NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:847
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 16 - Angin yang berhembus

POV Sandel

"Akh... aku tidak bisa berdiri lagi..."

Tanganku yang patah kuikat ke tubuh, mencoba menahan rasa sakit agar tak terlalu mengguncang setiap kali aku bergerak.

Tubuh ini penuh luka, tapi aku tidak bisa berhenti. Aku harus mengejar mereka. James... Zein... Galland... mereka masih di sana. Masih bertarung.

Setiap langkah terasa seperti siksaan yang tiada akhir. Darah memuncrat dari mulutku setiap kali aku menapakkan kaki, menodai tanah di bawahku. Dari keningku, darah mengalir deras, memburamkan pandangan.

Aku tersungkur. Lututku menghantam tanah.

"Apakah ini... akhirnya?" bisikku, tergeletak di tanah yang panas dan berdebu. Nafasku tersengal. Dunia berputar, dan kesadaranku mulai kabur dalam merah dan gelap.

---

POV James

Kobaran api menelan distrik ini. Rumah-rumah roboh satu per satu, kayunya meledak disapu panas.

Kami berlari melewati reruntuhan, mengejar monster hitam itu yang melarikan diri di tengah lautan api.

Dari kejauhan, menara itu masih berdiri-atau setidaknya, sisa dari menara itu. Ledakan tadi menghancurkan bagian puncaknya, menyisakan hanya leher menara yang retak dan terbakar.

Di antara puing-puing, aku melihat sosok terbaring tak bergerak.

"Celeste!"

Aku segera berlari dan berlutut di sisinya, mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya pucat, darah menetes dari kening, menodai rambut pirangnya yang terurai.

Dia tidak menjawab, tapi napasnya masih ada-teratur namun lemah. Dia hanya pingsan.

Pandanganku menatap ke atas menara. Dari reruntuhan yang terbakar, wanita bergaun hijau itu melompat turun. Angin berputar di sekitar kakinya, memperlambat jatuhnya.

Namun sebelum ia mendarat-

TANGK!

Perisai Zein meluncur seperti petir, menghantam tubuhnya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh, terguling di tanah sebelum berdiri dengan kesal.

"Kalian seharusnya tidak datang ke sini!" suaranya menggema di tengah badai dan api. Rambut merahnya berterbangan, matanya menyala dingin.

Zein berdiri di depan, perisai di tangan, Galland di sisiku dengan tombak retak di genggamannya.

Monster hitam itu berhenti, berdiri di depan menara seolah melindunginya.

Aku menatap Celeste yang masih tak sadar di pelukanku, lalu pada monster itu.

Kami sudah terlalu jauh untuk mundur.

---

POV Celeste - Sebelum Ledakan

Angin berputar di sekelilingnya seperti pusaran tajam. Aku harus berhati-hati-setiap seranganku selalu dibelokkan.

"Kau cukup cepat juga... memakai gaun seperti itu," ucapku sambil tersenyum tipis, menahan kapak dengan dua tangan.

Dia membalas dengan nada tenang, "Justru aku yang terkesan. Seorang wanita bisa bertahan sejauh ini melawanku? Tak banyak yang bisa melakukan itu."

Aku menendang buku di lantai ke arahnya. Dengan angin, dia menahannya tanpa menatap, tapi itu gangguan yang cukup. Aku berlari, menerjang dengan kapak siap menghantam.

Namun sebelum bilahku menembus pertahanannya, aku menahan ayunan dan beralih-

Tendanganku menghantam perutnya keras.

"Ugh!" Ia terhuyung mundur, terkejut. Tapi dengan cepat, ia melambaikan tangan. Angin mendorongku, melemparkan tubuhku ke belakang.

"Beraninya kau!" serunya tajam.

Aku bangkit dengan senyum sinis. "Apa kau marah?"

Dia menyipitkan mata, lalu merentangkan tangan. Angin di sekelilingnya mulai bergemuruh, memekakkan telinga.

Aku tahu apa yang akan dia lakukan.

"Celaka-!"

DUAR!!

Tepukan tangannya menciptakan gelombang kejut masif. Suara ledakan memecah udara, menghancurkan puncak menara.

Tubuhku terhempas keluar menara, berputar di udara. Dunia kabur-api, langit, puing-semuanya berpadu jadi satu... sebelum gelap menyelimuti.

---

POV James

Aku masih memegangi Celeste.

"Pertarungan ini terlalu lama," gumamku, napas tersengal. "Jika begini... kita semua akan mati."

Aku menurunkannya perlahan di sebuah bangunan setengah roboh yang belum dilahap api.

"Tunggulah di sini..." ucapku lirih, lalu berbalik.

Tapi langkahku terhenti.

