Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dalam Darah
Jagat masih terbaring di lantai kamarnya. Napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Semua terasa nyata, terlalu nyata untuk disebut mimpi. Di depan matanya, layar hologram transparan melayang, menampilkan status yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia mencoba mengangkat tangannya. Jari-jarinya bergetar, tapi samar ia melihat urat-urat tangannya masih berpendar biru, lalu perlahan meredup. Seolah aliran listrik yang baru saja masuk kini meresap dalam darahnya.
“Ini… gila.”
> “Tidak, Tuan. Ini nyata. Integrasi selesai. Anda resmi menjadi host sistem Nova.”
Jagat sontak terduduk. “Siapa?! Siapa yang bicara?!”
> “Saya. Nova. Artificial Intelligence dari masa depan. Mulai saat ini, saya akan mendampingi Anda.”
Suara itu bergema jelas di telinganya, tapi ia tahu—tidak ada orang lain di ruangan itu. Nadia dan ibunya tertidur di kamar lain. Hanya dia yang bisa mendengar suara ini.
Jagat menepuk pipinya. “Aku… nggak gila, kan?”
> “Fakta: Anda sehat. Sinkronisasi sukses. Level awal tercatat. Jangan khawatir, Tuan. Saya bukan halusinasi.”
Jagat mengusap wajahnya. “Ya Tuhan… jadi ini beneran.”
Hologram status tadi berkedip lagi. Deretan data mengisi udara di hadapannya, seolah ia menatap layar komputer masa depan. Tangannya refleks mencoba menyentuhnya, dan anehnya… hologram itu merespons. Ikon bergerak sesuai arah jarinya.
Jagat tercengang. “Jadi kayak… layar sentuh? Di udara?!”
> “Proyeksi personal. Hanya bisa dilihat oleh Anda. Orang lain tidak akan bisa melihat ini.”
Jagat menatap sekeliling, memastikan Nadia tak mengintip. “Kalau begitu… rahasia ini cuma aku yang tahu.”
> “Benar, Tuan. Dan Anda harus menjaganya. Sistem ini adalah warisan sekaligus senjata. Jika bocor… akan jadi bencana.”
Jagat terdiam. Kata “bencana” membuat dadanya kian berat.
Keesokan paginya, Jagat bangun lebih cepat dari biasanya. Tubuhnya masih lemas, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa lebih ringan, lebih segar. Bahkan sakit kepala yang biasanya muncul setelah lembur kerja semalam, kini tidak ada.
Saat ia bercermin, matanya membesar. Ada kilatan samar biru di pupil matanya, hanya sekilas, lalu hilang.
“Nggak mungkin….” gumamnya.
Nadia mengetuk pintu. “Mas, kamu bangun? Bu nyariin.”
Jagat buru-buru menutup hologram yang masih melayang. Aneh, tapi cukup dengan pikirannya berkata “tutup”, hologram itu padam.
“Iya, Nad! Sebentar lagi keluar!” serunya.
Ia menghela napas panjang. Rahasia ini tidak boleh diketahui siapa pun, bahkan keluarganya sendiri.
Di meja makan kecil, ibunya tersenyum melihat Jagat. “Hari ini wajahmu cerah sekali, Nak. Apa ada kabar baik?”
Jagat hanya tersenyum hambar. “Ah, cuma mimpi aneh semalam, Bu. Bikin aku tidur nyenyak.”
Nadia menatap curiga, tapi tak banyak bertanya.
Namun, di dalam kepalanya, suara Nova kembali berbisik.
> “Perhatikan baik-baik, Tuan. Tubuh Anda sudah meningkat 15% lebih kuat dari sebelumnya. Reaksi biologi meningkat. Waktu regenerasi lebih cepat.”
Jagat hampir tersedak roti bakar. Ia berusaha tetap tenang di depan ibunya. “Nad, kamu makan yang banyak. Bu, jangan lupa minum obat.”
Tapi di dalam hati, ia bergemuruh. Ini bukan sekadar mimpi. Nova nyata, dan perubahan sudah terjadi.
Siang itu, Jagat berdiri di halaman kampus dengan keringat bercucuran. Ia baru saja selesai latihan fisik ringan di lapangan basket yang sepi. Sejak pagi, tubuhnya terasa berbeda—lebih gesit, lebih kuat.
“Coba, Tuan,” suara Nova terdengar lembut di telinganya.
> “Ambil bola itu, lempar dengan tenaga biasa, lalu perhatikan jaraknya.”
Jagat mengangkat bola basket yang agak kempis. Ia menarik napas, lalu melempar pelan. Bola itu meluncur jauh lebih cepat dari biasanya, menghantam papan pantul dengan suara keras hingga memantul tinggi ke udara.
Mata Jagat membelalak. “Aku cuma lempar biasa, tapi kok kayak dilempar atlet profesional…”
> “Tubuh Anda sudah dimodifikasi. Tenaga otot meningkat 20%. Refleks 30%. Ini baru tahap awal.”
Jagat terdiam. Jantungnya berdebar. Ada rasa senang, tapi juga cemas. Kalau orang lain tahu, apa yang akan terjadi?
Di koridor kampus, Bima memanggilnya. “Bro! Dari tadi ke mana? Gue cari-cari!”
Jagat mengangkat tangan. “Baru aja olahraga.”
Bima menepuk bahu sahabatnya. “Wajah lo kayak habis nemu emas. Ada apa?”
