NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:166
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: ORDO YANG SOPAN

*TUK. TUK. TUK.*

Suara itu lagi. Sopan, ritmis, dan sangat sabar.

Suara itu adalah anomali terbesar hari itu.

Di bawah kaki mereka, dari balik pintu jebakan yang tertutup karung kopi 50 kilogram, Rania bisa merasakan getaran samar—suara *gesekan* logam pada batu yang teredam. Pria Berpayung itu tidak menyerah. Dia tidak sedang menggedor; dia sedang *menggali* atau *mengukir* jalan keluarnya. Dia sedang bekerja.

Di depan mereka, di pintu masuk utama, seseorang sedang mengetuk seolah-olah hendak mengantarkan surat.

Rania dan Reza berdiri membeku di tengah kafe yang temaram. Mereka terperangkap di antara dua ancaman yang tak terhindarkan.

"Siapa..." bisik Reza, matanya terbelalak ngeri. "Siapa lagi yang tahu kita di sini?"

"Sssst..." Rania meletakkan jarinya di bibirnya.

Dia bergerak, bukan ke arah pintu, tapi ke arah jendela. Dia tidak mengandalkan indra Gema-nya; dia menggunakan mata arsiteknya yang terlatih.

Dia menempelkan dirinya ke dinding bata di sebelah jendela, di luar jangkauan pandang dari luar. Kerai bambu itu tergantung beberapa sentimeter dari kaca. Dengan satu jari, RANIA menarik satu bilah bambu dengan sangat pelan, membukanya hanya beberapa milimeter.

Satu mata. Cukup untuk melihat.

Jalanan di luar tampak normal. Orang-orang berlalu-lalang, sibuk dengan urusan mereka.

Dan di depan pintu mereka, ada dua orang.

Mereka bukan "Pembersih". Mereka tidak bersenjata. Mereka tidak mengancam.

Yang satu adalah seorang wanita, mungkin berusia akhir lima puluhan. Dia mengenakan blus batik sutra sederhana namun mahal dan rok panjang berwarna gelap. Rambutnya yang mulai memutih disanggul rapi. Dia memegang tas kerja dari kulit, dan dia berdiri dengan postur seorang dosen universitas atau kurator museum. Dia adalah **Ibu Elara**.

Di sebelahnya berdiri seorang pria yang lebih muda, mungkin akhir dua puluhan. Dia kurus, gugup, dan mengenakan kemeja flanel yang disetrika rapi, seolah-seorang *hipster* yang mencoba terlihat profesional. Dia memegang tablet. **Dion**.

Mereka berdua tampak seperti... akademisi.

Wanita itu (Elara) tidak sedang melihat ke sekeliling, mencari polisi, atau bersikap paranoid. Dia menatap lurus ke pintu kayu "Kopi Titik Koma" dengan kesabaran yang tak tergoyahkan. Seolah-olah dia *tahu* Rania ada di dalam, mengintipnya.

"Mereka..." bisik Rania, melepaskan bilah bambu itu. "Mereka bukan tentara."

"Lalu siapa?" tanya Reza.

"Mereka... terlihat seperti guru. Atau... sejarawan."

*TUK. TUK. TUK.*

Ketukan itu lagi. Sama persis. Tiga ketukan sopan.

"Jangan jawab," isak Reza pelan. "Mungkin mereka akan pergi."

"Mereka tidak akan pergi," kata Rania. "Mereka *tahu*."

Saat dia mengucapkan kata-kata itu, sesuatu yang lain memecah keheningan.

*BZZZT. BZZZT.*

Itu adalah suara *vibrasi* ponsel.

Rania dan Reza saling memandang dengan ngeri.

"Ponselmu," bisik Rania.

"Tidak. Ponselku mati," balas Reza.

*BZZZT. BZZZT.*

Itu datang dari saku Rania.

Dia merogoh saku celana kargo kebesaran yang dipinjamkan Reza. Dia mengeluarkan ponselnya sendiri—benda yang telah dia lupakan sejak dia lari dari apartemennya. Layarnya retak, baterainya hampir habis.

Dan di layarnya, sebuah panggilan masuk.

Nomornya... *Tidak Dikenal*.

Darah Rania serasa membeku.

*BZZZT. BZZZT.*

"Ra... jangan..." kata Reza.

Di bawah kaki mereka, suara gesekan logam pada batu semakin cepat. *SKRRRR... SKRRR...*

Rania menatap pintu depan. Dia menatap lantai.

Dia terjebak.

Dia menekan tombol hijau. Dia mengangkat telepon ke telinganya, tangannya gemetar begitu hebat hingga dia harus menopangnya dengan tangan yang lain.

"Halo?" suaranya keluar lebih kuat dari yang dia duga. Dingin.

