Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Septian meraup wajahnya frustasi. Ia harus segera bergegas mencari Riana sebelum semuanya terlambat. Langkahnya cepat, hampir berlari melewati lorong rumah sakit yang sunyi. Namun saat daun pintu kamar rawat Liliana terbuka, langkah itu tiba-tiba terhenti.
Liliana berdiri di ambang pintu dengan kepala yang masih diperban dan jarum infus menggantung di tangannya. Tatapan matanya lembap, bibirnya membentuk senyum lemah.
“Tian…” panggilnya lirih, suaranya nyaris tenggelam tapi cukup untuk menghentikan langkah Septian yang mulai menjauh.
Waktu seolah berhenti. Semua amarah dan kecemasan yang tadi membuncah seketika menumpuk di tenggorokan Septian. Ia melirik ke arah Liliana, lalu berlari kecil menghampiri.
“Lili, kenapa kamu keluar kamar? Kamu harusnya istirahat,” suara Septian bergetar, setengah marah, setengah khawatir.
Liliana menggeleng pelan, langkahnya goyah ikut mendekat. “Aku mencarimu, Tian. Kenapa kamu nggak datang? Apa kamu mau mengingkari janjimu?”
Septian terdiam. Mulutnya terbuka tapi tak satu pun kata keluar. Ia ingin menjelaskan, janji itu hanya agar Liliana mau menerima perawatan, agar ia bisa sembuh. Tapi bagaimana ia bisa mengatakan itu saat wanita di depannya menatapnya seolah dunia berputar di sekelilingnya?
“Terima kasih…” suara Liliana bergetar. “Kamu sudah bersedia memberikan keluarga lengkap padaku. Maaf kalau aku memaksa, tapi aku sungguh menyukaimu, Tian. Apalagi selama ini kamu begitu perhatian padaku dan Lira.”
Air mata menetes di pipi Liliana, tapi Septian tidak bergeming setelah ia menyatakan keinginannya itu. Akhirnya Liliana berpura-pura kepalanya pusing dan hampir jatuh, baru saat itu Septian bergerak cepat menahan tubuh Liliana yang rapuh.
Ada keheningan sejenak dalam situasi itu hingga membuat dada Septian terasa sesak. Ia menelan ludah kasar, jantungnya berdentum keras, bingung dengan perasaannya sendiri.
Di satu sisi, suara hatinya menjerit ingin pergi mengejar Riana, memohon agar wanita itu tidak pergi. Tapi di sisi lain, ada suara lain yang berbisik pelan, Bukankah ini yang kamu mau, Septian? Bukankah dia yang selama ini kamu cari? Kenapa sekarang kamu merasa menyesal?
Kedua suara itu bersautan di kepalanya, meninggalkan kekacauan yang membuat langkahnya terdiam di tempat.
***
Sementara itu, malam semakin larut di luar. Mobil yang dikendarai Alif berhenti di halaman rumah sederhana di pinggiran kota. Lampu teras menyala redup, menyambut kedatangan mereka dengan kehangatan yang sunyi.
“Ini rumahku. Ayo, turun,” kata Alif pelan sambil mematikan mesin mobilnya.
Riana mengerjap, menatap sekeliling. Ada rasa canggung menggelayut di dadanya, “Rumah Dokter?”
Alif hanya mengangguk. “Kamu butuh tempat aman sementara. Di sini tenang. Nggak ada yang bakal ganggu kamu.”
Riana ragu sejenak, jemarinya meremas tali tas di pangkuan. “Apa ini nggak merepotkan, Dok?”
Alif menggeleng pelan. “Kamu nggak merepotkan, Riana. Kamu cuma… butuh istirahat.”
“Iya, tapi Dok, ini terlalu—”
“Riana,” potong Alif lembut, tapi tegas, “tinggal dua minggu lagi sebelum keberangkatan ke Sorong. Kamu di sini saja dulu, sambil ngurus surat cerai kamu. Aman, dan aku bisa bantu kalau ada apa-apa.”
Riana menunduk, jemarinya saling menggenggam. “Tapi saya—”
Alif menatapnya, nada suaranya mengendur, “Kamu nggak enak ya? Kalau begitu, aku kasih cara biar kamu bisa balas budi.”
Riana menatapnya heran. “Serius, Dokter Alif? Aku bisa membalas semuanya? Bagaimana caranya?” tanyanya polos, tapi suaranya terdengar sedikit antusias.p
Alif tersenyum samar. “Nanti aku pikirkan. Sekarang ayo turun. Malam makin larut… kamu mau ditangkap satpam keliling terus dikira pasangan kabur dan langsung dinikahin?” godanya.
Alif tersenyum kecil melihat ekspresi Riana. Lalu ia turun lebih dulu dan membukakan pintu untuknya. Saat Riana melangkah turun, hawa dingin malam menyentuh kulitnya, tapi ada kehangatan lain yang entah datang dari mana yang sulit ia mengerti.
