Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 SUARA-SUARA PAGI DI KOS BERKAH
Cahaya pagi menyusup malu-malu melalui celah ventilasi kamar nomor 13. Arjuna menggeliat di atas kasur tipisnya, merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: tidur yang nyenyak dan menyegarkan. Tidak ada mimpi buruk, tidak ada rasa gelisah. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya jernih. Bahkan kamar yang semalam terasa sedikit menekan itu kini seolah menyambutnya dengan kehangatan yang aneh. Mungkin karena semalam ia bisa shalat dengan tenang, atau mungkin... ia melirik cincin perak di jarinya. Batu biru itu tampak tenang, seolah menyimpan semua rahasianya sendiri.
"Alhamdulillah..." gumam Arjuna seraya bangkit. Ia merapikan sajadah dan pakaiannya yang sedikit. Perutnya mulai terasa lapar, tapi sebelum itu, ia harus membersihkan diri.
Dengan handuk lusuh tersampir di pundak dan peralatan mandi di tangan, Arjuna membuka pintu kamarnya. Lorong lantai satu masih agak remang, namun sudah terdengar suara air dan celotehan dari arah kamar mandi umum di ujung lorong. Benar saja, antrean sudah terbentuk. Dua orang pemuda di depannya tampak asyik mengobrol sambil sesekali menguap.
Arjuna mengambil posisi paling belakang, sedikit canggung. Ini pertama kalinya ia harus mengantre untuk mandi. Di desanya, sungai atau sumur selalu tersedia kapan saja.
"Eh, anak baru ya, Mas?" sapa seorang pemuda di depannya yang berbalik. Perawakannya kurus, rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur, namun matanya memancarkan keramahan dan sedikit kejahilan. Ia mengenakan kaus bergambar band rock lawas yang warnanya sudah pudar.
Arjuna tersenyum sedikit kaku. "Iya, Mas. Baru datang semalam."
"Oh, pantesan baru lihat. Gue Budi," pemuda itu mengulurkan tangan. "Anak semester lima, jurusan komunikasi, tapi lebih sering komunikasi sama bantal sih."
Arjuna menyambut uluran tangan itu. "Arjuna, Mas."
"Arjuna? Wah, nama ksatria, nih!" Budi terkekeh. "Dapat kamar mana, Jun? Kemarin kayaknya ada yang kosong di dekat tangga, tuh."
"Saya di kamar nomor 13, Mas. Yang paling ujung," jawab Arjuna polos.
Seketika, senyum Budi sedikit membeku. Ia menatap Arjuna dari atas ke bawah dengan tatapan heran bercampur... geli? "Serius? Kamar tiga belas? Yang itu?" ia menunjuk ke arah kamar Arjuna dengan dagunya.
Arjuna mengangguk.
Obrolan mereka rupanya menarik perhatian dua orang lain dalam antrean, serta seorang pemuda yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Mereka semua menoleh ke arah Arjuna.
"Wih, ada yang berani juga akhirnya ngisi kamar keramat itu!" celetuk pemuda yang baru selesai mandi, sambil menyeringai.
"Beneran, Mas? Sampean di kamar nomor tiga belas?" tanya pemuda lain di antrean, suaranya terdengar antara tidak percaya dan penasaran. Bisik-bisik pelan mulai terdengar di antara mereka.
Budi menepuk pundak Arjuna, tawanya akhirnya meledak pelan. "Hebat, hebat! Mental baja berarti, nih! Semalam tidurnya gimana, Jun? Ada yang ngetok-ngetok atau ngajak kenalan dari 'dunia lain'?" candanya, meskipun matanya masih menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.
Arjuna merasa wajahnya sedikit memanas menjadi pusat perhatian. Ia hanya bisa tersenyum canggung. "Alhamdulillah... nyenyak kok, Mas. Nggak ada apa-apa."
"Wah, aneh," gumam pemuda yang tadi keluar dari kamar mandi, kini menyisir rambutnya di depan cermin pecah yang tergantung di dinding lorong. "Biasanya sih, penghuni baru paling banter semalam doang udah minta pindah."
"Mungkin 'penunggunya' lagi cuti kali," timpal Budi lagi, membuat beberapa orang terkekeh pelan.
Arjuna hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sepertinya, reputasi kamar nomor 13 benar-benar melegenda di Kos Berkah ini. Dan ia, tanpa sadar, telah menjadi topik pembicaraan hangat di pagi pertamanya.
