NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.3k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lonceng Terakhir

Malam itu, hening di Gunung Awan Putih terasa salah.

Tidak ada jangkrik. Tidak ada angin. Bahkan tetesan air di dalam gua seolah menahan napas. Liang Wu duduk dengan mata terbuka lebar, menatap simpul tali merah di telapak tangannya.

Lonceng kecil di tengah simpul itu tidak berbunyi, tetapi hati Liang Wu bergetar hebat. Rasa gelisah yang dingin merayap di punggungnya, seperti ribuan kaki kelabang.

Sesuatu sedang terjadi.

Dia berdiri, berjalan menuju dinding mantra transparan. Dia menempelkan telinganya ke permukaan energi itu, mencoba menangkap suara dari arah kuil yang terletak jauh di bawah.

Hening.

Lalu, tiba-tiba.

TENG!

Lonceng besar kuil berbunyi.

Itu bukan lonceng panggilan doa pagi. Itu bukan lonceng makan malam. Pukulan itu cepat, kacau, dan panik.

TENG! TENG! TENG!

Sinyal bahaya.

"Mei!" teriak Liang Wu.

Dia mundur tiga langkah, memusatkan seluruh Qi emas barunya yang bergejolak ke telapak tangan kanan. Urat-urat di lehernya menonjol.

"BUKA!"

BUMM!

Liang Wu menghantamkan Tapak Vajra versi kasarnya ke dinding mantra. Energi emas bertabrakan dengan energi dinding, menciptakan ledakan cahaya yang menyilaukan. Dinding itu bergetar, retak sedikit, tapi tidak pecah. Mantra Guru Xuan terlalu kuat.

"BUKA! KUMOHON BUKA!"

Liang Wu memukul lagi. Dan lagi. Kulit tangannya melepuh terbakar energi mantra, darah mulai merembes dari sela-sela jarinya, menodai dinding tak terlihat itu. Dia tidak peduli. Rasa sakit di tangannya tidak sebanding dengan rasa sakit di firasatnya.

TENG! TENG! ...

Bunyi lonceng berhenti tiba-tiba. Kesunyian kembali, tapi kali ini lebih berat. Lebih mematikan.

Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Liang Wu terengah-engah, bersandar pada dinding mantra dengan tangan berdarah, air mata frustrasi mengalir di wajahnya. Dia terperangkap. Seperti tikus dalam toples kaca sementara rumahnya terbakar.

Lalu, dia melihat cahaya obor di jalan setapak.

Seseorang berlari naik. Langkahnya tersandung-sandung. Itu adalah Biksu Han, murid termuda kuil yang bertugas menjaga gerbang. Wajah bocah itu pucat pasi, air mata dan ingus bercampur di wajahnya.

"Kakak Liang!" jerit Han saat melihat Liang Wu di balik dinding.

"Han! Apa yang terjadi?! Kenapa lonceng berbunyi?!"

Han gemetar begitu hebat hingga hampir menjatuhkan obornya. Dia merogoh jubahnya, mengeluarkan jimat pembuka segel yang dia curi dari kamar Guru.

"Kakak... Kakak harus turun... Tamu itu... Duan..." Han terisak, tangannya gemetar saat menempelkan jimat ke dinding mantra.

Wush.

Dinding energi itu lenyap.

Liang Wu tidak menunggu penjelasan. Dia menerjang keluar, menyambar bahu Han. "Apa yang dia lakukan?!"

"Dia mencuri Kitab Sutra Hati Emas... dan Kakak Mei... dia..."

Liang Wu tidak mendengar sisanya. Dia sudah melesat menuruni jalan setapak tebing, menggunakan Qi-nya untuk melompat di antara batu-batu licin. Dia tidak berlari; dia terbang dengan keputusasaan.

Jarak yang biasanya ditempuh setengah jam, dia lahap dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Saat dia tiba di gerbang kuil, pemandangan yang menyambutnya adalah kekacauan yang sunyi.

Para murid lain berdiri mematung di halaman, wajah mereka tertunduk. Beberapa menangis tanpa suara. Pintu Perpustakaan Kitab Kuno terbuka lebar, rak-raknya berantakan, tapi tidak terbakar. Duan tidak membakar kuil—dia terlalu pintar untuk menarik perhatian desa di bawah gunung. Dia hanya mengambil apa yang dia butuhkan dan pergi.

Tapi bukan itu yang membuat langkah Liang Wu terhenti.

Di tengah halaman, di bawah pohon beringin tempat Liang Wu biasa menyelamatkan semut, ada tubuh yang terbaring ditutupi kain putih.

Kain itu ternoda merah di bagian tengah.

Dunia Liang Wu menyempit. Suara angin hilang. Suara napas murid lain hilang. Hanya ada suara detak jantungnya sendiri yang lambat dan menyakitkan di telinganya. Dug... dug... dug...

Dia melangkah maju. Kakinya terasa seperti timah.

Guru Besar Xuan berdiri di samping tubuh itu. Punggung orang tua itu tampak bungkuk, lebih tua sepuluh tahun dalam satu malam. Dia memegang tasbihnya, bibirnya bergerak melantunkan doa penyeberangan arwah, tapi matanya kosong.

Liang Wu sampai di depan tubuh itu. Dia jatuh berlutut.

Tangannya yang gemetar terulur, meraih ujung kain putih.