Begitu masuk, aroma kayu dan wangi kopi memenuhi ruangan. Ada tumpukan buku di meja kecil dan jaket dokter yang terlipat rapi di sandaran kursi.
“Maaf, agak berantakan,” kata Alif sambil menyalakan lampu.
Riana tersenyum kecil. “Justru terasa… hangat.”
Tatapan mereka bertemu. Sekejap saja, tapi cukup untuk membuat dada keduanya sesak oleh sesuatu yang sulit dijelaskan.
Alif berdeham, mencoba mengalihkan suasana. “Kamar tamu di sebelah kanan. Kamu bisa mandi dan istirahat. Aku siapkan teh hangat, ya.”
Riana mengangguk pelan. Lalu mulai berjalan ke arah kamar tamu, tapi karena gugup, langkahnya justru goyah, tumitnya terpeleset karpet kecil di depan pintu.
Alif yang masih berdiri di dekatnya sigap menahan tubuh Riana sebelum ia sempat menyentuh lantai. Tubuh mereka begitu dekat, terlalu dekat, hingga Riana bisa merasakan degup jantung Alif di dadanya, cepat dan tak beraturan.
“Pelan-pelan…,” bisik Alif lembut.
Suara itu rendah tapi begitu dalam, dan entah kenapa membuat dada Riana terasa hangat.
Riana buru-buru menunduk, wajahnya memerah. “Maaf, aku nggak sengaja…,” katanya gugup, mencoba berdiri tegak tapi tetap bertumpu pada lengan Alif.
Alif menatap wajahnya yang berjarak hanya sejengkal dari dirinya. Ada sesuatu yang berputar dalam kepalanya, semacam getaran halus yang sulit diredam. Ia tak langsung melepaskannya, hanya menatap, diam-diam terpesona.
“Kalau kamu terus begini, aku yang nanti jatuh,” ujarnya setengah berbisik, separuh bercanda.
Riana mendongak kaget, matanya membulat, lalu cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Alif. Sayangnya, karena terpeleset tadi, tumitnya terasa seperti terkilir. Saat ia bergegas berdiri, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan kembali jatuh tepat ke dalam pelukan Alif.
“Ma... maaf, Dok. Sepertinya kakiku—”
Belum sempat Riana menyelesaikan kalimatnya, Alif sudah lebih dulu mengangkat tubuhnya. Riana yang terkejut refleks mengalungkan kedua tangannya ke leher Alif sebagai pegangan. Alif hanya tersenyum samar, lalu membawanya ke sofa. Setelah duduk, ia perlahan menarik kaki Riana agar bertumpu di pahanya.
“Dok, ini...” ucap Riana terkejut, nadanya gugup.
“Tenang, aku hanya ingin memeriksa kakimu. Kalau nggak segera diobati bisa bengkak. Mau diamputasi nanti?” ucap Alif, seolah menakuti, tapi nada cemasnya tetap terdengar jelas di sana.
Riana hanya bisa diam. Ia membiarkan Alif melepas alas kaki yang membungkus tumitnya. Ada rasa hangat di sekitar mereka ketika Alif melakukan itu, hangat yang entah berasal dari tangan Alif atau debar jantungnya sendiri.
“Ini terkilir,” ujar Alif setelah memperhatikan sejenak. “Aku akan memijat pakai obat gosok, ya?”
“Tapi, Dok...”
“Riana, dari tadi kamu nggak enakan terus. Sudah, biar aku pijat dulu. Jangan banyak bicara atau menolak,” ujar Alif lembut tapi tegas.
Seketika itu, bayangan masa lalu melintas di benak Riana. Kejadian ini begitu mirip dengan yang pernah ia alami bersama Septian dulu. Saat itu, kakinya juga terkilir setelah selesai menjemur pakaian. Ia melihat Septian duduk santai di ruang tamu, lalu mendekatinya dengan langkah pincang.
“Mas, kakiku terkilir... bisa nggak kamu bantu pijitin pakai obat gosok?” tanyanya waktu itu.
Septian hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada ponselnya.
“Itu cuma luka ringan saja, kamu manja sekali, Riana. Lagian luka seperti itu nggak bakal bikin kamu lumpuh. Aku sibuk, jangan ganggu,” ujarnya datar.
Ucapan itu kembali terngiang di kepala Riana, membuat dadanya terasa sesak. Tapi kini, di hadapannya ada sosok yang berbeda, lelaki yang dengan sabar memeriksa kakinya tanpa mengeluh, bahkan terlihat khawatir saat menatap setiap gerakannya.
Sentuhan Alif lembut, namun cukup membuat tubuh Riana tegang. Ia ingin berterima kasih, tapi lidahnya kelu, yang terdengar justru desah napasnya sendiri yang berkejaran dengan debar jantung.