Jagat tersenyum kecil. “Nggak ada. Cuma lagi banyak pikiran.”
Namun, sebelum mereka bisa ngobrol lebih jauh, Reno datang bersama dua temannya. Reno menatap sinis. “Wah, si miskin udah berani tampil pede, ya?”
Bima melangkah maju. “Reno, jangan mulai. Lo nggak capek ngusik orang?”
Reno terkekeh. “Gue cuma heran, orang kayak lo, Gat, bisa betah di kampus ini. Lo nggak malu? Pacar lo aja sekarang milik gue.”
Kata-kata itu menusuk, tapi Jagat menahan diri.
“Udah cukup, Ren,” jawabnya tenang.
Namun, Reno malah mendorong bahunya keras. Refleks, Jagat menahan tubuhnya—dan yang terjadi membuat semua orang kaget. Reno terhuyung, padahal dorongannya biasa saja. Jagat berdiri tegak seolah tak merasakan apa-apa.
Bima melongo. “Bro… lo nggak goyang sama sekali.”
Jagat panik. Ia buru-buru mundur, pura-pura salah langkah. “Eh, gue nggak sengaja. Ayo cabut, Bim.”
> “Refleks pertahanan aktif. Tubuh Anda menyesuaikan secara otomatis,” suara Nova berbisik dalam kepalanya.
Jagat menunduk, wajahnya tegang. Ia sadar, kalau tidak hati-hati, rahasia ini bisa terbongkar.
Malamnya di rumah, Nadia sedang belajar di ruang tamu. Ia menatap kakaknya yang termenung.
“Mas, kamu kenapa? Dari tadi diem terus.”
Jagat tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Mas cuma mikirin tugas kuliah.”
Nadia menghela napas. “Mas jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau ada masalah, cerita ke aku juga nggak apa-apa.”
Jagat menepuk kepala adiknya. “Kamu fokus sekolah. Biar aku yang urus semuanya.”
Tapi di dalam hati, ia bergemuruh. Apa yang terjadi pada tubuhku? Dan kenapa aku yang dipilih?
Malam itu, rumah terasa lengang. Angin malam menyusup lewat jendela kamar Jagat, membuat tirai bergetar. Ia duduk di depan meja kerja ayahnya yang sudah lama tak tersentuh. Laci bawah terbuka, di dalamnya masih ada tas kulit tua—tempat ia menemukan flash disk siang tadi.
Pelan-pelan Jagat mengeluarkan isi tas. Ada dokumen lusuh, buku catatan penuh coretan rumus, dan sebuah foto ayahnya bersama seorang pria paruh baya yang tak ia kenal. Di pojok foto tertulis: “Proyek Orion – untuk masa depan manusia.”
Jagat menggenggam foto itu erat. “Ayah… apa sebenarnya yang kau sembunyikan dari kami?”
> “Data terdeteksi. Memulai pemindaian.”
Suara Nova membuat Jagat tersentak. Dari buku catatan, muncul garis-garis cahaya, membentuk hologram biru.
Layar transparan melayang di udara—hanya Jagat yang bisa melihatnya. Ada blueprint robot setinggi dua meter, dengan catatan: Robo V1 – Exoskeleton Prototype.
Jagat menahan napas. “Ini… baju besi?”
> “Benar. Prototipe pertama. Dikerjakan ayah Anda atas saran versi awal saya. Namun proyek dihentikan setelah ancaman eksternal muncul. Tugas Anda adalah melanjutkannya.”
Jagat menunduk, jari-jarinya gemetar. “Tugas? Aku bahkan belum siap untuk diriku sendiri, Nova. Aku cuma mahasiswa miskin yang—”
> “Anda adalah kunci. DNA Anda adalah kode utama untuk membuka laboratorium tersembunyi. Tanpa Anda, semua data akan tetap terkunci selamanya.”
Jagat membuka lembaran terakhir buku catatan. Ada tulisan tangan ayahnya:
“Jika kau membaca ini, berarti waktuku sudah habis. Jangan takut, Nak. Ilmu pengetahuan bisa menjadi pedang dan perisai sekaligus. Gunakanlah untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan. Dan jangan pernah biarkan siapapun merenggut kebebasanmu.”
Air mata menetes tanpa sadar. Jagat meremas kertas itu.
“Ayah… aku janji. Aku akan teruskan ini. Aku akan temukan siapa yang membuatmu pergi terlalu cepat.”
Layar hologram berganti tampilan. Kini ada peta 3D sederhana, menyorot sebuah titik merah di luar kota.
> “Lokasi terdeteksi: Rumah tua kakek Anda, di desa Lamongan. Koordinat telah ditandai. Misi awal: akses laboratorium rahasia. Status: URGENT.”
Jagat mengangguk. “Jadi di sana semua jawaban menunggu…”
> “Benar. Tetapi hati-hati. Sinyal pengawasan terdeteksi. Ada pihak lain yang masih memburu data ini.”
Jagat menutup tas itu dengan perasaan campur aduk. Malam semakin larut, tapi dadanya berdegup cepat.
Ia menatap ke luar jendela, seolah bayangan malam menyembunyikan mata-mata yang mengawasinya.
“Nadia… Ibu… Aku harus kuat.”
Dan tepat sebelum lampu kamar padam, suara Nova kembali bergema:
> “Inisiasi Quest Pertama dimulai. Bersiaplah, Jagat. Dari langkah ini, jalanmu menuju balas dendam… dan penyelamatan bumi, telah dimulai.”