustus 2025