"Jangan, Wu'er," suara Guru Xuan serak. "Jangan lihat."

Liang Wu tidak peduli. Dia menarik kain itu.

Dan waktu berhenti.

Mei.

Matanya terbuka, menatap langit malam dengan ekspresi ketakutan abadi yang membeku. Di lehernya yang putih, terdapat bekas cekikan ungu gelap—jejak tangan yang sama yang pernah Liang Wu lihat di pergelangan tangannya.

Tapi bukan itu yang membunuhnya.

Di dadanya, tepat di jantung, tertancap sebuah Tusuk Konde Perak. Tusuk konde murahan yang pernah Liang Wu belikan untuknya di pasar desa tahun lalu. Benda yang seharusnya mempercantik rambutnya, kini menjadi alat yang mengakhiri hidupnya.

Pakaiannya robek. Acak-acakan.

Liang Wu tidak berteriak. Dia tidak menangis.

Dia hanya menatap wajah Mei. Dia ingat senyumnya saat menyajikan bubur. Dia ingat tangan kecilnya yang menyelipkan simpul tali merah di gua. Dia ingat kebisuan Mei yang selalu menenangkan.

Sekarang, kebisuan itu abadi.

Liang Wu mengulurkan tangan, menutup kelopak mata Mei perlahan.

"Siapa yang menemukannya?" tanya Liang Wu. Suaranya datar. Mati.

"Han," jawab salah satu murid sambil terisak. "Dia... dia ada di kamar Duan. Kami mendengar suara barang pecah... saat kami sampai... Duan sudah melompati tembok belakang membawa kitab... dan Mei..."

Liang Wu perlahan berdiri. Dia berbalik menghadap Guru Besar Xuan.

Tidak ada hormat dalam tatapannya lagi. Hanya kehampaan yang dingin.

"Guru," kata Liang Wu pelan. "Guru bilang dia mencari jalan pulang. Guru bilang dia ingin bertobat."

Guru Xuan memejamkan mata, air mata menetes ke jubah merahnya. "Aku... aku salah menilai karma-nya..."

"Salah menilai?" Liang Wu tertawa. Tawa yang kering, retak, dan mengerikan. "GURU MEMBIARKAN IBLIS MASUK KE RUMAH KITA! GURU MEMBERINYA MAKAN! GURU MEMBERINYA KESEMPATAN UNTUK MEMBUNUHNYA!"

Teriakan Liang Wu menggema di seluruh gunung, membuat para murid lain mundur ketakutan.

"Wu'er..."

"JANGAN PANGGIL AKU ITU!" Liang Wu menunjuk mayat Mei. "Dia mati karena welas asih Guru! Kebaikan Guru adalah racun! Kebaikan Guru membunuhnya!"

Liang Wu berbalik, menatap ke arah tembok belakang kuil, ke arah kegelapan hutan di mana Duan melarikan diri.

"Dia belum jauh," desis Liang Wu. "Dia terluka. Aku mematahkan rusuknya sebulan lalu. Aku bisa mengejarnya."

Liang Wu melangkah maju.

"Berhenti!" perintah Guru Xuan.

Sebuah dinding Qi lembut tapi kokoh menghalangi jalan Liang Wu.

Liang Wu berbalik, menatap gurunya dengan tidak percaya. "Guru menghalangiku? Dia membunuh Mei! Dia mencuri kitab warisan leluhur!"

"Dan membunuhnya tidak akan mengembalikan Mei," kata Guru Xuan, kalimat yang sama, mantra kutukan yang sama. "Jika kau mengejarnya sekarang dengan hati penuh kebencian, kau akan jatuh ke jalan iblis. Biarkan Aliansi Ortodoks yang menanganinya. Mereka penegak hukum dunia persilatan. Kita adalah biksu."

"Aliansi Ortodoks?" Liang Wu mengepalkan tangannya hingga kuku menembus daging. "Guru masih percaya pada dunia ini? Setelah malam ini?"

"Aku percaya pada hukum karma, Liang Wu. Lepaskan kebencianmu. Itu adalah ujian terberatmu."

Liang Wu menatap gurunya. Lama. Sangat lama.

Lalu, dia merogoh sakunya. Mengeluarkan Simpul Tali Merah pemberian Mei. Dia mengikatkannya di gagang pedang kayu latihan yang tergeletak di tanah.

"Ujian saya sudah selesai, Guru," kata Liang Wu dingin.

Tanpa peringatan, Liang Wu meledakkan Qi Tingkat 5-nya. Dia tidak menyerang Guru Xuan. Dia melompat ke samping, menabrak tembok pagar kuil, menghancurkan batu bata itu, dan melesat ke dalam hutan gelap.

"LIANG WU! KEMBALI!"

Teriakan Guru Xuan tertinggal di belakang.

Malam itu, Liang Wu tidak lagi menjadi biksu Kuil Teratai Emas. Dia adalah seekor anjing gila yang mengejar bau darah. Dia tidak membawa bekal, tidak membawa alas kaki. Dia hanya membawa tasbih di leher dan lubang menganga di dadanya.

Dia berlari menembus semak berduri, membiarkan kulitnya tergores. Rasa sakit fisik itu membantunya tetap sadar.

Tunggu aku, Duan, batinnya, matanya menyala dalam kegelapan seperti mata hantu. Aku akan mengajarimu arti pertobatan yang sesungguhnya.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!