Jian Feng, seorang anak haram dari keluarga bejat, dipaksa menikahi Lin Xue, gadis cantik namun cacat dan sekarat.
Dipertemukan oleh takdir pahit dan dibuang oleh keluarga mereka sendiri, Jian Feng menemukan satu-satunya alasan untuk hidup: menyelamatkan Lin Xue. Ketika penyakit istrinya memburuk, Jian Feng, yang menyimpan bakat terpendam, harus bangkit dalam kultivasi. Ia berjanji: akan menemukan obat, atau ia akan menuntut darah dari setiap orang yang telah membuang mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2- Memulai kultivasi
Setelah upacara pernikahan yang dingin dan tanpa makna, Jian Feng hanya diberikan sebuah surat tanah usang dan alamat sebuah rumah tua yang berada jauh di pedalaman hutan, seolah mereka benar-benar ingin membuang sepasang aib ini sejauh mungkin dari peradaban.
Jian Feng, tanpa pilihan, harus menggendong Lin Xue sepanjang perjalanan menuju tempat terpencil itu. Tubuh kurus Lin Xue terasa ringan di pelukannya, namun beban takdir yang mereka pikul terasa seberat gunung.
Sesampainya di sana, Jian Feng mendudukkan Lin Xue di teras kayu yang rapuh. “Tunggu sebentar di sana. Aku harus melihat ke dalam.” katanya, suaranya kering dan lelah.
Ketika pintu kayu yang lapuk dibuka, gelombang debu tebal beterbangan ke arah Jian Feng. Ia terbatuk-batuk hebat, menutupi wajahnya dengan lengan baju.
“Sialan! Mereka bahkan memberikan rumah sekotor dan serusak kandang babi seperti ini! Dasar manusia sampah! Tidak orang tuaku, tidak orang tua gadis ini. Mereka semua sama saja—makhluk tak berperasaan!” desisnya penuh amarah, tinjunya mengepal.
Pada akhirnya, Jian Feng harus membersihkannya terlebih dahulu rumah tersebut seorang diri. Ia menyapu sarang laba-laba, mengepel lantai yang menghitam, dan menjemur kasur tipis yang bau apek. Setelah beberapa jam kerja keras, ia kembali ke teras.
Ia melihat Lin Xue menatap lurus ke depan, pandangan kosongnya terpaku pada daun-daun yang berguguran. Ia sedang melamun, jiwanya tampak terperangkap di suatu tempat yang jauh.
“Jangan terlalu banyak memikirkan banyak hal,” ucap Jian Feng, mencoba bersikap wajar walau ia tak pernah terbiasa menghibur. “Aku mengerti perasaanmu, tapi lebih baik kau lupakan saja. Lagi pula mereka tidak akan kembali dan membawamu pulang. Kita sudah resmi dibuang. Mereka telah melempar kita ke sini dan berharap kita mati.”
Lin Xue menoleh, menatap suaminya sejenak dengan mata yang seolah tak memiliki cahaya, lalu kembali melamun. Ia tidak berbicara, tidak mengangguk, tidak bereaksi. Keheningannya lebih menyakitkan daripada kata-kata.
Jian Feng hanya dapat menghela napas panjang. “Dasar gadis ini! Apa kau terlalu dimanjakan di masa kecilmu? Sehingga ketika keluargamu tidak menginginkanmu, kau menjadi patung porselen tak bernyawa seperti ini?”
Mendengar sindiran itu, Lin Xue tidak menjawab. Ia justru mulai menangis tanpa suara, air mata mengalir perlahan di pipinya yang tirus, sebelum akhirnya pecah menjadi isakan tersedu-sedu yang memilukan.
Karena cuaca semakin gelap dan udara mulai dingin, Jian Feng kembali menggendong Lin Xue di depan dadanya. “Ayo cepat masuk! Jangan sampai kau sakit di sini.”
Dia pun membaringkan Lin Xue di kasur tipis dan membiarkan gadis itu menangis hingga kelelahan.
Jian Feng mencoba untuk tidak menjadi sampah seperti ayahnya. Ia mengurus istrinya dengan sabar, sebisa mungkin. Ia memasak bubur hambar dan menyuapinya pelan-pelan.
Tapi Lin Xue sangat sulit diurus. Ia menolak makan, menolak bicara, dan hanya terbaring diam. Puncaknya adalah saat waktu makan malam.
“Jika kau tidak ingin hidup, maka mati saja! Kau menyebalkan sekali! Aku tidak bisa menyuapi mayat!” Jian Feng meledak, semua frustrasi yang terakumulasi tumpah. Ia membuka pintu keluar dengan kencang hingga terantuk dinding, lalu melangkah cepat, membiarkan Lin Xue sendirian dalam kegelapan.
Jian Feng berjalan memasuki kedalaman hutan, di bawah naungan bulan sabit. Amarahnya masih membara, tetapi ia tahu ia harus menyalurkannya. Ia mulai mengingat kembali semua hal tentang kultivasi yang pernah ia lihat. Itu adalah satu-satunya jalan keluar dari penderitaan dan kehinaan ini.
Ia mengingat tahap-tahap kultivasi yang ia hafal dari pengamatan di Sekte Pedang Langit:
1.Pengerasan Dasar (Level 1-10)
2.Arus Qi (Level 1-10)
3.Inti Qi (Level 1-10)
4.Penyatuan Roh (Level 1-10)
5.Manifestasi Roh (Level 1-10)
6.Jiwa Sejati (Level 1-10)
7.Transformasi Esensi (Level 1-10)
8.Domain Kehendak (Awal/Menengah/Akhir)
9.Puncak Abadi (Awal/Menengah/Akhir)
Jian Feng duduk bersila di atas akar pohon yang besar, menutup mata. Ia mulai mencoba berkultivasi. Ia memurnikan energi spiritual di sekitarnya dan memasukkannya ke dalam dantiannya—sebuah gerakan yang secara instan, ia kuasai.
Di dalam alam bawah sadarnya, yang merupakan ruang hitam tanpa batas, tiba-tiba sosok dirinya yang lain muncul. Sosok itu adalah refleksi sempurna dari kebencian dan rasa sakit Jian Feng, dengan mata merah menyala dan senyum bengis.
“Ayo bunuh mereka semua, Jian Feng! Mereka telah membuat hidup kita menderita, mari kita balas dengan darah!” ajak sisi gelapnya, suaranya berbisik penuh godaan.
Bukannya takut atau menolak, Jian Feng yang asli membalas dengan seringai dingin. “Ha, aku tidak akan pernah membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Itu terlalu mudah. Aku akan memastikan mereka menderita, melihat kehancuran mereka perlahan-lahan, sampai akhirnya mereka membunuh diri mereka sendiri.”
Mendengar itu, sisi gelapnya terkejut, matanya melebar. “Ternyata... dia lebih gila daripada diriku.”
Sisi gelap itu tertawa nyaring, mengakui keunggulan kegilaan Jian Feng. Energi Qi mulai berputar lebih kencang di sekitar Jian Feng, menyambut ambisi gelap yang baru saja lahir.