Zein dan Galland terhempas, jatuh ke tanah, darah menetes dari bibir mereka. Mereka mencoba bangun, tapi tubuh mereka gemetar hebat.

Monster itu mengangkat tinjunya, mengaum, dan berlari ke arah kami.

Aku berlari menyambutnya, menendang dada keras seperti baja-

Tak berefek. Bahkan tak bergeming.

Tinju monster itu menyapu udara, aku menunduk, menyerang lagi dan lagi. Tapi kulitnya lebih keras dari besi.

Tak ada luka.

DUAR!!

Hembusan angin dari pukulannya mengenai tubuhku, menghantamku seperti palu raksasa. Aku terpental, berguling di tanah, darah menyembur dari bibirku. Tubuhku nyeri di setiap sisi. Nafasku sesak.

Aku berlutut. Zein dan Galland tak lebih baik. Kami hanya bisa menatap monster itu yang kembali bersiap menghantam.

Tinju raksasa itu terangkat.

Aku menatap langit. Mungkin ini akhirnya.

TANGK!

Benturan logam memecah udara. Monster itu terpental jauh, menghancurkan reruntuhan.

Aku mengangkat kepala dengan sisa tenaga-dan melihatnya.

Sosok besar berdiri tegap di hadapanku.

Armor tebal berlapis baja dingin dengan pinggiran membeku, embun es mengkristal di sepanjang permukaan logamnya. Di dada, terpahat sigil beruang putih yang menggenggam tombak-lambang kebanggaan House Draemir, penguasa dari Frostmarch.

Kedua tangannya menggenggam kapak kembar besar, masing-masing bertuliskan kata kuno berukir es di gagangnya: Hancurkan.

"L-Lord Victor...?" suaraku bergetar.

Ia menoleh sedikit, senyum tipis terpancar di wajahnya.

"Sudah kukira kalian akan keras kepala," ucapnya tenang. "Karena itu aku datang sendiri."

Uap dingin keluar dari napasnya, menyatu dengan hawa beku yang mulai mengusir panas kobaran api di sekitarnya.

"Oh ya..." lanjutnya, "Tangan kananku sedang mengevakuasi distrik sebelah. Api sudah mulai menjalar ke sana."

Dia menatap monster itu, matanya tajam bagai es pecah.

"Kalian istirahatlah. Sisanya... aku yang tangani."

Tanah di bawahnya membeku perlahan. Udara menjadi berat, menusuk kulit seperti ribuan jarum es.

Wanita bergaun hijau itu menatap Victor dengan wajah pucat. Tangannya gemetar, langkahnya mundur.

"Cih! Gork, habisi dia juga!" teriaknya panik.

Namun suaranya hanya dibalas oleh hembusan angin dingin dan tatapan Victor yang menaklukkan.

Wanita itu segera berbalik, melarikan diri ke arah sisa menara, menghilang di balik puing-puing yang berasap.

Monster itu mengaum, lalu berlari lurus ke arah Lord Victor. Dengan sigap, sang bangsawan dari Frostmarch menjejak tanah, tubuhnya kokoh bagaikan tembok baja.

Duar!

Pukulan monster itu menghantam keras, menggelegar di udara. Namun Victor hanya bergeser setapak; tubuhnya sama sekali tak goyah. Tatapannya tajam seperti elang membelah kabut perang. Ia mengangkat kapaknya, membalas dengan serangan balasan yang berat dan presisi.

Keduanya beradu kekuatan tanpa memberi celah. Setiap benturan menciptakan gelombang udara, melemparkan debu dan asap menjauh. Tanah di bawah mereka bergetar hebat.

> "Mereka... setara," ucap Zein perlahan.

"Tidak. Lihat lebih saksama," sahut Galland, menunjuk ke arah pertempuran.

Kini terlihat jelas-di setiap tebasan, Lord Victor mulai menorehkan luka-luka kecil di tubuh monster itu.

> "A-aku tidak percaya... dia benar-benar melukainya," ujarku, tercekat.

Dengan satu pukulan keras, Lord Victor menghantam dada monster itu, membuatnya terpental jauh. Namun Victor tidak memberi jeda. Ia langsung mengejar, kapaknya terangkat tinggi, menebas udara dengan kekuatan penuh.

Monster itu berusaha menahan, namun mulai terdesak.

Serangan Victor semakin ganas-dan akhirnya, shush! satu tebasan cepat memutus tangan kiri sang monster. Potongan itu jatuh menghantam tanah, berat seperti besi raksasa.

Monster meraung kesakitan. Victor terus maju, menargetkan leher musuhnya. Meski berhasil ditahan, monster itu lalu ditendang keras hingga terguling di tanah. Darah hitam kental mengucur deras, mengotori salju Frostmarch.