Keheningan sesaat di ujung sana. Lalu sebuah suara. Suara seorang wanita. Tenang, berbudaya, dan setua beludru. Itu adalah suara Ibu Elara, yang berdiri sepuluh meter darinya di balik pintu.

"Rania. Selamat pagi. Saya harap kami tidak mengganggu."

Ketenangan yang sopan itu jauh lebih menakutkan daripada teriakan Pria Berpayung.

"Siapa... siapa Anda?" tanya Rania, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.

"Nama saya Elara," kata suara itu. "Saya mewakili Ordo Pelestari Arsitektur Asli. Kami adalah... katakanlah, pustakawan untuk bangunan yang seharusnya tidak Anda masuki."

Rania mencengkeram telepon itu erat-erat. "Bagaimana Anda tahu nama saya?"

"Kami tahu banyak hal, Nak. Kami tahu Anda mengunjungi Toko Antik Warisan kemarin. Kami tahu Anda mengaktifkan 'Mangkuk Kuno' yang rusak. Kami tahu Anda mengontaminasi apartemen Anda dengan kebocoran Gema mentah. Dan kami tahu Anda baru saja *merusak* segel Titik Buta di bawah tempat Anda berdiri."

Setiap kata adalah pukulan. Mereka telah mengawasinya. Bukan hanya Pria Berpayung. Mereka tahu *segalanya*.

"Dan," lanjut suara Elara, "kami tahu bahwa rekan kami yang... *kurang sabar*... saat ini sedang berusaha keluar dari ruang bawah tanah Anda. Seorang Pembersih dari faksi yang berbeda."

"Apa yang kalian inginkan?" geram Rania, kemarahan kini memotong rasa takutnya.

"Berbicara. Diskusi. Anda... adalah anomali yang sangat langka, Rania. Seorang Arsitek sejati yang terbangun secara spontan. Anda adalah masalah. Masalah besar. Tapi Anda mungkin juga solusi."

Suara gesekan dari bawah lantai semakin keras. *SKRRRR-KRAK!*

"Anda tidak punya banyak waktu," kata Elara, seolah bisa mendengar apa yang RANIA dengar. "Rekan kami itu tidak dilatih untuk 'berdiskusi'. Dia dilatih untuk 'membersihkan'. Dan baginya, Anda dan teman barista Anda adalah bagian dari kontaminasi yang harus dimurnikan."

Rasa dingin menjalari Rania.

"Anda punya pilihan," kata Elara. "Satu pilihan, sebenarnya. Buka pintu depan ini. Bicara dengan kami. Kami bisa menetralkan Pembersih di bawah sana. Kami bisa *menjelaskan*."

"Menjelaskan apa? Ikan-ikan itu? Pria yang membunuh mereka dengan payung?"

Ada jeda. "Ya," kata Elara. "Semuanya. Pilihan lainnya adalah... Anda tetap di dalam. Anda menunggu kami pergi. Dan Anda mencoba keberuntungan Anda sendirian melawan seorang Pembersih Ordo yang sangat marah di ruang tertutup. Saya sarankan... Anda membuka pintunya, Nak."

*KLIK.*

Panggilan itu berakhir.

Keheningan kembali, kini terasa lebih berat.

*SKRRRRR-BOOM!*

Sebuah getaran hebat dari bawah pintu jebakan. Salah satu karung kopi bergeser beberapa sentimeter.

"Ya Tuhan, Ya Tuhan..." Reza mulai panik, matanya tertuju pada karung yang bergeser itu. "Dia akan keluar! Dia akan membunuh kita!"

Rania menatap pintu depan. Dia menatap pintu jebakan di pantry.

Dia terjebak di antara dua faksi yang tidak dia mengerti. Yang satu ingin menghapusnya. Yang satu ingin "berbicara".

Dia adalah seorang arsitek. Dan dalam situasi yang mustahil, seorang arsitek tidak panik. Mereka mencari *jalan keluar* yang paling layak.

Jalan keluar yang paling layak adalah yang memberinya lebih banyak *data*.

"Reza," katanya, suaranya tenang luar biasa. "Mundur dari pintu jebakan itu. Berdirilah di belakang konter. Jangan bicara."

"Ra... apa yang kamu..."

"Lakukan saja!"

Reza menurut, merangkak ke belakang konter kasir.

RANIA berjalan melintasi kafe. Dia tidak berlari. Dia berjalan dengan langkah mantap dan terukur, seolah-olah dia sedang berjalan untuk mempresentasikan sebuah desain.

Dia berdiri di depan pintu depan yang terkunci.

Di luar, dia tahu Elara dan Dion sedang menunggu.

Di bawah, dia bisa mendengar Pria Berpayung itu menggeram frustrasi.

Dia menarik napas panjang, merasakan dinginnya Gema di dalam tulangnya, bukan sebagai racun, tapi sebagai... kekuatan.

Dia mengulurkan tangannya yang gemetar.

Dan dia membuka slot kuningan yang berat itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!