Setelah hampir lima belas menit mengantre dan akhirnya membersihkan diri, Arjuna kembali ke kamarnya dengan perasaan jauh lebih segar. Air dingin khas pagi hari di Jakarta ternyata cukup membangunkannya. Ia baru saja selesai mengenakan kaus bersih – salah satu dari tiga kaus terbaiknya – ketika terdengar ketukan di pintu kamarnya yang sedikit berderit.
TOK! TOK! TOK!
"Jun! Arjuna! Udah beres belum?" Suara Budi terdengar dari luar, cukup lantang untuk mengalahkan suara televisi dari kamar sebelah.
Arjuna membuka pintu. Budi sudah berdiri di sana dengan senyum lebarnya, rambutnya yang tadi acak-acakan kini sudah lebih rapi, meskipun gayanya tetap santai dengan celana pendek dan sandal jepit. Tak sendirian, di belakang Budi berdiri tiga pemuda lain yang tampak seumuran, menatap Arjuna dengan campuran rasa ingin tahu dan geli.
"Nah, ini dia ksatria kita!" seru Budi sambil merangkul bahu Arjuna dengan akrab, seolah mereka sudah kenal bertahun-tahun. "Gimana, Jun? Air di kamar mandi kos kita punya kekuatan magis juga nggak kayak kamar lo?"
Arjuna hanya tersenyum tipis, sedikit terkejut dengan sentuhan fisik yang tiba-tiba itu. "Segar kok, Mas Budi."
"Mantap! Eh, kita mau cari sarapan nih di depan gang. Nasi uduk Mak Wati, legendaris murah meriah bikin kenyang sampai siang. Ikut, yuk?" ajak Budi. "Biar kenalan juga sama curut-curut ini."
Ia menunjuk ketiga temannya satu per satu. "Ini Ucup," Budi menunjuk pemuda berbadan paling kurus dengan kacamata tebal yang bertengger di hidungnya. Ucup hanya tersenyum tipis sambil sedikit mengangguk.
"Yang ini Gofar," lanjut Budi, menunjuk pemuda berkulit sawo matang dengan rambut ikal yang diikat ke belakang. Gofar tersenyum lebih lebar, memperlihatkan gigi kelincinya. "Dia anak seni, jadi kalau ngomong suka puitis nggak jelas, maklumi aja."
"Dan ini, si paling gagah dan paling sering patah hati, namanya Toni," Budi mengakhiri perkenalan dengan menepuk pundak pemuda bertubuh paling tegap di antara mereka, yang hanya memutar bola matanya mendengar deskripsi Budi namun tetap mengulurkan tangan ke Arjuna.
"Arjuna," kata Arjuna sambil menyalami Toni, lalu bergantian dengan Gofar dan Ucup.
"Nah, ini Arjuna, guys," Budi mengumumkan dengan nada bak seorang pembawa acara. "Penghuni baru kamar tiga belas. Satu-satunya manusia yang berhasil tidur nyenyak di sana tanpa diganggu 'Mbak Kunti' atau 'Mas Pocong' penjaga kos."
Ucup membetulkan letak kacamatanya, menatap Arjuna dengan saksama. "Seriusan, semalam aman, Mas?" tanyanya dengan nada suara yang pelan dan penuh selidik.
Gofar terkekeh. "Auranya beda sih emang. Kayak ada perisai gaib gitu," katanya, lebih mirip bergumam pada diri sendiri.
Toni hanya tersenyum tipis. "Jangan didengerin si Budi sama Gofar, Jun. Mereka emang suka ngaco. Yang penting, selamat datang di Kos Berkah."
Arjuna merasa sedikit lega. Meskipun digoda tentang kamarnya, teman-teman Budi tampak ramah dan menerimanya. "Terima kasih, Mas-Mas semua."
"Sip lah!" Budi kembali merangkul Arjuna. "Yuk ah, cacing di perut gue udah demo dari tadi. Nasi uduk Mak Wati, here we come!"
Mereka berlima pun berjalan beriringan menyusuri lorong kos, meninggalkan jejak tawa dan obrolan ringan. Untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di Jakarta, Arjuna merasa tidak sepenuhnya sendirian. Ada kehangatan pertemanan baru yang mulai menyelimutinya, meski diiringi reputasi sebagai "penghuni pemberani kamar 13."
biar nulisny makin lancar...💪