Lord Victor berdiri tegak, tak satu pun goresan menghiasi armornya yang berhiaskan sigil beruang putih.

Ia memutar kapaknya perlahan.

> "Jadi... makhluk macam apa kau ini? Lemah sekali."

Monster itu memekik marah, mata merahnya menyala bagaikan bara. Tapi sebelum bisa menyerang lagi-

Shusshhh!

Sebuah panah angin melesat dari arah menara, menargetkan Lord Victor.

Tangk!

Dengan satu ayunan, Victor menghancurkannya. Ia menoleh ke atas-menemukan sosok wanita bergaun hijau berdiri di menara, busur sihir di tangannya. Tatapan Victor menusuk tajam.

> "Kau... pengguna sihir?" ucapnya berat.

Monster itu bangkit, mencoba memanfaatkan momen. Tapi Victor menebasnya dengan satu tangan, membuat tubuh besar itu terhempas ke dinding-tepat di samping wanita itu. Sang wanita tersentak, wajahnya pucat pasi.

Ia menarik busurnya, tapi sebelum bisa menembak-

bilah kapak sudah bersandar di lehernya.

> "Aku tak akan lakukan itu... jika jadi kau."

Tangannya gemetar, tubuhnya lemas. Nafas tersengal, seolah kematian baru saja berbisik di telinganya. Monster yang sekarat mencoba memegang kaki Victor, namun dengan satu tebasan, tangannya terputus. Kapak itu pun diturunkan.

> "Siapa kau, dan apa urusanmu di sini?" tanya Victor dingin.

"A-aku... Adeline... Adeline Morwyne," suaranya bergetar.

"Morwyne?" Victor menyipit. "Apa urusan bangsawan Duskrealm di Frostmarch?"

Belum sempat dijawab, serangan tak terlihat melesat cepat-mengenai tangan Lord Victor.

> "Argh!"

Ia mundur, bersiap. Dari balik asap tebal, muncul sosok pria berjubah hijau tua dengan sigil naga di dada.

> "Draco..." ucap Victor datar, wajahnya menegang.

Lord Draco menatap sekitar, lalu menemukan tubuh ksatria bersenjata hijau yang tergeletak. Ia melangkah mendekat, suaranya dingin namun penuh bara.

> "Kau... membunuh putraku."

Sebelum sempat menjawab, tebasan tak terlihat menghujam tubuh Victor. Satu, dua, tiga-setiap serangan tak terlihat menoreh luka baru. Darah mengucur, ia berlutut namun tetap menatap tajam musuhnya.

> "A-apa yang terjadi?!" seruku panik.

Kami berlari, tapi Victor mengangkat tangannya-sebuah perintah tegas.

> "Diam! Tetap di sana! Itu perintah!"

Ia bangkit lagi. Meski tubuhnya penuh luka, matanya masih menyala. Ia berlari menantang Draco, tapi serangan tak terlihat kembali menghantam, kali ini menghantam keras ke dinding.

Draco berjalan tenang ke arahnya.

> "Kau seharusnya tidak ikut campur, Victor."

"Melakukan hal ilegal di Frostmarch... tugasku menghentikanmu," balas Victor, tersenyum tipis meski darah mengalir dari mulutnya.

"Sayang sekali... kita seharusnya bisa menjadi sekutu," kata Draco, menjulurkan tangan.

> "Tidak! Aku! Aku yang membunuh knight itu!" teriakku.

Draco menoleh, matanya memancarkan amarah. Ia mengayunkan tangannya-

dan tubuh Victor tersentak, hampir terbelah dua. Darah muncrat membasahi salju.

Dengan nafas terakhirnya, Lord Victor menoleh pada kami. Ia memberi isyarat agar lari-senyuman tipis terukir di wajahnya, bangga pada keberanian kami.

Tapi sebelum Draco sempat menyerang kami-

Tangg! tiga ksatria Citadel datang, perisai mereka terbuka, menahan tebasan udara itu.

> "Lord Victor!" seru salah satunya.

"Kita harus kembali ke Citadel! Sekarang!"

Kami pun mundur. Aku menjemput Celeste di bangunan yang kami tinggalkan, dan bersama lainnya, kami berlari menembus salju malam.

Di kejauhan, kulihat Draco dan Adeline membawa jasad sang ksatria-putra yang gugur.

Malam itu, kota besar ini terbakar.

Kota yang dulu ramai dan hangat kini tenggelam dalam lautan api. Salju turun, tapi tak mampu memadamkan nyala merah itu. Ratusan rumah lenyap... ratusan jiwa kehilangan tempat tinggal.

Dan di antara api yang berkobar-kami kehilangan seorang yang sangat berjasa.

Seorang kesatria sejati.

---

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!